Gadis berambut merah muda itu kembali melihat arlojinya tanpa berusaha untuk menyembunyikan wajah kesalnya.
"Sudah 2 jam.." gumamnya pelan.
Ia melipat tangan dan menghempaskan diri ke bangku keras di halte bis
itu. Hujan rintik-rintik menambah suram harinya yang sejak pagi sangat tidak
menyenangkan. Mulai dari jam wekernya yang tidak berbunyi, tukang koran yang
tidak datang mengantar koran yang biasa ia baca tiap pagi, sampai tadi saat ia
pergi ke tempat kerjanya namun tempat itu tidak buka.
Ya, dia bekerja di sebuah bar khusus untuk penggemar musik metal.
Menjadi seorang bartender memang tidak mudah bagi gadis seusianya, tapi baginya
yang sudah lama melakukannya, hal itu sudah menjadi keseharian. Seperti
bagaimana kau membuat martini yang sempurna, atau meracik jenis cocktail baru.
Sekali lagi ia mencoba menghubungi nomor yang paling sering ia hubungi,
sampai ia memasukkannya ke daftar panggil di nomor 1.
"Tidak diangkat. Kemana sih dia?" diputusnya panggilan itu
lalu menelepon nomor lain. Telepon diangkat pada dering pertama.
"Kagura-san, apa kau sedang sibuk?"
"Mm ... selain sedang di kasur dengan
wanita cantik? Tidak, aku tidak sibuk." jawab orang ditelepon itu diiringi suara
tawanya yang khas.
"Oh!" ia menutup mulutnya refleks, "maaf. Aku mengganggu
kalau begitu. Nanti aku hubungi lagi kalau kau sedang senggang ..."
"Tidak, tidak. Aku hanya bercanda. Ada
apa?"
"Hm ... seperti biasa. Aku menunggunya sudah 2 jam, tapi ia belum
datang juga sampai sekarang."
"Hiyama?"
"Ya ... memangnya siapa lagi yang suka membuatku menunggu seperti
itu?" ketusnya sambil melipat rambutnya yang keluar dari ponytailnya
ke belakang telinga.
"Hahaha ... baiklah, kau dimana
sekarang?"
"Eh? Memangnya kenapa?"
"Kenapa malah bertanya? Aku mau
menjemputmu tentu saja!"
"Menjemput? Tapi ..."
"Kau masih mau menunggunya sebentar
lagi?"
"..."
"Luka-chan, kau terlalu
mencintainya." kalimat itu bernada mengejek, namun Okurine merasakan hangat di
pipinya.
"Un ... sepertinya begitu." sahutnya yang tersenyum hanya
karena memikirkan betapa ia sangat mencintai kekasihnya.
"Lalu untuk apa kau menghubungiku?"
"Eh? Ng ... Oh! Aku mau bertanya kenapa kau tidak membuka bar sore
tadi," jawab Okurine terburu-buru. "Begitulah kenapa aku
meneleponmu," terdengar decakan kesal dari ujung telepon.
"Harusnya hari ini giliran Isamine,
kemana bocah sialan itu? Biar kuhubungi dia nanti," Okurine tersenyum
membayangkan wajah kesal Kagura.
"Tenang sedikit, Kagura-san.." katanya mencoba menenangkan.
Namun telepon keburu ditutup oleh Kagura. Okurine menatap layar handphonenya
dengan bingung. Sudahlah, pikirnya. Kagura adalah orang yang sudah
seperti sosok kakak baginya. Entah sudah berapa ribu kali ia mengeluhkan
masalahnya pada Kagura.
Ia bertemu Kagura 12 tahun yang lalu, ketika ia baru saja kabur dari
rumah dan tidak tahu harus kemana. Dengan membawa boneka kesayangannya,
berjalan tak tentu arah. Kemudian ia melihat dua orang remaja jalanan yang
sedang membawakan sebuah lagu, Kagura dan Isamine. Kagura berambut ungu yang
dipotong sebahu, sementara Isamine berambut pendek yang dicat biru muda.
Penampilan yang sangat nyentrik itu sangat kontras dengan lagu yang mereka bawakan,
Trust Me dari Yuuya Matsushita.
"Naite mireba ii, tayotte mireba ii, sono subete wo ukotomeru to
kimeta - cobalah untuk menangis, cobalah untuk bergantung, apapun masalahmu
aku siap menanggungnya."
Seperti mendapat kekuatan dari lagu itu, ia yang saat itu masih berusia
10 tahun pun memutuskan untuk melihat performance mereka sampai akhir. Kagura
adalah orang yang pertama menyadari keberadaannya diantara keramaian. Ia pun
memutuskan untuk menceritakan masalahnya pada Kagura. Sejak itulah ia, Kagura,
dan Isamine menjalin persahabatan yang sangat erat. Sampai ketika orang tuanya
menemukannya sedang bernyanyi di jalanan, 2 tahun setelah ia menghilang dari
rumah.
Mencoba untuk kembali ke kehidupannya sebelum bertemu Kagura dan
Isamine, ia merasa sangat tertekan. Orangtuanya bersikap lebih keras
terhadapnya. Tak sampai 5 bulan kembali ke rumah, ia pun memutuskan untuk
kembali kabur ke jalanan. Namun yang ia temukan adalah kenyataan bahwa ia telah
kehilangan Kagura dan Isamine.
*PIRIRIRIRIRIRIRIN*
Okurine segera mengangkat teleponnya, namun segera kecewa ketika
mendengar suara Isamine dari seberang telepon.
"Luka-chan, kau sedang dirumah?"
"Tidak, aku sedang keluar. Ada apa?"
"Berarti kau yang melaporkanku pada
Kagura," terdengar desahan panjang sebelum ia melanjutkan. "Dia mengamuk,
kau tau kan bagaimana rasanya?"
"Hehehe ... salahmu sendiri. Kenapa tidak melakukan tugasmu,"
ia tertawa.
"Aku kan juga ingin berlibur sebentar,
apa salahnya?" keluh Isamine. "Dia sering berlibur sementara aku harus selalu
membuka toko, itu kan tidak adil."
"Iya juga, sih. Tapi kan kau tau, Kagura-san berlibur untuk membuka
cabang baru Hagane bar. Sementara kau berlibur pasti untuk bersenang-senang
..."
"Siapa bilang!?" Isamine memotong
pembicaraan. "Aku kan juga melakukan riset! Lagipula Kagura itu juga
bersenang-senang dengan wanita pemilik bar, kau saja yang tidak tahu."
"Siapa bilang? Aku tahu, kok. Itu kan demi kelangsungan bar kita
juga. Jadi ku rasa baik-baik saja," ujarnya sambil memilin ujung rambut
seperti biasa. Terdengar tawa dari seberang telepon.
"Baiklah ... Aku tidak akan pernah menang
melawan Kagura. Mungkin juga si Hiyama bodoh itu juga tidak bisa mengganti
posisi Kagura di hatimu, ya kan?" Okurine merasakan pipinya panas.
"Kau ini ngomong apa, sih? Kagura itu sudah ku anggap kakakku
sendiri, tau! Lagipula Kiyo tidak bodoh, ia salah satu lelaki terpintar yang
pernah ku temui."
"Salah satu? Siapa yang satunya lagi? Hm?
Hm?" Ejek Isamine yang mengetahui dengan pasti bahwa satu orang lagi yang
dimaksud adalah Kagura. Okurine semakin salah tingkah. Isamine memang tahu
kalau cinta pertamanya adalah Kagura.
Ketika ia
kembali kabur dari rumah dan berusaha mencari Kagura dan Isamine, ia tidak
berhasil. Berhari-hari ia terlantar di jalanan, bahkan ia tidak tidur. Sampai akhirnya
Kagura lah yang menemukannya dan mengajaknya pulang. Kagura bercerita tentang
ia dan Isamine yang sekarang tinggal serumah. Lebih tepatnya, mereka tinggal di
dalam sebuah bar yang sepi pengunjung.
Pemilik bar
memperkerjakan mereka sebagai karyawan, dan sebagai upahnya mereka boleh
tinggal di dalam bar selama mereka bekerja. Tentu saja Kagura dan Isamine
menerima tawaran itu, dan sejak itulah mereka berhenti bernyanyi di jalanan dan
memilih untuk bernyanyi di bar. Selera musik para pengunjung bar masing-masing
memiliki kesamaan, mereka menyukai musik metal. Setelah berdiskusi dengan
pemilik bar, bar itu pun berubah nama dan konsep.
Sejak
berganti nama, Hagane Bar semakin ramai pengunjung. Saat itulah Kagura
mendengar salah seorang pengunjung membicarakan tentang gadis remaja yang
terlantar di jalanan. Memiliki firasat bahwa gadis itu adalah Okurine, Kagura
pun mencari keberadaannya. Baginya tidak ada perasaan lega yang melebihi
perasaannya saat menemukan Okurine sedang terduduk di sebuah bangku taman.
“Luka-chan?” panggil
Isamine setelah hening yang cukup lama.
“Eh? Ya?”
“Kau sedang melamun atau apa? Tumben sekali kau
tidak menjerit-jerit,” Okurine
mengernyitkan dahinya.
“Menjerit-jerit?”
tanyanya setengah tertawa.
“Yah, kau kan biasanya menjerit-jerit kalau kita
sudah membahas cinta pertamamu itu.” sahut
Isamine disusul tawanya yang menyebalkan.
“Aku sedang
teringat saat kita bertemu lagi setelah aku diculik keluargaku, kau masih
ingat?”
“Diculik keluargamu? (tertawa) Iya, dan kau lebih
memilih tinggal bersama cinta pertamamu itu, kan?” goda Isamine yang dibalas dengan dengusan oleh Okurine.
Tentu saja
Okurine memilih tinggal bersama Kagura dan Isamine daripada pulang ke rumah
keluarganya. Namun usianya yang tergolong cukup muda saat itu dan fakta yang
tidak bisa ditolak bahwa ia adalah perempuan, membuat pemilik bar ragu untuk
memperkerjakannya. Lagi-lagi berkat Kagura, ia bisa diterima bekerja walau
hanya membantu di gudang dan saat bersih-bersih.
Seiring
berjalannya waktu, Okurine pun mulai diperbolehkan menerima pesanan tamu dan
menyerahkannya ke Isamine atau Kagura. Dan ia turut diajari cara menjadi
seorang bartender, serta membuat cocktail dan beberapa jenis minuman lain.
“Tentu
saja! Aku kan tahu, kau selalu kesepian jika sedang berduaan saja dengan
Kagura-san. Makanya aku menemanimu, seharusnya kau berterimakasih padaku!”
sungutnya sambil kembali memilin ujung rambutnya. Cuaca semakin dingin, ia
merapatkan syalnya.
Ia masih
ingat saat pertama kali membuat cocktail, Kagura lah yang berani mencicipinya.
Atau saat ia mencoba resep cocktail kuno yang tak sengaja ia temukan di gudang,
dan memberikannya pada Isamine untuk dicoba. Ia ingat bagaimana ia harus merawat
Isamine selama 2 minggu karenanya. Ia tertawa mengingat kejadian itu.
“Apa yang kau tertawakan? Lagi-lagi kau melamun,
ya?” ujar Isamine sedikit kesal karena
celotehannya sejak tadi tidak ditanggapi.
“Menertawakanmu,”
sahut Okurine singkat. Mungkin karena ia dan Isamine lahir di tahun yang sama,
ia sama sekali tidak merasa segan. Begitu juga sebaliknya.
“Mengingat masa lalu?” tebak Isamine dengan tepat. Okurine mengangguk lalu tersadar Isamine
tidak bisa melihatnya.
“Iya.
Masa-masa kejayaanku meracik cocktail baru,” jelas Okurine. Ia mendengar
erangan kesal diseberang telepon.
“Kau membuatku hampir mati, tahu!” gerutu Isamine. Okurine tersenyum. Ia teringat bagaimana pemilik bar
memarahinya habis-habisan. Bukan hanya karena masalah Isamine, namun karena
Okurine melakukan percobaan berbahayanya itu sendirian. Kagura pun ikut
memarahinya, dan berjanji pada pemilik bar bahwa ia akan mengawasi Okurine dengan
ketat.
“Isamine,”
panggilnya pelan.
“Ya?”
“Tiba-tiba
aku ingat pada pemilik bar,” Okurine menatap bayangannya pada genangan air
dihadapannya.
“Luka-chan, bukankah Kagura juga sudah
menjelaskannya padamu? Itu bukan salahmu,” suara
Isamine terdengar melembut.
“Un. Aku
cuma teringat,” elaknya. Ia memang masih merasa bersalah atas kejadian yang
menimpa pemilik bar.
Saat itu ia
kembali melakukan percobaan tanpa ditemani Kagura. Tanpa tahu bahwa kedua jenis
minuman keras yang akan ia campur merupakan jenis yang sangat berbahaya jika
dicampur, ia pun menuangkan kedua jenis minuman itu ke dalam satu gelas. Hal terakhir
yang ia ingat sebelum pingsan adalah, punggung pemilik bar yang berdiri
melindunginya dari pecahan gelas yang meledak.
Ia ingat
terbangun di kasur rumah sakit ditemani Isamine. Ia terus menanyakan keadaan
pemilik bar, namun Isamine tidak mengatakan apapun. Hingga saat ia pulang dari
rumah sakit, melihat bar penuh dengan orang yang mengenakan pakaian hitam.
Kagura lah yang memeluknya dan menenangkannya saat ia menjerit histeris melihat
pemakaman pemilik bar. Hingga saat ini, Okurine masih merasa bersalah.
“Luka-chan,” panggil
Isamine yang tahu bahwa Okurine sedang menyalahkan dirinya sendiri. “Itu bukan salahmu, oke?”
“Un.”
“Pemilik bar menyayangimu, karena itu lah ia
melindungimu.”
“Iya. Maaf.
Emosiku sepertinya sedang tidak stabil,” ujarnya sambil menghapus airmata
disudut matanya.
“Karena sedang menunggu Hiyama-mu yang tidak
datang?”
“Belum,”
Okurine mengoreksi pertanyaan Isamine. “Dia belum datang, tapi ia pasti datang.”
“Kenapa kau yakin sekali?”
“Karena dia
bukan playboy yang sering lupa janji sepertimu,” ejeknya disusul tawa Isamine.
“Luka-chan, sepertinya aku harus benar-benar
kembali ke bar. Kau tahu? Sejak tadi Kagura meneleponku,” akunya seraya tertawa. “Aku tidak
tahu harus senang karena bisa melihat wajah kesalnya atau sedih menanti
hukumannya.”
“Kau sudah
gila, Isamine. Mengabaikan telepon Kagura-san adalah salah satu ciri
kegilaanmu.”
“Begitulah. Kau masih butuh teman menunggu? Aku
masih bisa mengabaikan Kagura, kok. Lagipula aku kasihan mendengarmu sendirian
menanti kekasih di tengah hujan.”
“Tidak
perlu,” sahutnya kesal. “Kasihanilah dirimu sendiri, Kagura-san tidak pernah
main-main dengan ucapannya. Bye!” Okurine menutup teleponnya. Ia membayangkan
hukuman apa yang akan Kagura berikan untuk Isamine. Ia kembali melihat jam
tangannya. Sudah 30 menit sejak terakhir ia melihat jam.
“Kiyo...”
bisiknya pada kegelapan. Sesungguhnya berbicara dengan Kagura dan Isamine di
telepon membuatnya lebih tegar. Ditemani keheningan malam malah membuatnya
terlihat cengeng. Hujan yang turun lebih deras seolah mengerti perasaannya.
Ia kembali
mencoba menelepon, masih tidak diangkat. Kesal, ia menghenyakkan handphonenya
ke dalam tas.
*PIRIRIRIRIRIRIRIN*
Okurine
segera mengangkat teleponnya setelah melihat nama si penelepon.
“Okurine-chan?” suara
Hiyama Kiyoteru menyapa telinganya.
“Kiyo, kamu
kemana aja? Aku sudah menunggumu hampir 3 jam, tahu?”
“...ya. Maaf,” suaranya
terdengar datar, tidak seperti biasa. “Saya
segera kesana,” lanjutnya lalu telepon diputus. Okurine kembali memasukkan
handphonenya ke dalam tas. Moodnya semakin memburuk. Namun ia yakin moodnya
akan segera membaik saat melihat Kiyoteru nanti.
Tak sampai
10 menit menunggu, Okurine melihat siluet Kiyoteru berjalan kearahnya. Wajahnya
tertutup bayangan dari payung, tapi ia yakin itu kekasihnya.
“Ki—“ ia
terdiam tidak jadi memanggil nama Kiyoteru karena yang datang bukan dia. “Isamine?”
“Hai,”
sahutnya sambil menutup payung dan duduk di samping Okurine. Wajahnya terlihat
tegang.
“Isamine?”
panggilnya sekali lagi, kali ini dengan menyentuh bahunya. Isamine menoleh dan
tersenyum begitu sedih.
“Luka-chan,
sebaiknya kita pulang saja.”
“Kau itu
kenapa, sih? Takut menghadapi Kagura-san sendirian?” ejeknya sambil tertawa.
Berharap Isamine akan ikut tertawa, namun ia malah menunduk. “Isamine, ini
tidak lucu!” Okurine memukul lengan Isamine. “Jangan menakut-nakutiku!”
“Luka-chan,”
panggilnya tegas. Okurine terdiam menatap Isamine yang masih menunduk. “Terjadi
sesuatu pada ... Hiyama.”
Okurine
merasakan angin dingin menyerangnya. Tubuhnya mengejang sesaat. Kiyo..
“Tidak
mungkin! Kiyo baru saja meneleponku. Kalau mau bohong yang lebih pintar
sedikit, Isamine.” Ejeknya sambil mengacak rambut Isamine.
“Luka-chan,”
Okurine menoleh dan melihat Kagura.
“Kagura-san!”
ia segera menghampiri Kagura. “Kau tahu? Isamine mencoba membohongiku. Dia
bilang –“
“Luka-chan,”
Kagura memotong kalimatnya. “Kita bicarakan di rumah saja,” ujarnya sambil
tersenyum. Senyum yang sama dengan Isamine.
“Kagura-san,
tolong katakan kalau Isamine bohong.” Okurine merasakan wajahnya panas.
Pandangannya mengabur terhalang airmata. Kagura memeluknya.
“Isamine
tidak berbohong. Terjadi sesuatu pada Hiyama, dan dia ingin bertemu.” Suaranya
yang biasanya selalu menenangkan Okurine itu kini bagai mencabik-cabik hatinya.
Airmatanya tumpah.
“Tolong
katakan kalau kalian tidak serius,” isaknya keras teredam suara hujan. “Kiyo
baik-baik saja. Tolong katakan kalau Kiyo baik-baik saja!!” ia meraung semakin
keras, dan Kagura pun memeluknya semakin erat.
“Luka-chan,
kau harus tenang.” Kagura mengusap kepalanya dengan lembut, yang biasanya akan
membuatnya tenang. Namun kali ini tidak.
“Kagura-san!!
Tolong katakan kalau Kiyo baik-baik saja! Ku mohon!!” raungnya semakin keras.
“Ramai, ya?”
Okurine
terdiam. Ia melepaskan pelukan Kagura dan mencari sumber suara itu.
“Okurine-chan,”
panggil sosok yang berdiri tepat dibelakangnya. Okurine menoleh menatap mata onyx milik Kiyoteru.
“Kiyo?”
Okurine memandangnya bingung. Ia menoleh ke arah Kagura dan Isamine, meminta
penjelasan. Ia melihat Isamine terpingkal-pingkal tak bersuara, sementara
Kagura menutup mulutnya dengan tangan dan berusaha menahan tawa.
“Okurine-chan,
selamat ulang tahun.” Bisik Kiyoteru tepat ditelinganya. Okurine berjengit
sesaat dan kembali menatap Kiyoteru. Masih bingung, ia terdiam sesaat lalu
berlari ke arah Kagura dan Isamine sambil berteriak.
“KAGURA-SAAAN,
ISAMINEEEEE!! KURANG AJAAAARRR!!!”
***
“Sudahlah,
maafkan saja mereka. Mungkin mereka iseng—“
“Tapi kan
tidak perlu begitu! Aku benar-benar takut, Kiyo.” Kiyoteru tertawa pelan.
“Sepertinya
wajar saja mereka mengerjaimu, kau kan—“
“Wajar
bagaimana!? Mereka itu keterlaluan! Aku hampir pingsan, aku pikir kamu
kenapa-kenapa. Dan mereka belum mau minta maaf, Kiyo, bukankah itu keterlaluan?
Menurutku mereka benar-benar menikmati, bisa mengerjaiku seperti itu. Terutama si
Isamine itu, dia yang tertawa paling keras! Kagura-san juga! Aku sama sekali
tidak menyangka Kagura-san ikut andil, ku pikir dia pasti dihasut Isamine.
Menyebalkan sekali—“
“Kau benar.
Menyebalkan sekali mendengarmu membicarakan mereka saat kita sedang berduaan.
Kau jahat, Okurine-chan..” gerutu Kiyoteru lalu Okurine merasakan tarikan di
tangannya disusul dengan kecupan lembut di bibirnya.
“Eh??”
wajah Okurine memerah. Kiyoteru tersenyum menatapnya.
“Masih mau
membicarakan mereka?” tanyanya sambil membelai lembut rambut Okurine. Okurine
menggeleng, lalu Kiyoteru kembali menciumnya lebih lama.
-end-
No comments:
Post a Comment
I dare you to write comment down there.