Wednesday, November 28, 2012

The Young Adult - Chapter 3

Irrashaimasse.. #loh #salah
Yo pembaca setia isi hati blog gue yang mesum penuh imaginasi ini. Thank you ya masih rajin(?) baca.. *nangis terharu* #no

Oh iya, sebenernya cerita ini tuh tentang apa sih? Nah, gue jelasin dikit deh.. Cerita ini tuh tentang kehidupan seorang anak remaja, yang perlahan beranjak dewasa. Makanya gue kasih judul 'Young Adult'. So, buat yang nungguin bagian 'adult'nya, harus bersabar dulu yah.. Ini bukan fanfic rate-M yang alurnya cepet nyampe kasur. #ifyouknowwhatimean.

Chapter sebelumnya: The Young Adult - Chapter 2

Yep, sepertinya segitu aja cukup. Langsung lanjut nih!


>>> The Young Adult - Chapter 3 >>>
Pintu UKS kembali terbuka, seorang laki-laki masuk kedalam dan menegurku.

“Yang, udah selesai olahraganya. Ayo ke kantin!” Arya datang menjemputku seperti minggu sebelumnya. Senyumnya ramah, namun tak setulus senyum yang selalu Evan berikan padaku.

“Yuk!” kugandeng tangannya mesra. Ya, hanya tindakan seperti itu yang bisa kuberikan padanya. Tak lebih dari itu. Bahkan rangkulan pun tak pernah kuberikan padanya. Pernah suatu hari dia mencium pipiku, namun aku marah dan ngambek padanya selama seminggu. Ini hari pertama aku dan dia berbaikkan lagi.

Kami sudah sampai di kantin, dia langsung duduk ditempat biasa kami duduk. Satu meja dengan Evan dkk. Arya memang musuh bebuyutan Evan dan teman-temannya, aku tidak tahu kenapa. Dan sejak ia memacariku, dia jadi makin berani bertingkah. Aku memang sangat tidak suka dengan sifatnya yang satu itu, namun aku tidak pernah tega untuk memutuskan hubungan kami. Dia sudah terlalu sering aku sakiti dengan keacuhanku, aku tak ingin terus menyakitinya. Sudah 2 bulan kami menjalin hubungan, dan ia tidak pernah menyakiti perasaanku sampai detik ini.

Kulihat Dimas -teman Aldi-, menatap Arya galak, sementara Evan hanya acuh. Aku memesan es jeruk dan nasi goreng, lalu akupun makan dengan santai. Kulihat Arya sedang adu mental dengan Dimas, mereka saling tatap menantang. Kuhela nafas panjang lalu cepat kuhabiskan makananku.

PRAAAANG!

Sebuah gelas jatuh, pecah berantakan. Aku menoleh ke arah sumber suara, kulihat Arya sedang tersenyum licik sementara Dimas terlihat menahan emosi. Isi gelasnya tumpah membasahi sepatu dan bagian bawah celana seorang murid. Evan. Evan yang biasanya langsung marah itu hanya diam dan melanjutkan jalannya, tak peduli.

Dengan tatapanku yang masih bingung pada Arya, Dimas dkk menyusul Evan meninggalkan kantin. Tentunya dengan segala emosi yang dipendam. Sementara Arya masih dengan senyum liciknya balik menatapku seperti tak berdosa.

“Kenapa, Sayang?” tanyanya sok polos.

Aku menghela nafas panjang, “kamu yang kenapa? Setiap deket temen-temen Aldi, kamu selalu bikin ulah! Kamu tuh kenapa sih?” sebenarnya aku keki bukan karena itu, tapi karena aku tidak bisa berlama-lama melihat Evan.

“Gak apa-apa, Sayang.. Aku tadi gak sengaja numpahin gelas. Itu doang kok.” Elaknya seperti membodohiku.

“Ya, udah. Kalo gak sengaja, bersihin dong sekarang..” pancingku. Dan seperti biasa, setiap ia membuat kesalahan pasti ia membuatku berpikir ia tidak benar-benar sengaja melakukannya. Tapi aku tidak sebodoh itu. Dia bisa menipuku sekali, tapi tidak kali ini. Kulihat dia sedang menyapu serpihan kaca yang tadi ia pecahkan, orang yang melihatnya pasti mengira ia anak yang bertanggung jawab. Sementara aku, aku menganggapnya mencari muka.

Kekesalanku padanya memang sudah memuncak, terlebih sejak ia mencium pipiku tiba-tiba. Kesal, gondok, benci. Semua yang aku rasakan tetap saja tidak membuatku tega untuk memutuskan hubungan kami. Entah mengapa.

Sepertinya ia sengaja berlama-lama membersihkan tumpahan gelas itu, mungkin supaya aku iba padanya. Jangan harap! Kutinggal saja dia menuju kelasku. Tapi sepertinya percuma, karena aku dan dia satu kelas. Dia langsung menyusulku lalu merayuku agar tidak marah padanya. Kali ini tidak seperti biasa aku langsung memaafkannya.

“Sella sayang.. Maaf ya. Aku janji deh, ini yang terakhir kali aku ceroboh kayak tadi. Please, maafin aku ya..” pintanya mengiba.

Aku hanya tersenyum tipis. Tidak ada kata-kata yang biasa kuucapkan. Hanya segaris senyum tipis. Lalu kubuka buku pelajaran Bahasa Indonesia milikku, karena setelah ini akan ada ulangan. Sepertinya Arya mengira aku ingin serius belajar, ia pun meninggalkanku. Tempat duduk kosong disebelahku diisi oleh Aira yang baru selesai mengganti baju.

“Hei, tuan putri! Lo gak ganti baju?” tanyanya seraya memasukkan baju olahraganya ke dalam tas.

Aku menggeleng malas sambil ku buka lembar demi lembar buku catatanku.

“Nanti Bu Kurnia marah, lho! Ayo dong, Sell.. Gue temenin deh.” Aira menawarkan diri.

Aku pun menutup buku yang sedang ku bolak-balik untuk dibaca, lalu mengambil baju seragam putih milik Evan, dan rok abu-abuku. Aira dengan semangat menggandeng tanganku ke toilet perempuan di ujung lorong.

“Buru-buru amat sih, Ra.” Aku mengimbangin langkahnya, mau tak mau, karena tanganku ditarik olehnya.

“Kalo lama nanti keburu ilang!” sahut nya singkat. Aku yang tidak mengerti hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Sesampainya diujung lorong, aku baru mengerti kenapa Aira begitu bersemangat. Di toilet laki-laki ada Evan dan teman-temannya termasuk Riga, orang yang disukai Aira.

“Pulang sekolah kita samperin aja tu bocah!” ucapan Toni sempat terdengar olehku sebelum Irwan sempat memperingatkannya.

“Gue tunggu disini ya, Sell..” bisik Aira. Aku hanya mengangguk lalu berjalan melewati kerumunan anak 12 IPS 2 itu. Sebuah tangan menarikku, Aldi.

“Sell, mending putusin aja deh cowok lo itu.” Pinta Aldi persis seperti minggu-minggu sebelumnya.

“Kenapa emang?” sahutku pelan dengan wajah bingung, padahal aku tahu kemana arah pembicaraan ini.

“Lo gak liat tadi dia gimana kelakuannya? Lo jg denger kan tadi Toni ngomong apa? Please, Sell. Gue gak mau lo terjerumus kalo masih sama tu anak.” Nasihat Aldi yang sudah sering ku dengar sekarang terdengar lebih memaksa.

“Gak mau. Gue sayang sama dia, Di. Lo ngerti dong, dia pacar pertama gue.” Aku memberikan alasan yang tidak logis. Jika Aira mendengar, ia pasti langsung nyerocos gak karuan.

Aldi menghela nafas, “nanti jangan pulang sama dia. Pulang sama Aira aja. Langsung ke rumah, jangan kemana-mana dulu.” Setelah berkata seperti itu, Aldi pergi ke kelasnya. Aldi memang terkesan terlalu posesif. Wajar saja, aku adik satu-satunya. Ia memang sering marah padaku, namun ia tak bisa berlama-lama melihatku mendiamkannya.

Aku pun masuk toilet lalu mengganti baju olahragaku dengan seragamku. Setelah penampilanku sudah benar-benar rapi, kusemprotkan lagi parfum beraroma strawberry kesayanganku. Lalu kulipat baju olahragaku dengan rapi. Kusisir rambut lalu kuikat kebelakang.

“Sell," Aira menyusulku masuk toilet, wajahnya terlihat seperti menyembunyikan sesuatu. Aku mengernyitkan dahi.

"Kenapa?" tanyaku sambil berjalan keluar toilet. Tanpa ku sangka Aira menarikku kembali masuk ke dalam toilet, "kenapa sih, Ra?" tanyaku sekali lagi, ia hanya menggeleng.

"Temenin gue dulu dong! Gue mules," pintanya dengan wajah super memelas. Aku tertawa kecil.

"Gue taruh baju dulu di tas, ya!" sahutku sambil beranjak keluar toilet.

"Sella, tunggu!" seru Aira tepat saat mataku menangkap sebuah pemandangan tak terduga di lorong tempat Aldi dkk berkumpul tadi. Memang, Aldi dan teman-temannya sudah kembali ke kelas mereka, kini yang ada di tempat itu adalah Evan. Bibirku bergerak ingin memanggilnya, lalu aku sadar ia tak sendirian. Ada Kakak bersamanya, mereka terlihat berbincang-bincang sambil sesekali tertawa kecil. Lalu tanpa kuduga, mereka berciuman.

Perih...

Aira menarikku agar berjalan cepat, meninggalkan pemandangan yang menyakitkanku itu. Namun mataku tetap tertuju pada dua insan yang sedang meluapkan rasa rindu itu. Kulihat mereka sudah melepaskan ciumannya. Evan tersenyum pada Kakak, senyum yang ia berikan padaku. Didalam mimpiku tentunya. Evan melihatku, cepat-cepat kubuang muka. Lalu kupercepat langkahku menuju kelas.

Ulangan kali ini aku kerjakan dengan perasaan berkecamuk. Aku senang, baju yang kupakai sekarang adalah baju Evan. Namun aku sedih, melihat Evan dan Kakak berciuman dengan mata kepalaku sendiri. Aku tak tahu, bagaimana nasib nilaiku.

Tak terasa sudah 90 menit aku mengerjakan ulangan Bahasa Indonesia ini. Kulihat lembar jawabanku, hanya ada 40 jawaban. Sementara jumlah soal keseluruhan ada 60. Peduli amat. Nasi sudah menjadi bubur. Ku kumpulkan saja jawabanku itu dengan pasrah. Lalu kumasukkan tempat pensilku kedalam tas, bersiap untuk pulang.

Arya menepuk bahuku pelan, “Yang, kita pulang bareng kan hari ini?”

Aku menggeleng, “aku disuruh Aldi pulang sama Aira. Maaf ya.” aku meninggalkan Arya lalu mengejar Aira yang sudah lebih dulu keluar kelas.

“Ra! Aira!” panggilku agak lantang karena lorong didepan kelasku sudah dipenuhi murid-murid lain.

Aira menoleh, “lah? Lo gak pulang sama Arya?” tanyanya.

“Engga. Gak dibolehin sama Aldi. Gue disuruh pulang sama lo.” Aku menjajari langkahnya. Tiba-tiba Aira menghentikan langkahnya, ia menyikut tanganku.

“Lihat tuh!” Aira menunjuk kerumunan anak kelas 12 termasuk Aldi dan Evan. “Mau ngapain ya mereka?”

Perasaanku yang dari tadi sudah kacau balau semakin tidak enak. Ku hampiri Dimas tanpa sepengetahuan Aldi.

“Ngapain ngumpul semua gini, Mas?” tanyaku berbisik.

Dimas membawaku menjauhi kerumunan senior itu, “mau ngehajar cowok lo, Sell. Mending lo langsung pulang aja ya.” jawab Dimas begitu perhatian.

Aku menggeleng, “bukannya gue belain Arya, gue cuma gak mau ada yang berantem disekolah kita. Apalagi kakak gue terlibat.” Aku pun lari mencari Arya. Kulihat ia sedang memakai jaketnya.

“Yang! Anter aku pulang ya!” aku menggelayut manja padanya. Ia tersenyum lalu menggandengku menuju tangga turun, tempat dimana kerumunan senior itu menunggunya.

Kulihat Dimas sedang berbicara dengan Aldi yang tampak marah melihatku bersama Arya, sementara Toni dan Riga mencegat langkahku dan Arya. Kueratkan pelukanku ditangan Arya. Kulihat Arya, tidak ada rasa takut di wajahnya. Hatiku sedikit tenang melihat Evan meninggalkan kerumunan, lalu menuruni tangga.

Riga melepaskan pelukanku pada tangan Arya lalu membawaku menjauh.

“Sell, kenapa sih lo ngotot banget sama tu anak?” tanyanya penuh rasa penasaran kurasa.

“Gue sayang sama dia. Lo ngapain narik-narik gue segala, hah?” jawabku sewot karena kulihat Toni sudah menggelandang Arya ke pojok lorong bersamaan dengan Aldi dkk mengumpul disana.

“Lo tunggu sini. Kali ini Aldi gak ngebiarin lo ngebebasin Arya. Lo tau kan Evan gimana, Sell? Lo pikir dia terima gitu aja waktu tu anak basahin sepatunya?”

“Ya ampun! Cuma sepatu, Ga! Gue beliin deh kalo tu sepatu rusak!”

“Bukan masalah sepatunya, tapi harga diri.” suara Evan terdengar jelas ditelingaku.

Aku memutar badanku, “kenapa lo disini?”

Evan hanya tersenyum dingin, “jadi lo lebih suka ngeliat gue disana gebukin cowok lo?”

“Van, gue cabut!” seru Riga seraya meninggalkanku dan Evan, ku pikir ini kesempatan bagus untuk melarikan diri.

Namun sepertinya pikiranku sudah terbaca oleh Evan. Dia langsung memegang tanganku dan membawaku kebawah lewat tangga disebelah barat sekolahku.

“Eh! Kita mau kemana, Kak?” tanyaku ngeri.

“Gue cuma mau bawa lo pulang. Aldi yang nyuruh. Bisa gawat kalo dia tau gue masih disini.” Evan mambawaku ke tempat mobilnya parkir.

Jujur saja aku merasa sedikit senang, bisa berduaan dengannya di dalam mobil. Sejenak aku melupakan nasib Arya yang akan diberi perhitungan oleh kakakku. Namun aku melupakan sesuatu...

(to be continued...)
>>>

1 comment:

  1. putusin aja tuh cowok! ebuset..aku ikut emosi ngebacanya (--,)
    di mobil pasti ada Kakak deh..lanjuuutt bang ~(\ ‾o‾)/

    ReplyDelete

I dare you to write comment down there.