Wednesday, June 24, 2015

Just a Day - Just a Friends (Part 2)

Main story: Just a Day - Morning.
Previous chapter: Just a Friends Part One.

>>>
Nabila mendial nomor yang sama untuk kesekian kalinya dari handphonenya. Tidak ada jawaban.

“Kemana sih dia!?” saking geregetannya, boneka berbentuk beruang di tangannya sudah berubah wujud menjadi kelinci.

Sejak pulang sekolah, sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Ivan, namun cowok itu tidak juga mengangkat. Bahkan di sekolah pun Ivan seperti tidak ada harapan hidup, mati segan hidup tak mau. Setiap ada orang yang mengajaknya berbicara, sebisa mungkin Ivan menghindar. Nabila tahu itu karena dia duduk semeja dengan Ivan.

“Padahal gue mau tanya tentang lirik lagu,” Nabila menggerutu lalu mengakhiri panggilan ketika tersambung dengan kotak suara, lagi.

Sudah seminggu ini Nabila terus memperhatikan gerak-gerik Ivan. Bagaikan sniper yang tidak mau kehilangan buruannya. Ia ingin mengamati sejauh apa sebenarnya perasaan Ivan pada Bu Mei. Walaupun hasilnya nihil, karena dia sendiri belum pernah menyukai seseorang.
Ia berbaring terlentang di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang penuh dengan stiker bintang glow in the dark. Pikirannya berkelana kemana-mana. Kayaknya bener, deh. Langit-langit kamar gue bagus kalo ditambahin bulan.

***

kriiiing kriiiing

Untuk kesekian kalinya handphone Ivan berbunyi. Tanpa perlu melihat layar handphonenya, ia tahu yang menelepon adalah Nabila. Bagaimana tidak? Sudah ada 16 missed call dari cewek itu. Terlebih kemarin-kemarin di sekolah, Nabila selalu memperhatikannya. Tentu saja ia tahu, level menguntit-ala-sniper yang dilakukan Nabila sudah dalam batas yang tidak wajar.

kriiiing kriiiing

Bahkan mengikutinya sampai ke kantin, perpustakaan, sampai ke toilet. Ivan mulai meragukan kejiwaan Nabila kalau saja ia tidak kenal cewek itu sejak kecil. Lagipula ada hal lain yang mengusiknya dibanding masalah kejiwaan Nabila. Mei. Ya. Sejak bertemu -atau lebih tepatnya tidak sengaja bertemu- dengan Mei di tempat futsal, hatinya kacau balau.

kriiiing kriiiing

Dering telepon itu mulai mengganggu. Dengan setengah malas ia mengangkat telepon itu.

“Ya?”

“Astaga Ivaaaaaaaan ... gue kira lo kenapa-napa sampe telepon gak dijawab, di sekolah juga planga-plongo doang kerjaannya, ditanyain orang diem aja, diajak main futsal gak mau, dipanggil guru gak denger sampe gue tawarin makan steak juga lo gak denger!”

“Haha ...” ia tertawa sumbang.  Biasanya celotehan Nabila bisa membuat moodnya membaik, tapi kali ini tidak berhasil.

“Eh, lo bener gak apa-apa kan? Abis lo belakangan ini dieeeeeeeem banget, sih! Padahal biasanya kalo Naomi sama Fendy lagi berantem tuh lo selalu komentar, tapi tadi mereka berantem seheboh itu lo diem aja. Kan gue sebagai sahabat yang baik ngerasa khawatir, Van, sama elo.”

“Iya, iya ... gue gak apa-apa, kok.” Sahutnya setengah hati. Moodnya sedikit membaik. Mungkin karena ia memang terbiasa mendengar celotehan Nabila.

“Bagus deh kalo gitu! Lo gak lupa kan pe’er kesenian?” Dheg! Seketika moodnya kembali memburuk. Bagaimana ia bisa lupa.

“Hm ...”

“Van? Hellooooooo lo masih disitu kan? Jangan bunuh diri, Van! Gue juga belom bikin kok! Kalo lo gak bisa ngarang, mending translate soundtrack anime aja kayak gue. Itu tuh, openingnya Conan yang ‘Ai wo Kurayami’ yang ada Vermouthnya itu loh, kan enak tuh!”

“Hm ... gue udah bikin, kok.”

“Hah!?” jeritan dengan kekuatan beroktaf-oktaf terdengar dari seberang telepon.

“Gue-udah-bikin,” tegasnya sekali lagi.

“Oh ... udah toh. Kaget gue. Kirain belon. Sialan. Gue bikin dulu deh kalo gitu. Dadaaaah!” telepon diputus Nabila. Ivan menatap halaman buku yang sedikit lecek -karena terlalu banyak dihapus- dihadapannya.

I know it seems so wrong
But I can't hold it in so long
I think I've love you
Even if I'm not supposed to
###.

Tiga huruf terakhir sudah menghitam karena terlalu sering dihapus. Ivan tidak tahu harus menulis apa. Lirik lagu yang diberikan Nuka tidak bisa jadi cerminan hatinya. Sementara jujur saja, ia bukan tipe orang romantis yang bisa menuangkan perasaannya lewat tulisan.

Ia masih ingat kejadian waktu ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Bu Guru memintanya dan anak-anak sekelas untuk menuliskan surat perpisahan, karena saat itu ada anak di kelasnya yang pindah sekolah di tempat lain. Anak itu adalah sahabat Ivan, Mikail. Anak-anak lain menuliskan kata-kata perpisahan, sementara Ivan hanya menggambar. Ya. Dia menggambar, dan gambar itulah yang ia berikan pada Mikail dalam surat perpisahan.

“Harus nulis apa ...” Ivan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

***

Ingin mengawali hari dengan senyum sepertinya tidak bisa dilakukannya kali ini. Baru saja ia memarkirkan motornya ketika ia melihat Bu Mei turun dari boncengan seseorang.

“Makasih,” begitu kata guru itu pada orang yang duduk di atas motor. Lelaki itu membuka helmnya. Ivan terkisap, ia yakin itu laki-laki yang sama yang ia lihat di tempat futsal beberapa hari yang lalu.

“Apa sih, Mei, yang enggak buat kamu.” Lelaki itu menyunggingkan senyumnya. Ivan tidak tahu apa istimewanya lelaki itu, yang ia tahu sedari tadi beberapa siswi SMA yang lewat parkiran dan melihatnya pasti akan memandangnya dengan kagum.

Namun tidak untuk Bu Mei. Ivan bisa melihat tatapan merendahkan dari guru itu pada lelaki dihadapannya. Ivan merasakan beban di hatinya sedikit terangkat. Itu berarti Bu Mei gak suka dia.

Ivan melihat Bu Mei berjalan meninggalkan parkiran, sementara lelaki yang memboncengnya tadi mengikuti dari belakang. Namun mereka berpisah dipersimpangan, karena lelaki itu berjalan menuju gedung SMA. Ivan mengambil kesimpulan cepat bahwa laki-laki itu adalah guru ppl, sama seperti Bu Mei.

“Selamat pagi, Bu!” ia melihat beberapa siswa menyapa guru yang kini berjalan sendirian itu.

“Pagi,” Bu Mei membalas salam dengan senyum. Ivan pun tidak mau melewatkan kesempatan itu. Ia mempercepat langkahnya, mengimbangi langkah Bu Mei.

“Selamat pagi, Bu.” Sapanya begitu berada tepat disamping guru itu. Bu Mei sedikit terkejut karena Ivan begitu tiba-tiba ada disebelahnya.

“Eh? Iya, selamat pagi ...” Bu Mei menatap Ivan dengan matanya yang sayu lalu menyunggingkan senyuman termanis yang Ivan lihat pagi ini. Ia bisa merasakan lonjakan di hatinya.

“Tumben kamu datang pagi,” lanjut Bu Mei sambil terus berjalan menuju ruang guru.

“Eh?” ivan terkejut, “tumben?” tanyanya meyakinkan dirinya bahwa pertanyaan Bu Mei tidak salah.

“Iya, kamu kan biasanya dateng hampir barengan sama bel masuk.” Jelasnya. Ivan masih menatap Bu Mei tak percaya.

“Ibu ... merhatiin saya?” tanyanya ragu. Bu Mei mengangguk kecil.

“Saya emang senang memperhatikan murid-murid,” ia tertawa kecil. “Kedengarannya aneh, ya? Kalau gitu jangan bilang siapa-siapa, ya?” Bu Mei mengedipkan sebelah mata dan kembali menyunggingkan senyum yang bisa membuat lelaki mana pun jatuh hati. Senyum yang tambah manis berkat gigi gingsulnya.

“Oh ...” Ivan hanya bisa merespon singkat karena mulutnya terkunci ketika ia melihat senyum Bu Mei dari jarak sedekat itu. Seketika itu muncul sifat posesifnya.

“Eh, itu Bu. Tadi saya liat Ibu dibonceng cowok. Pacar Ibu, ya?” tanyanya spontan. Ia bisa melihat Bu Mei sedikit kaget atas pertanyaannya yang begitu frontal dan tiba-tiba.

“Hahaha ... dia cuma teman kampus saya.” Jawab Bu Mei santai. “Satu jurusan, jadi agak dekat.” Bu Mei melanjutkan. Ivan mengangguk-angguk. Cuma temen..

“Berarti Ibu ... hm ... masih sendiri?” ia memberanikan diri mengungkapkan pertanyaan penuh resiko seperti itu. Ia sudah mempersiapkan yang terburuk, namun dalam waktu singkat ia bersyukur berani bertanya. Karena Bu Mei tertawa. Aduh, Bu. Senyumnya manis banget, bisa-bisa saya diabetes..

“Gimana tugas lirik lagu kamu, Ivan?” tanya Bu Mei. Ivan agak terkejut dengan pertanyaan mendadak itu.

“Eh? Hm ... saya udah buat kok.” Sahutnya mantap. Bu Mei kembali tersenyum.

“Bagus kalau gitu,” tanpa terasa mereka sudah sampai ke ruang guru. Ivan segera meminta diri lalu melanjutkan langkahnya ke kelas dengan hati yang penuh harapan.

***

Nabila mengernyitkan dahinya melihat Ivan masuk kelas dengan wajah berseri-seri. Padahal seminggu terakhir ini wajah Ivan selalu segelap awan mendung malam minggu yang menyambut doa-doa para jomblo nestapa.

“Lo kenapa, Van?” tanya Nabila begitu cowok itu sudah duduk disebelahnya. Yang ditanya hanya diam sambil bersiul-siul pelan. Nabila semakin yakin ada yang tidak beres dengan Ivan ketika ia melihat Ivan mengeluarkan buku pelajarannya.

“Van...?” dengan agak hati-hati ia mencoba memanggil sahabatnya itu. Ivan menoleh lalu tersenyum.

“Kenapa, Nab?” Nabila semakin merasa tidak nyaman dengan perubahan sifat Ivan yang begitu tiba-tiba. Jangan-jangan dia kerasukan kuntilanak yang suka mangkal di depan WC..

“Ng ... Lo gak kenapa-kenapa, kan?”

“Hah? Maksudnya?” yang ditanya malah tertawa mendengar pertanyaan aneh Nabila. “Gue gak apa-apa, kok! Tenang aja,” pungkasnya disertai senyum. Nabila mengangguk setengah hati.

“Eh, itu ... Lo udah bikin tugas kesenian?” tanya Nabila mencoba mencairkan suasana.

“Udah dong!” sahut Ivan riang. Nabila benar-benar tidak habis pikir, kebahagiaan dari mana yang bisa membuat Ivan berubah menjadi seriang itu.

SYALALA SYUBIDAMBIDAM~

Untunglah bel masuk segera berbunyi, membuat Nabila melupakan kebingungannya. Walaupun sampe sekarang dia masih bingung, kenapa bel sekolah bunyinya begitu. Tapi sebisa mungkin ia mencoba tak memperdulikannya. Mungkin pengen anti-menstrim, biar original gitu. Au amat lah.

“Selamat pagi!” Bu Mei memasuki kelas.

“Pagi, Bu!” koor murid sekelas serempak. Bu Mei membalas dengan senyuman.

“Seperti biasa, absen dulu ya!” Bu Mei membuka buku absen. “Yang Ibu panggil, tugasnya dibawa ke depan, ya!” lanjut Bu Mei diiringi koor tidak setuju dari murid 9C.

“Belom bikin, Bu!” seru Fendi mencoba membaur di tengah keramaian. Apa daya, suaranya yang sepelan petasan itu meredam suara lain. Perhatian murid 9C tertuju padanya.

“Kamu tidak membuat tugas yang saya berikan minggu lalu?” tanya Bu Mei tajam. Fendi menggeleng.

“Gak ngerti, Bu. Lagian yang lain juga ngasal, Naomi malah nyontek dari lirik lagu anime tuh!” serunya sambil menunjuk Naomi dengan gerakan kepalanya. Seketika si tomboy berkacamata itu langsung naik pitam.

“Gak usah bawa-bawa gue, ya!” bentaknya geram. “Masih mending gue ada niat ngerjain, daripada elo? Mana coba? Usaha aja enggak kan lo!?”

“Ya mendingan gak ngerjain, lah. Daripada nyontek,” sahut Fendi santai disusul tawanya yang nemurut Nabila, masih sebelas dua belas sama terompet abang-abang roti.

“Elo tuh, ya! Bisa gak sih, sehari aja gak bawa-bawa gue!?” Naomi semakin berang, wajahnya merah karena kesal. Fendi hanya mengangkat bahu. Suasana semakin memanas, sepanas gurun sahara pas musim panas.

“Mulai lagi deh,” bisik Rania pada Nabila yang duduk tepat di depannya. Nabila mengangguk.

“Bakal lama, nih. Tau sendiri mereka gimana, gak ada yang mau ngalah.” Nabila balas berbisik. Ivan mendengus kesal karena tidak diajak bisik-bisik berada diantara dua gadis penggosip itu.

BRAKKKK!

Seketika itu juga, suasana hening menyelimuti kelas. Bu Mei yang terkenal sebagai guru paling asik dan murah senyum sampai menggebrak meja, sudah dipastikan mereka akan kena masalah.

***


Rupanya mengajar dengan mood tidak baik, bisa meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Hal itu baru disadari Mei sekarang. Dengan suasana kelas yang panas dan aksinya memukul meja tadi, sisa jam pelajaran bisa dilewati dengan ketenangan seisi kelas. Jujur saja Mei tidak peduli jika ke depannya ia akan dicap sebagai guru galak. Toh selama ini image yang ia dapatkan, bukan dirinya yang sebenarnya.

Lagipula dengan insiden kecil tadi, beberapa murid terlihat lebih memandangnya sebagai guru. Untuk sedikit mencairkan suasana, Mei memperbolehkan murid yang belum mengerjakan tugas untuk menyelesaikannya selama jam pelajarannya. Ia melihat absen dihadapannya. Masih tersisa 3 murid yang belum menyerahkan tugasnya.

“Bu, ini tugas saya.” Naomi menyerahkan buku latihannya. Mei mengangkat alis.

“Kamu baru membuat?”

“Saya buat ulang, Bu. Saya gak mau dianggep nyontek.” Ujarnya membela diri dengan memberikan penekanan di akhir ucapannya sembari melirik Fendi. Mei mengangguk dan mempersilahkan Naomi kembali ke tempat duduknya.

“Lima menit lagi!” seru Mei mengingatkan. Naufal terlihat buru-buru menyelesaikan tugasnya, sementara Fendi terlihat tak acuh. Anak itu butuh pendidikan moral rupanya, batin Mei agak kesal dengan attitude Fendi.

Mencoba menghalau rasa kesalnya, Mei mengambil asal dari tumpukan buku dihadapannya. Ia membaca nama pemilik buku itu yang tertera di sudut kanan atas buku, Ivan Pandita. Ia melirik tempat duduk Ivan dan mendapati anak itu juga sedang menatapnya. Segera dialihkannya pandangan matanya kembali ke buku yang dipegangnya.

Ia membaca baris demi baris. Pilihan kata yang digunakan tidak terlalu berat, namun juga tidak murahan. Ada sekitar 15 baris yang ditulis dengan tulisan yang agak berantakan. Ia baru membaca setengah, namun sejauh ini isinya bisa dibilang tidak mengecewakan. Lumayan juga..

Mei melanjutkan membaca sampai baris terakhir dimana terlihat sekali terlalu sering dihapus. Ia membelalakkan matanya lalu refleks menoleh ke arah Ivan. Ivan yang sedang berbicara dengan Nabila tidak melihatnya. Mei menggeleng lalu menutup buku dan kembali mengawasi murid yang sedang menulis.

Namun pikirannya terlanjur dipenuhi sebaris kalimat yang baru saja ia baca. Bagaimana pun juga ia tidak bisa melupakan kalimat itu.

Ms. Mei, will you be my girlfriend?

(to be continued...)

3 comments:

  1. "Senyum yang tambah manis berkat gigi gingsulnya" jadi mayu ( /,\ ) *elo siapa* *dijitak*
    Baru ngeh kalo Bu Mei di situ guru magang, kirain udah tua xD
    Terus landjutkan bang~
    Lanjutannya taun depan lagi gak nih? Jangan lama-lama ( '-')/ #padahalsendirinyajuga #hidupauthorPHP

    ReplyDelete
  2. Tukang Nasi GorengJune 28, 2015 at 10:18 AM

    Si Rafael mana nih makan nasgor gk nongol2... Keselek sendok kali ya °^°)a

    ReplyDelete

I dare you to write comment down there.