Previous chapter: Just a Friends Part One.
>>>
Nabila
mendial nomor yang sama untuk kesekian kalinya dari handphonenya. Tidak ada
jawaban.
“Kemana
sih dia!?” saking geregetannya, boneka berbentuk beruang di tangannya sudah
berubah wujud menjadi kelinci.
Sejak
pulang sekolah, sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Ivan, namun cowok itu
tidak juga mengangkat. Bahkan di sekolah pun Ivan seperti tidak ada harapan
hidup, mati segan hidup tak mau. Setiap ada orang yang mengajaknya berbicara,
sebisa mungkin Ivan menghindar. Nabila tahu itu karena dia duduk semeja dengan
Ivan.
“Padahal
gue mau tanya tentang lirik lagu,” Nabila menggerutu lalu mengakhiri panggilan
ketika tersambung dengan kotak suara, lagi.
Sudah
seminggu ini Nabila terus memperhatikan gerak-gerik Ivan. Bagaikan sniper yang
tidak mau kehilangan buruannya. Ia ingin mengamati sejauh apa sebenarnya
perasaan Ivan pada Bu Mei. Walaupun hasilnya nihil, karena dia sendiri belum
pernah menyukai seseorang.
Ia
berbaring terlentang di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang penuh dengan
stiker bintang glow in the dark. Pikirannya
berkelana kemana-mana. Kayaknya bener,
deh. Langit-langit kamar gue bagus kalo ditambahin bulan.
***
kriiiing
kriiiing
Untuk
kesekian kalinya handphone Ivan berbunyi. Tanpa perlu melihat layar
handphonenya, ia tahu yang menelepon adalah Nabila. Bagaimana tidak? Sudah ada
16 missed call dari cewek itu.
Terlebih kemarin-kemarin di sekolah, Nabila selalu memperhatikannya. Tentu saja
ia tahu, level menguntit-ala-sniper yang dilakukan Nabila sudah dalam batas
yang tidak wajar.
kriiiing
kriiiing
Bahkan
mengikutinya sampai ke kantin, perpustakaan, sampai ke toilet. Ivan mulai
meragukan kejiwaan Nabila kalau saja ia tidak kenal cewek itu sejak kecil.
Lagipula ada hal lain yang mengusiknya dibanding masalah kejiwaan Nabila. Mei.
Ya. Sejak bertemu -atau lebih tepatnya tidak sengaja bertemu- dengan Mei di
tempat futsal, hatinya kacau balau.
kriiiing
kriiiing
Dering
telepon itu mulai mengganggu. Dengan setengah malas ia mengangkat telepon itu.
“Ya?”
“Astaga Ivaaaaaaaan ... gue kira lo
kenapa-napa sampe telepon gak dijawab, di sekolah juga planga-plongo doang kerjaannya, ditanyain orang diem aja,
diajak main futsal gak mau, dipanggil guru gak denger sampe gue tawarin makan steak juga lo gak denger!”
“Haha
...” ia tertawa sumbang. Biasanya
celotehan Nabila bisa membuat moodnya membaik, tapi kali ini tidak berhasil.
“Eh, lo bener gak apa-apa kan? Abis lo
belakangan ini dieeeeeeeem banget, sih! Padahal biasanya kalo Naomi sama Fendy
lagi berantem tuh lo selalu komentar, tapi tadi mereka berantem seheboh itu lo
diem aja. Kan gue sebagai sahabat yang baik ngerasa khawatir, Van, sama elo.”
“Iya,
iya ... gue gak apa-apa, kok.” Sahutnya setengah hati. Moodnya sedikit membaik.
Mungkin karena ia memang terbiasa mendengar celotehan Nabila.
“Bagus deh kalo gitu! Lo gak lupa kan pe’er
kesenian?” Dheg! Seketika moodnya kembali memburuk. Bagaimana ia bisa lupa.
“Hm
...”
“Van? Hellooooooo lo masih disitu kan?
Jangan bunuh diri, Van! Gue juga belom bikin kok! Kalo lo gak bisa ngarang,
mending translate soundtrack anime
aja kayak gue. Itu tuh, openingnya
Conan yang ‘Ai wo Kurayami’ yang ada Vermouthnya itu loh, kan enak tuh!”
“Hm
... gue udah bikin, kok.”
“Hah!?” jeritan dengan kekuatan
beroktaf-oktaf terdengar dari seberang telepon.
“Gue-udah-bikin,”
tegasnya sekali lagi.
“Oh ... udah toh. Kaget gue. Kirain belon.
Sialan. Gue bikin dulu deh kalo gitu. Dadaaaah!” telepon diputus Nabila.
Ivan menatap halaman buku yang sedikit lecek -karena terlalu banyak dihapus- dihadapannya.
I know it seems so wrong
But I can't hold it in so long
I think I've love you
Even if I'm not supposed to
###.
Tiga
huruf terakhir sudah menghitam karena terlalu sering dihapus. Ivan tidak tahu
harus menulis apa. Lirik lagu yang diberikan Nuka tidak bisa jadi cerminan
hatinya. Sementara jujur saja, ia bukan tipe orang romantis yang bisa
menuangkan perasaannya lewat tulisan.
Ia
masih ingat kejadian waktu ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Bu Guru
memintanya dan anak-anak sekelas untuk menuliskan surat perpisahan, karena saat
itu ada anak di kelasnya yang pindah sekolah di tempat lain. Anak itu adalah
sahabat Ivan, Mikail. Anak-anak lain menuliskan kata-kata perpisahan,
sementara Ivan hanya menggambar. Ya. Dia menggambar, dan gambar itulah yang ia
berikan pada Mikail dalam surat perpisahan.
“Harus
nulis apa ...” Ivan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
***
Ingin
mengawali hari dengan senyum sepertinya tidak bisa dilakukannya kali ini. Baru
saja ia memarkirkan motornya ketika ia melihat Bu Mei turun dari boncengan
seseorang.
“Makasih,”
begitu kata guru itu pada orang yang duduk di atas motor. Lelaki itu membuka
helmnya. Ivan terkisap, ia yakin itu laki-laki yang sama yang ia lihat di
tempat futsal beberapa hari yang lalu.
“Apa
sih, Mei, yang enggak buat kamu.” Lelaki itu menyunggingkan senyumnya. Ivan
tidak tahu apa istimewanya lelaki itu, yang ia tahu sedari tadi beberapa siswi
SMA yang lewat parkiran dan melihatnya pasti akan memandangnya dengan kagum.
Namun
tidak untuk Bu Mei. Ivan bisa melihat tatapan merendahkan dari guru itu pada
lelaki dihadapannya. Ivan merasakan beban di hatinya sedikit terangkat. Itu berarti Bu Mei gak suka dia.
Ivan
melihat Bu Mei berjalan meninggalkan parkiran, sementara lelaki yang
memboncengnya tadi mengikuti dari belakang. Namun mereka berpisah
dipersimpangan, karena lelaki itu berjalan menuju gedung SMA. Ivan mengambil
kesimpulan cepat bahwa laki-laki itu adalah guru ppl, sama seperti Bu Mei.
“Selamat
pagi, Bu!” ia melihat beberapa siswa menyapa guru yang kini berjalan sendirian
itu.
“Pagi,”
Bu Mei membalas salam dengan senyum. Ivan pun tidak mau melewatkan kesempatan
itu. Ia mempercepat langkahnya, mengimbangi langkah Bu Mei.
“Selamat
pagi, Bu.” Sapanya begitu berada tepat disamping guru itu. Bu Mei sedikit
terkejut karena Ivan begitu tiba-tiba ada disebelahnya.
“Eh?
Iya, selamat pagi ...” Bu Mei menatap Ivan dengan matanya yang sayu lalu
menyunggingkan senyuman termanis yang Ivan lihat pagi ini. Ia bisa merasakan
lonjakan di hatinya.
“Tumben
kamu datang pagi,” lanjut Bu Mei sambil terus berjalan menuju ruang guru.
“Eh?”
ivan terkejut, “tumben?” tanyanya meyakinkan dirinya bahwa pertanyaan Bu Mei
tidak salah.
“Iya,
kamu kan biasanya dateng hampir barengan sama bel masuk.” Jelasnya. Ivan masih
menatap Bu Mei tak percaya.
“Ibu
... merhatiin saya?” tanyanya ragu. Bu Mei mengangguk kecil.
“Saya
emang senang memperhatikan murid-murid,” ia tertawa kecil. “Kedengarannya aneh,
ya? Kalau gitu jangan bilang siapa-siapa, ya?” Bu Mei mengedipkan sebelah mata
dan kembali menyunggingkan senyum yang bisa membuat lelaki mana pun jatuh hati.
Senyum yang tambah manis berkat gigi gingsulnya.
“Oh
...” Ivan hanya bisa merespon singkat karena mulutnya terkunci ketika ia
melihat senyum Bu Mei dari jarak sedekat itu. Seketika itu muncul sifat posesifnya.
“Eh,
itu Bu. Tadi saya liat Ibu dibonceng cowok. Pacar Ibu, ya?” tanyanya spontan.
Ia bisa melihat Bu Mei sedikit kaget atas pertanyaannya yang begitu frontal dan tiba-tiba.
“Hahaha
... dia cuma teman kampus saya.” Jawab Bu Mei santai. “Satu jurusan, jadi agak
dekat.” Bu Mei melanjutkan. Ivan mengangguk-angguk. Cuma temen..
“Berarti
Ibu ... hm ... masih sendiri?” ia memberanikan diri mengungkapkan pertanyaan
penuh resiko seperti itu. Ia sudah mempersiapkan yang terburuk, namun dalam waktu
singkat ia bersyukur berani bertanya. Karena Bu Mei tertawa. Aduh, Bu. Senyumnya manis banget, bisa-bisa
saya diabetes..
“Gimana
tugas lirik lagu kamu, Ivan?” tanya Bu Mei. Ivan agak terkejut dengan
pertanyaan mendadak itu.
“Eh?
Hm ... saya udah buat kok.” Sahutnya mantap. Bu Mei kembali tersenyum.
“Bagus
kalau gitu,” tanpa terasa mereka sudah sampai ke ruang guru. Ivan segera
meminta diri lalu melanjutkan langkahnya ke kelas dengan hati yang penuh
harapan.
***
Nabila
mengernyitkan dahinya melihat Ivan masuk kelas dengan wajah berseri-seri.
Padahal seminggu terakhir ini wajah Ivan selalu segelap awan mendung malam
minggu yang menyambut doa-doa para jomblo nestapa.
“Lo
kenapa, Van?” tanya Nabila begitu cowok itu sudah duduk disebelahnya. Yang
ditanya hanya diam sambil bersiul-siul pelan. Nabila semakin yakin ada yang
tidak beres dengan Ivan ketika ia melihat Ivan mengeluarkan buku pelajarannya.
“Van...?”
dengan agak hati-hati ia mencoba memanggil sahabatnya itu. Ivan menoleh lalu tersenyum.
“Kenapa,
Nab?” Nabila semakin merasa tidak nyaman dengan perubahan sifat Ivan yang
begitu tiba-tiba. Jangan-jangan dia
kerasukan kuntilanak yang suka mangkal di depan WC..
“Ng
... Lo gak kenapa-kenapa, kan?”
“Hah?
Maksudnya?” yang ditanya malah tertawa mendengar pertanyaan aneh Nabila. “Gue
gak apa-apa, kok! Tenang aja,” pungkasnya disertai senyum. Nabila mengangguk
setengah hati.
“Eh,
itu ... Lo udah bikin tugas kesenian?” tanya Nabila mencoba mencairkan suasana.
“Udah
dong!” sahut Ivan riang. Nabila benar-benar tidak habis pikir, kebahagiaan dari
mana yang bisa membuat Ivan berubah menjadi seriang itu.
SYALALA
SYUBIDAMBIDAM~
Untunglah
bel masuk segera berbunyi, membuat Nabila melupakan kebingungannya. Walaupun
sampe sekarang dia masih bingung, kenapa bel sekolah bunyinya begitu. Tapi
sebisa mungkin ia mencoba tak memperdulikannya. Mungkin pengen anti-menstrim, biar original gitu. Au amat lah.
“Selamat
pagi!” Bu Mei memasuki kelas.
“Pagi,
Bu!” koor murid sekelas serempak. Bu Mei membalas dengan senyuman.
“Seperti
biasa, absen dulu ya!” Bu Mei membuka buku absen. “Yang Ibu panggil, tugasnya dibawa
ke depan, ya!” lanjut Bu Mei diiringi koor tidak setuju dari murid 9C.
“Belom
bikin, Bu!” seru Fendi mencoba membaur di tengah keramaian. Apa daya, suaranya
yang sepelan petasan itu meredam suara lain. Perhatian murid 9C tertuju
padanya.
“Kamu
tidak membuat tugas yang saya berikan minggu lalu?” tanya Bu Mei tajam. Fendi
menggeleng.
“Gak
ngerti, Bu. Lagian yang lain juga ngasal, Naomi malah nyontek dari lirik lagu
anime tuh!” serunya sambil menunjuk Naomi dengan gerakan kepalanya. Seketika si
tomboy berkacamata itu langsung naik pitam.
“Gak
usah bawa-bawa gue, ya!” bentaknya geram. “Masih mending gue ada niat ngerjain,
daripada elo? Mana coba? Usaha aja enggak kan lo!?”
“Ya
mendingan gak ngerjain, lah. Daripada nyontek,” sahut Fendi santai disusul
tawanya yang nemurut Nabila, masih sebelas dua belas sama terompet abang-abang
roti.
“Elo
tuh, ya! Bisa gak sih, sehari aja gak bawa-bawa gue!?” Naomi semakin berang,
wajahnya merah karena kesal. Fendi hanya mengangkat bahu. Suasana semakin
memanas, sepanas gurun sahara pas musim panas.
“Mulai
lagi deh,” bisik Rania pada Nabila yang duduk tepat di depannya. Nabila
mengangguk.
“Bakal
lama, nih. Tau sendiri mereka gimana, gak ada yang mau ngalah.” Nabila balas
berbisik. Ivan mendengus kesal karena tidak diajak bisik-bisik berada
diantara dua gadis penggosip itu.
BRAKKKK!
Seketika itu juga, suasana hening menyelimuti kelas. Bu Mei yang terkenal sebagai guru paling asik dan murah senyum sampai menggebrak meja, sudah dipastikan mereka akan kena masalah.
***
Rupanya
mengajar dengan mood tidak baik, bisa meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Hal
itu baru disadari Mei sekarang. Dengan suasana kelas yang panas dan aksinya
memukul meja tadi, sisa jam pelajaran bisa dilewati dengan ketenangan seisi
kelas. Jujur saja Mei tidak peduli jika ke depannya ia akan dicap sebagai guru
galak. Toh selama ini image yang ia
dapatkan, bukan dirinya yang sebenarnya.
Lagipula
dengan insiden kecil tadi, beberapa murid terlihat lebih memandangnya sebagai
guru. Untuk sedikit mencairkan suasana, Mei memperbolehkan murid yang belum
mengerjakan tugas untuk menyelesaikannya selama jam pelajarannya. Ia melihat
absen dihadapannya. Masih tersisa 3 murid yang belum menyerahkan tugasnya.
“Bu,
ini tugas saya.” Naomi menyerahkan buku latihannya. Mei mengangkat alis.
“Kamu
baru membuat?”
“Saya
buat ulang, Bu. Saya gak mau dianggep nyontek.” Ujarnya membela diri dengan
memberikan penekanan di akhir ucapannya sembari melirik Fendi. Mei mengangguk
dan mempersilahkan Naomi kembali ke tempat duduknya.
“Lima
menit lagi!” seru Mei mengingatkan. Naufal terlihat buru-buru menyelesaikan
tugasnya, sementara Fendi terlihat tak acuh. Anak itu butuh pendidikan moral rupanya, batin Mei agak kesal
dengan attitude Fendi.
Mencoba
menghalau rasa kesalnya, Mei mengambil asal dari tumpukan buku dihadapannya. Ia
membaca nama pemilik buku itu yang tertera di sudut kanan atas buku, Ivan Pandita. Ia melirik tempat duduk
Ivan dan mendapati anak itu juga sedang menatapnya. Segera dialihkannya
pandangan matanya kembali ke buku yang dipegangnya.
Ia membaca baris demi baris. Pilihan kata yang digunakan tidak terlalu berat, namun juga tidak murahan. Ada sekitar 15 baris yang ditulis dengan tulisan yang agak berantakan. Ia baru membaca setengah, namun sejauh ini isinya bisa dibilang tidak mengecewakan. Lumayan juga..
Mei melanjutkan membaca sampai baris terakhir dimana terlihat sekali terlalu sering dihapus. Ia membelalakkan matanya lalu refleks menoleh ke arah Ivan. Ivan yang sedang berbicara dengan Nabila tidak melihatnya. Mei menggeleng lalu menutup buku dan kembali mengawasi murid yang sedang menulis.
Namun pikirannya terlanjur dipenuhi sebaris kalimat yang baru saja ia baca. Bagaimana pun juga ia tidak bisa melupakan kalimat itu.
Ms. Mei, will you be my girlfriend?
(to be continued...)
"Senyum yang tambah manis berkat gigi gingsulnya" jadi mayu ( /,\ ) *elo siapa* *dijitak*
ReplyDeleteBaru ngeh kalo Bu Mei di situ guru magang, kirain udah tua xD
Terus landjutkan bang~
Lanjutannya taun depan lagi gak nih? Jangan lama-lama ( '-')/ #padahalsendirinyajuga #hidupauthorPHP
males ah gaada akunya
ReplyDeleteSi Rafael mana nih makan nasgor gk nongol2... Keselek sendok kali ya °^°)a
ReplyDelete