Wednesday, June 24, 2015

Meander - Chapter 4

First chapter: Meander - Chapter 1.
Previous chapter: Meander - Chapter 3.

>>> 
<risa> kayaknya aku suka deh sama adit :c
<nira> hah!??
<nira> kok bisa?
<risa> huhu ;-; iya, aku juga gatau kenapa suka :c
<risa> tapi adit kayaknya suka sama lala ya?
<nira> kamu kan jarang ngobrol sama adit, kok bisa suka?
<nira> ahahaha
<risa> gatau nih, aku juga bingung ;;-;;
<risa> gimana dong kak?
<nira> mau aku comblangin? ;)
<risa> aku maluuuuu >_<
<nira> adit anaknya lucu sih, rada pendiem tapi
<risa> iya, aku tau kok ._.
<nira> waktu itu aja di stasiun dia diem aja, kebanyakan berantem sama lala sih haha
<nira> dia pernah curhat ke aku sih :|
<risa> iya kak? curhat apa??
<nira> ada deh :p
<nira> bukan cuma dia, kok. kebanyakan anak cyber curhatnya ke aku ._.
<risa> soalnya kak nira enak di curhatin :)
<nira> banyak yang bilang gitu sih ._.
<nira> rata-rata yang curhat ke aku pasti masalahnya selesai
<nira> itu kata mereka sih, gatau juga bener atau engga :|
Risa mengernyitkan dahi. Kok jadi ngomongin dia, sih? Perasaan tadi gue yang lagi curhat.

<risa> kak, udah dulu ya. aku disuruh tidur hehehe ^^

Setelah mengetikkan balasan itu, ia menutup laptopnya. Ia juga tidak yakin, sejak kapan ia menyukai Adit. Ia juga bahkan tidak yakin, perasaan ini bisa disebut suka atau tidak. Tapi melihat bagaimana Adit dan Lala digosipkan di cyber membuat dia agak cemburu.

Mungkin ia sebenarnya hanya ingin digosipkan, atau mungkin ia hanya ingin punya teman untuk dijodoh-jodohkan. Ia sendiri juga tidak mengerti. Bagaikan anak burung yang tidak mengerti kenapa ia dilahirkan sebagai burung. Abaikan aja, tiba-tiba author galau.

Risa membaca kembali buku pelajaran Fisika dihadapannya. Ia terus berpikir. Apakah sebenarnya keuntungan ia mempelajari Fisika? Ia tidak perlu menghitung dengan rumus, berapa jarak yang pas untuk menarik rem sebelum motor melewati garis lampu merah, kan?

Namun sekeras apapun ia mengelak, ia masih harus ulangan Fisika besok pagi.

***

Adit terus memandangi layar smartphonenya yang gelap. Ia menunggu notification dari sosmed yang biasanya akan membuat layar itu bersinar. Namun nihil. Ia menghenyakkan benda itu ke kasurnya.

"Gak ada respon?" tanyanya kesal pada keheningan. Tentu saja ia kesal. Sudah sebisa mungkin ia mencoba membuat gadis itu mengetahui perasaannya, namun hasilnya tetap sama. Gadis itu seperti tidak peduli, atau lebih tepatnya tidak peka.

Padahal ia sudah meretweet berbagai macam tweet tentang cinta-cintaan, yang tentu saja menjurus ke arah gadis itu. Bahkan membeberkan inisial gadis itu sebagai orang yang ia rindukan. Tapi tetap saja gadis itu tidak merespon. Padahal tidak mungkin gadis itu tidak tahu, karena ia sempat mengomentari salah satu tweetnya.

kruyuuuk

Perutnya kembali berbunyi. Ia memang belum makan sejak pagi. Bukan karena ia terlalu memikirkan gadis itu, namun karena memang tidak ada makanan di rumahnya. Bisa saja ia makan saat di sekolah tadi, namun ia terlalu malas pergi ke kantin yang ramai hanya untuk membeli makan.

Sebenarnya ia bisa saja menghilangkan rasa laparnya dengan berlari di treadmil, namun ia baru membaca artikel bahwa berolahraga dengan perut kosong dapat mengakibatkan kematian. Tentu saja ia tidak mau mengambil resiko.

kruyuuuk

Rasa laparnya sudah benar-benar tidak bisa ditahan lagi. Adit pun melangkah keluar kamarnya dengan malas. Ia berharap menemukan sesuatu yang bisa dimakan, paling tidak yang bisa meredam perutnya yang berbunyi sejak tadi.

Ia membuka kulkas, dan melihat tumpukan makanan siap saji yang bisa langsung dimakan dan hanya perlu dipanaskan di microwave. Rupanya ibunya sengaja membeli makanan sejenis itu dalam jumlah banyak, agar ia tidak bisa mengoceh soal tidak ada makanan.

Adit tersenyum pahit lalu mengambil dua box, kemudian memanaskannya di microwave. Sambil menunggu ia berjalan menuju garasi rumahnya untuk melihat apakah mobil ibunya sudah ada. Namun ketidak-adaan mobil ibunya membuat Adit yakin kalau ibunya tadi sudah pulang hanya untuk menaruh stok makanan instan, kemudian pergi lagi. Karena tadi siang saat ia membuka kulkas, makanan itu tidak ada.

ting!

Bunyi khas microwave membuatnya segera kembali ke dapur, untuk mengambil makan malamnya. Ia membawa kedua makanan tersebut dengan nampan ke kamarnya.

tring!

Sebuah notif membuat sebuah sudut di kasurnya bersinar. Adit terburu-buru meletakkan nampannya di meja belajarnya. Ia mengambil handphonenya, namun benda itu malah terlempar ke lantai.

"Sialan!" ia mengumpat sambil memungut baterai handphonenya yang terlepas. Sekarang ia tidak tahu dari mana notif tadi berasal. Mau tidak mau ia harus menyalakan kembali handphonenya lalu mengecek akun sosmednya satu persatu. Menyebalkan.

***

“Maksud kamu gimana?”

“Abang liat sendiri kan, si Mita itu flirting mulu sama Randi. Aku kan bete, bang!”

“Flirting gimana sih? Mereka kan emang biasa gitu, kamu kan tau si Mita emang selaw gitu anaknya. Dia kan bergaulnya emang sama cowok sejak SMK.”

“Tapi ini tuh beda, bang! Si Mita kan keliatan banget suka sama Randi.”

“Perasaan engga—“

“Abang mah gitu! Belain Mita terus!”

“Bukan gitu. Aku kan ngomong sesuai kenyataan.”

“Tau ah.” Telepon ditutup Nira. Maya mendengus kesal.

“Jadi orang kok berprasangka buruk mulu..”

“Siapa sih, May?” Tanya Tria yang kebetulan memang sekamar dengan Maya.

“Biasa, si Nira. Curhat ke gue mulu sekarang dia. Biasanya ke Mita,” keluhnya pada adik satu-satunya itu.

“Oh, Nira lagi. Akrab lo sekarang sama dia, May?”

“Yaa, gitu deh. Gue kan sama siapa aja temenan, tapi dia kayaknya gak gitu.”

“Maksudnya?”

“Gitu, deh. Lo belom bisa ngerti,” sahut Maya sambil menepuk-nepuk kepala adiknya seolah-olah Tria masih SD. Tria menepis tangan Maya sambil mendengus, lalu lanjut memainkan gadgetnya. Sementara Maya kembali tenggelam dalam pikirannya.

Maya sebenarnya senang-senang saja bisa jadi tempat curahan hati Nira. Namun sifat Nira yang selalu curiga, dan lebih suka berasumsi sendiri dibanding mendengarkan penjelasan orang itu yang membuatnya kesal.

Belakangan ini Nira selalu curiga akan hubungan Randy dan Mita, padahal Maya tahu tidak ada hubungan lebih antara mereka selain pertemanan. Nira juga selalu merasa dirinya tidak pernah beruntung, padahal menurut Maya, dipercaya sebagai seorang ketua itu sudah menunjukkan kalau ia beruntung dan banyak orang membutuhkannya. Namun sepertinya hal yang menurutnya kecil itu tidak memuaskan Nira.

Maya sendiri sebenarnya bukan tipe orang yang suka bergaul. Ia lebih senang berbicara lewat ketikan, daripada berbicara langsung. Maya adalah seorang introvert yang memerlukan waktu lebih banyak untuk sendirian, dibanding bersosialisasi. Mungkin karena perbedaan cara berpikir itu, Maya tidak pernah bisa memahami Nira.

Lagipula ia merasa Nira bukan butuh solusi, namun ia butuh orang yang sepaham dengannya dan setuju dengan perkataannya. Sementara Maya bukan orang yang tepat untuk hal itu, karena ia lebih mengedepankan logika dibanding perasaan.

“Jadi laper gue...”

***

"Kenapa lagi, Mit?" tanya Asti pada sahabatnya yang terus menatap layar handphonenya sejak tadi. Yang ditanya hanya menggeleng.

Mita memang buka tipe orang yang suka membicarakan masalahnya pada orang lain. Namun saat ia ingin bercerita, ia pasti akan bercerita. Saat ini kepalanya dipenuhi berbagai macam masalah yang ia sendiri belum menentukan mana yang harus diceritakan, dan mana yang tidak.

“Pala aku pusing, Ti. Aku tidur duluan, ya?” pamitnya pada Asti sebelum menghilang dibalik selimut.

Belakangan ini Mita merasa aneh dengan sifat Adit. Baik di chat grup, twitter, maupun chat personal. Adit terlihat berbeda. Terlebih ketika mereka mulai membicarakan soal cinta-cintaan di grup, Adit sering tiba-tiba off dengan misterius. Hal ini tidak hanya berlaku sekali, namun setiap kali. Bahkan saking seringnya, anak-anak di grup jadi agak segan membahas tentang cinlok saat ada Adit. 

Mita pernah melihat kicauan Adit di twitter, dan kebanyakan diantaranya selalu menunjukkan bahwa Adit sedang jatuh cinta. Dan beberapa kali juga ia merasa bahwa kicauan Adit sebagian besar ditujukan untuk dirinya.

Mita bukannya tidak sadar, ia lebih memilih untuk tidak percaya. Namun ia tidak bisa memungkiri bahwa hubungannya dengan teman-teman cybernya sedang tidak baik. Terlalu banyak perbedaan di antara mereka. Perbedaan terbesar adalah, Mita sudah bekerja.

Dibanding teman-teman cybernya yang kebanyakan masih kuliah dan sekolah, Mita memang sudah bekerja sejak lulus SMK. Karena itulah walaupun ia memiliki sedikit masalah, masalah itu jauh lebih rumit dibanding yang lain. Itu pula yang menyebabkan ia tidak pernah menceritakan masalahnya pada teman cybernya. Hanya beberapa yang ia percaya untuk mendengarkan curahan hatinya, salah satunya adalah Randi.

Randi memiliki beberapa kesamaan dengannya. Mereka sama-sama sudah bekerja, dan juga sama-sama lulusan SMK. Paling tidak, cara berpikir mereka mirip. Dan lagi Mita bisa meminta saran pada Randi, mengingat Randi lebih tua daripada Mita. Tentu saja kebanyakan saran tentang pekerjaan. Walaupun jenis pekerjaan mereka berbeda, dengan cara berpikir yang sama, ia menemukan Randi sebagai teman yang cocok untuk brainstorming.

Namun kedekatan mereka sering disalah-artikan, terutama oleh teman-teman cyber lainnya. Mita sendiri tidak begitu peduli. Yang penting ia dan Randi sama-sama tahu, hubungan mereka tidak seperti itu. Namun yang membuatnya risih adalah sikap Nira yang terlalu ingin tahu hubungannya dengan Randi. Berkali-kali dijelaskan pun Nira masih tetap tidak percaya. Karena itulah Mita berhenti mencoba menjelaskan.

Mungkin itu yang menyebabkan gosip hubungannya dengan Randi menyebar dikalangan cyber. Ada yang menganggapnya merebut Randi dari Nira. Merebut apanya? Toh Randi dan Nira juga tidak ada hubungan apa-apa. Dan menurut sepengetahuannya pun, Randi juga tidak dekat dengan Nira. Mungkin dulu mereka sempat dekat, Mita tidak tahu dan ia juga tidak merasa perlu tahu.

kring kring

Handphonenya berbunyi. Ia segera membuka pesan masuk. Seketika raut wajahnya menjadi sedih. Pesan itu sangat singkat, namun ia tahu pesan itu memiliki banyak arti.

Mit, kamu sehat aja kan? -Ibuk-

Tanpa permisi, airmatanya mengalir dari sudut matanya. Sebagai anak perantau yang tinggal jauh dari orangtua, Mita memang hanya pulang kampung setahun sekali. Tahun kemarin ia tidak sempat pulang, mungkin Ibunya benar-benar sudah merindukan anak sulungnya. Ia membalas pesan singkat Ibunya.

Sehat, buk. Tahun ini insya Allah mit pulang..

Tidak ingin berlarut dalam kesedihan, Mita memutuskan untuk melihat jadwal kerjanya di memo handphonenya. Seminggu lagi ia akan berangkat ke Kalimantan untuk sebuah proyek. Itu berarti akan semakin jauh dari Ibunya. Namun ia sudah memantapkan diri.

"Bismillah..." bisik Mita sebelum memejamkan matanya untuk tidur.

***

Nira sedang uring-uringan di kamarnya. Sudah seminggu ini dia menumpahkan kekesalannya ke semua orang. Penyebabnya hanya satu. Ia merasa Mita sengaja membagikan isi percakapannya dengan Randi ke grup, hanya untuk membuat ia cemburu. Ia sendiri tidak tahu yang dirasakannya itu cemburu karena ada orang lain yang dekat dengan Randi, atau hanya kesal karena Mita mendapatkan perhatian orang-orang di grup.

Jujur, bagi Nira grup itu adalah segalanya. Ia rela melakukan apa saja demi grup itu. Grup itulah yang menyelamatkan dia dari kesepian. Sebagai anak bungsu dengan jarak usia jauh dibawah kakak-kakaknya, Nira memang sering merasa kesepian. Walaupun apa yang ia minta selalu dituruti, namun ia tahu orangtuanya tidak akan bisa memberikannya teman.

Moodnya semakin memburuk setelah ia menelepon Maya tadi. Jelas sekali terlihat bahwa Maya memihak Mita. Ia merasa tidak adil. Gue harus nyari orang dipihak gue juga..

Merekrut Risa untuk berada dipihaknya nampaknya mustahil malam ini. Sebab ia tahu Risa sudah tertidur sejak chat terakhir dengannya tadi. Kemudian ia teringat Adit. Ya. Adit pasti mau memihak padanya. Ia hanya perlu meyakinkan Adit untuk curhat padanya.

Ia mengetik sebuah pesan, lalu menghapusnya setelah membacanya kembali. Padahal biasanya ia begitu mudah menyusun kata-kata pancingan agar seseorang mau bercerita padanya. Namun kali ini ia agak kesulitan. Mungkin karena ia sendiri masih belum yakin tentang Adit.

"Feeling gue, sih. Si Adit naksir Mita." gumamnya sambil mengetik-hapus pesan di handphonenya. "Tapi kalo misalnya, Adit suka sama Mita. Terus Mita juga suka sama Adit. Ada kemungkinan ..." ia terdiam. Wajahnya berubah sumringah.

"Ada kemungkinan dia bakal ngejauh dari Randi," lanjutnya riang. "YES!"

"Dek?" panggilan kakaknya yang baru saja membuka pintu kamar mengagetkannya.

"I-iya, Kak?"

"Kamu ngomong sama siapa?"

"EH? Engga ... ini lagi ditelepon. Hehehe.." sahutnya canggung. Sepertinya ia telah menyuarakan pikirannya terlalu keras kali ini.

"Jangan keras-keras! Udah malam," tegur kakaknya. Nira mengangguk.

***

Ia baru saja akan naik ke tempat tidur ketika handphonenya berbunyi. SMS.

"Siapa?" gumamnya. Tidak biasanya jam segini masih ada orang yang menghubunginya. Randi membuka pesan itu dan langsung terkejut.

Randi, gue kayaknya suka sama lo, deh! Ahahaha -Nira-

(to be continued...)

1 comment:

  1. Bang, tambahin di bagian atasnya dong. "cerita ini hanya fiktif belaka, bila ada kesamaan nama, kejadian, dan tempat hanyalah kebetulan belaka" #okesip
    Mana chapter satunya? Katanya mau post dua chapter?
    *reader gak tau diri* #hidupauthorPHP

    ReplyDelete

I dare you to write comment down there.