Thursday, December 13, 2012

The Young Adult - Chapter 4

Moshi-moshi~!
One does not simply, update chapter sesering ini. Well, mungkin setelah chapter ini publish, gue bakal vakum publish chapter dulu. Kenapa? Soalnya chapter-chapter yang udah di publish ini ketikan gue dua tahun yang lalu, yang sampe sekarang belum ada progressnya. #shothead.

But~ don't worry be happy! Gue punya satu project lagi. Bukan cerpen atau cerbung, tapi mudah2an bisa bikin orang ngerasa seru sedikit lah ya.. Masih wacana sih, mudah2an bisa terealisasi secepatnya. Amiin...

Chapter sebelumnya: The Young Adult - Chapter 3

Langsung aja deh baca~


>>> The Young Adult - Chapter 4 >>>
“Sella!” suara merdu Kakak memanggilku dari dalam mobil.

Kulihat Kakak sudah duduk manis di jok belakang mobil Evan.

“Lo duduk di belakang ya, sama Renna.” Evan berkata seraya membukakan pintu untukku.

Aku masuk ke dalam baleno-nya, lalu duduk disamping Kakak. “Hai, Kak!” sapaku basa-basi.

“Hai, cantik.. Sombong amat, sih. Tadi kata Evan kamu liat aku sama dia..hmm.. ciuman?” rona wajah Kakak bersemu merah.

Aku mengangguk, “romantis banget lho tadi, Kak. Hehehe..” aku berusaha tetap santai, padahal apa yang kurasakan justru sebaliknya.

“Bisa aja kamu, Sell. Aku tadi kelepasan tau, ini nih gara-gara Evan juga yang maksa.” Kakak mencubit lembut pipi Evan. Aku hanya bisa gigit jari melihat kemesraan mereka berdua. Terbayang dipikiranku seandainya Evan menjadi milikku, mungkin saat itu sudah tidak ada Kakak. Atau mungkin Kakak yang lebih dulu meninggalkan Evan. Namun sepertinya tidak mungkin.

“Sell, kok bengong?” Kakak menyenggol lenganku.

“Eh? Engga kok, gak bengong.” Aku berkilah. Padahal sangat jelas terlihat bahwa aku iri dengan kemesraan hubungan mereka.

“Na, lusa kamu beneran pulang?” Evan melihat Kakak dari spion mobil.

“Iya, sayang..” Kakak mengusap-usap kepala Evan, “emang kenapa?”

“Kan aku masih kangen, Na. Minggu depan aja deh pulangnya.” Baru kali ini kudengar Evan meminta begitu memelas.

“Nanti dirumah kita omongin deh, ya?” Kakak mencium pipi Evan lalu berbalik melihatku, “maaf ya, Sell. Evan emang suka gitu, manja.”

Aku hanya mengangguk, seorang Evan, manja? Dan Kakak anggep itu biasa? Hhh.. Beruntung sekali mereka. Jantungku berdebar melihat sikap Evan yang berbeda terhadap Kakak. Aku ingin dia seperti itu padaku.

“Kakak disana sendirian tinggalnya?” tanyaku mengalihkan perhatianku sendiri.

“Engga. Sama temanku, namanya Lulu.” Kakak kembali bersandar di joknya.

“Pergaulan di Jogja sama gak sih sama Jakarta, Kak?”

“Kurang lebih sama, dek. Cuma di Jogja kamu harus hati-hati banget dalam memilah teman, karena salah pilih teman itu bisa bahaya lho!”

Aku mengangguk, “aku mau kuliah di Jogja nanti, Kak..”

“Oh ya? Bagus itu, kampus di Jogja emang bagus-bagus kok.”

Aku tersenyum. Tak lama mobil yang dikendarai Evan sampai di depan rumahku.

“Kak, mau mampir gak?” tanyaku pada Kakak.

Kakak menggeleng, “aku mau ke tempat kost Evan, dek. Maaf ya!”

“Oh, gak apa-apa kok. Yaudah, makasih ya udah dianter pulang. Makasih, Kak Evan!”

Evan hanya mengangguk seraya tersenyum. Aku pun keluar dari mobil diikuti Kakak yang akan berpindah tempat duduk. Setelah bercipika-cipiki dengan Kakak, aku pun masuk ke dalam rumah.

“Sell!” kulihat Aira sudah duduk nyaman di sofaku.

“Lah? Naek apaan lo, udah nyampe aja.” Sahutku sembari menaiki tangga ke lantai 2 rumahku.

Aira mengikutiku menuju kamarku, “kan tadi gue balik duluan. Eh, td lo dianter Evan?”

Aku hanya mengangguk. Lalu kurebahkan badanku dikasur.

“Asik bangeeeet!”

“Asik apanya?” tanyaku sewot.

“Lah, kan semobil sama prince charming lo itu.”

“Iya. Tapi ada beautiful princessnya!” kesalku. Aira menutup mulutnya.

“Aduh, maaf maaf. Gue lupa.”

“Ngga apa-apa.”

“Hmm.. Sell, ajarin fisika dong!” pinta Aira memelas.

“Keluarin buku lo sini, gue ajarin yang lo gak ngerti aja.” Aku bangun duduk seraya menguncir rambutku.

Aira dengan sigap mengeluarkan buku fisikanya dan duduk manis dihadapanku, “Sell..”

“Hm? Kenapa, Ra?”

“Gue gak ngerti semuanya.”

Aku melihatnya kaget, “serius!?”

Aira mengangguk lalu tersenyum memamerkan kawat giginya yang berwarna biru.

“Tolong ya, Sella sayang..” ia mengguncang-guncang tanganku.

Aku menghela nafas pasrah, lalu mengangguk.

***

“Ra, 2 minggu lagi Evan ulang tahun nih! Gue kasih kado apa ya?” tanyaku pada Aira yang sedang asik main games di laptopku. Hari ini hari Minggu, Aira selalu menyempatkan diri main ke rumahku. Yah, walaupun sebenarnya bukan hanya ‘menyempatkan’ tapi memang ‘selalu singgah’ kesini.

“Hah? Apa ya? Mati lo!” ia malah lebih konsentrasi pada permainan. Karena kesal kutinggal saja dia di kamarku sedangkan aku ke dapur dilantai bawah untuk membuat dua gelas es jeruk. Sembari membuat es jeruk aku sibuk memikirkan hadiah apa yang sebaiknya kuberikan pada Evan.

Baju? Ah, baju dia banyak. Lagipula gue gak tau ukurannya. Sepatu? Gue tau, sih, ukurannya. Tapi nanti kalo salah gimana? Kesempitan gitu misalnya, malu dong gue. Gitar? Mahal, bo! Hm.. Apa ya?

Tak terasa air jeruk yang kutuang sudah melebihi volume gelas, “aduh! Sial.” Cepat-cepat kubersihkan tumpahan air jeruk tadi, lalu ku bawa nampan berisi dua gelas es jeruk buatanku ke kamarku.

“Sella!” jeritan Aira membuatku kaget lalu dengan agak terburu-buru aku buka pintu kamarku dengan satu tangan memegang nampan.

“Kenapa, Ra?” tanyaku panik.

Aira melihatku lalu tersenyum lebar, “ah, gak apa-apa. Gue cuma takut aja tadi sendirian.”

“Dasar! Gue kira lo kenapa, teriak kenceng banget.” Kuletakkan nampan berisi es jeruk manis kesukaannya di meja.

“Wah! Sella cantik bikinin gue es jeruk. Makasih ya!” tanpa disuruh pun Aira meminum es jeruknya.

“Ra, gue nanya dari tadi gak dijawab-jawab. Gue ngasih kado apa nih buat Evan?” tanyaku padanya, sedangkan yang ditanya malah asyik dengan handphone-nya. Karena gemas langsung ku kelitiki pinggangnya.

“Hahahaha..iya iya.. ampun, Sell.. hahahha..” Aira menggelinjang kegelian.

Kulepaskan kelitikanku lalu kembali duduk dengan benar, “jadi gimana? Bantuin dong!”

“Iya, iya. Kalo kata gue sih, mending lo kasih apa aja. Toh pasti dia terima juga, Sell.” Sahut Aira santai seraya kembali melanjutkan games-nya.

“Ah, elu mah gak ngebantu!” sahutku kesal lalu mengecek HP ku yang sejak kejadian kemarin ku matikan.

4 New Message


Arya Aditya

Sayang, tadi kakak kamu ngeroyok aku. Kamu sini dong, aku bonyok nih.

Arya Aditya
Kamu lagi apa yang? Kok aku sapa di YM ga dibales?

Arya Aditya
Yang, kamu kenapa sih? Kok sms aku ga dibales? Aku tlpn ga nyambung. Aku kesana ya!

Arya Aditya
Yang, semalem kenapa? Sekarang aku kesana ya! Kangen kamu.

Dengan malas langsung saja ku balas sekenanya.

To: Arya Aditya
Salah kamu. Lagian cari masalah. Aku ngga apa-apa. Ngga bisa, dirumah lagi ada Aira.

Lalu kuletakkan kembali HP di samping bantal. Kulihat Aira yang sedang memperhatikanku.

“Kenapa ngeliatin gitu, Ra?”

“Engga. Lo tuh sebenernya sayang gak sih sama Arya? Semalem nelepon gue berjam-jam cuma buat ngomongin Evan. Padahal lo tau, si Arya abis digebukin sama Aldi.”

Aku menggeleng ragu, “lo kan tau sendiri, Ra. Sayang gue cuma buat Evan.”

Aira mendecak kesal, “trus kenapa lo gak putusin aja Arya?”

“Gak tega gue, Ra. Kalo lo jadi gue yang dulu ngarep-ngarep punya pacar, trus ada cowok nembak lo pas hari ulang tahun lo dengan bawa boneka beruang yang gede banget, emang lo tega nolak?” kutanya balik dia, yang ditanya hanya diam membisu.

“Ng...”

“Terus kalo sekarang orang itu perhatian banget sama lo, sampe bela-belain jemput lo tengah malem, nganterin lo pulang. Emang lo tega mutusin dia?”

“Ng... Gimana ya, Sell? Bingung juga.” Jawabnya pasrah.

“Nah, lo juga bingung kan?” aku merasa diatas angin.

“Iya, deh. Kali ini lo menang.” Aira menghela nafas pasrah atas kekalahannya.

Aku tertawa renyah, “maaf ya, Aira sayang.. Gue gak pernah kalah debat, you know that huh?”

“Iya-iya. Yaudah, gue pulang dulu deh ya. Udah sore nih.” Dia melihat jam tangannya lalu merapikan buku-buku pelajarannya yang berserakan di kasurku.

“Gue anter sampe depan, deh.” Tawarku seraya membantunya merapikan buku-bukunya.

Lalu setelah beres aku mengantar Aira sampai pintu gerbang rumahku lalu kembali ke dalam rumah. Home sweet home, aku sangat suka rumahku yang minimalis ini. Sebagian besar design memang usulku, tapi tak sedikit juga campur tangan Mama.

Kurebahkan kembali tubuhku di kasur empuk di kamarku. Kembali aku memikirkan Evan. Sakit rasanya membayangkan apa yang sedang ia lakukan bersama Kakak sekarang. Mungkin mereka sedang bermesraan, atau mungkin juga sedang membicarakan hal lain yang tidak aku ketahui. Bagaimanapun kondisinya, aku tetap tidak bisa memiliki Evan.

Kupejamkan mata menikmati semilir angin yang masuk melalui balkon kamarku. Amat sejuk rasanya, jarang ada angin sesejuk ini. Ponselku berdering, sms.

2 New Message


Rennata

Sell, hari Sabtu temenin aku nyari kado buat Evan yuk!

Arya Aditya
Kok kamu gitu? Yaudah, kalo kamu berubah pikiran tlpn aku ya! Love you.

Kubalas kedua sms itu.

To: Rennata
Boleh. Kakak jemput aku ya! Hehe :P

To: Arya Aditya
Hm mm.

Kuletakkan kembali ponselku di meja, seraya kupejamkan mata. Aku ingin tidur.

***

“Kenapa sih, Sell, lo ga pernah mau mutusin Arya? Padahal lo tau sendiri itu anak belagu bukan main.” Ujar Aldi disela makan malam kami. Yah, tentu saja aku yang memasak semuanya. Bi Inah hanya datang untuk membersihkan rumah, ia pulang setiap pukul 4 petang.

Aku hanya diam membisu. Menu makan malam kali ini pun mencerminkan mood-ku yang sedang tidak enak. Semangkuk salad, spicy chicken, fish stick, dan fastfood tinggal goreng lainnya.

“Kemaren pas gue sama anak-anak ngasih pelajaran lagi ke dia, malah nantang tu anak. Aneh, gak kapok-kapok juga.” Gerutunya kesal. Kulihat salad dipiringku dengan malas, belakangan ini aku benar-benar tidak nafsu makan. Mungkin melihat Evan dan Kakak berciuman adalah salah satu faktor terbesar hilangnya mood dan nafsu makanku.

“Sell?” panggilnya pelan. Ia memang paling tahu apa yang sedang kurasakan.

“Hm.”

“Kenapa? Masalah si itu lagi?” tanyanya. Ya, selain Aira, Aldi juga tahu tentang perasaanku pada Evan.

Aku menggeleng, “ngga kok, Di.. Gue emang lagi ngga mood aja. Sorry.” Sahutku sekenanya.

TING TONG TING TONG

Bel tamu berbunyi. Aldi dengan sigap bangkit menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.

“Weits! Pasangan bulan madu, ngapain kesini? Numpang makan? Haha..” terdengar suara-suara dari arah ruang tamu. Rupanya pangeran impianku dan putrinya yang berkunjung. Ku kuatkan mentalku.

“Sellaaa!” panggil Kakak. Aku menghela nafas sebelum menghampirinya.

“Hai, Kak!” sahutku sambil kupeluk tubuh semampainya, “kok tumben kesini?” tanyaku lugu. Bukannya bermaksud sok polos, namun sepanjang eksistensi mereka, tiap kali Kakak pulang dari Jogja mereka pasti absen kesini.

“Iya, nih. Evan kelaperan. Hehe..”

“Jadi ceritanya numpang makan nih?” celetukku. Kulihat Evan tertawa. Oh, Tuhan. Tampan sekali.

“Gitu deh, Sell. Boleh kan?” tanya Evan seraya mengedipkan mata menggodaku. Aku hanya tersenyum ragu.

“Boleh aja. Tapi sayangnya aku lagi ngga mood masak nih.” Sahutku santai seraya merapihkan bekas makanku, “silahkan dinikmati deh!” seruku sambil berlalu ke dapur. Sungguh benar-benar hari yang buruk. Mengapa mereka harus mengumbar kemesraan didepan orang-orang sih? Bikin iri aja.

Ku cuci mangkuk saladku lalu aku menaiki tangga.

“Sella! Kok naik? Sini dong, ngobrol dulu.” Seru Kakak. Aku hanya tersenyum tipis dan menggeleng sambil membuat isyarat tangan seperti orang membuka buku. Kakak tersenyum lalu melanjutkan pembicaraan dengan Aldi dan Evan. Aku masuk kamar lalu ku kunci. Aku benar-benar ingin sendiri.

Aku menghempaskan tubuhku ke kasur, ku pejamkan mataku rapat-rapat. Bayangan Evan dan Kakak berciuman muncul lagi. Sial. Mana mungkin aku bisa lupa, itu moment paling menyakitkan hati. Hal itu juga yang menjadi faktor utama penghilang moodku hari ini. “Brengsek!”

TOK TOK TOK

(to be continued...)
>>>

Nahlo, siapakah sang pengetok pintu? #jengjeng #backsoundhorror #zoominzoomout.
Mau lanjut? Lanjut? Males._.

Salam PHP!

Jaa~!

No comments:

Post a Comment

I dare you to write comment down there.