Previous chapter: The Young Adult - Chapter 7.
>>>
"Baik-baik di Aussie ya, Di..” isakku. Aldi memelukku makin erat.
>>>
"Baik-baik di Aussie ya, Di..” isakku. Aldi memelukku makin erat.
“Jangan nangis mulu dong,”
ujarnya sambil mengusap kepalaku. “Gue kan kesana buat sekolah, bukan wajib
militer. Kalo sempet entar pas liburan gue balik kok,” lanjutnya. Walaupun
terdengar tegar, aku tahu Aldi juga sedih harus berpisah denganku. Biar
bagaimana pun juga, aku adiknya satu-satunya.
“Ma ...” panggilku sambil
berpaling memeluk Mama. “Mama gak tinggal disini aja? Aku sama siapa nanti,
Ma?” aku kembali merengek. Semalam setelah tamu-tamu rusuh itu pulang, kami
membicarakan hal ini bertiga.
“Mama harus temenin Aldi ke
tempat barunya, Sella sayang..” Mama mengusap kepalaku dengan penuh sayang.
“Nanti kalau urusan Aldi udah beres, Mama pulang ke rumah kok. Janji deh!” seru
Mama sambil mengecup kedua pipiku.
“Kan Mama udah siapin
pembantu yang nginep kalo malem, Sell.” timpal Aldi.
“Pembantunya kan baru dateng
lusa, nanti malem gimana?” ketusku. Aldi tersenyum kecut lalu melempar
pandangan ke Evan. Ya, hari itu Evan mengantarku menemani Aldi dan Mama ke
bandara.
“Coba ajak Aira nginep di
rumah aja, Sell.” saran Evan. Aku mengangguk.
“Nanti aku tanya deh,”
sahutku lalu kembali menatap Mama dan Aldi. Aku bisa melihat mereka juga tidak
tega meninggalkanku sendirian dirumah. Tapi aku tahu, Aldi juga sudah
mengorbankan segalanya untukku. Begitu juga Mama. Paling tidak, aku harus bisa
menahan diri untuk tidak terlalu manja kali ini.
Mama memelukku sebelum masuk
boarding.
“Sella bisa sendirian kan?
Kamu kan sudah besar, sayang.” Mama membelai lembut rambutku. Aku mengangguk.
“Iya, Ma. Sella kan udah
SMA, gak mungkin Sella takut sendirian. Aku bercanda aja tadi, hehe ...”
candaku berusaha terlihat tegar. Sepertinya Mama percaya saja. Mungkin hanya
perasaanku, tapi sepertinya Evan memperhatikanku saat itu.
“Jagain adek gue ya, Van.
Elo yang paling gue percaya dalam urusan ini.” Aldi menepuk punggung Evan lalu
menghampiriku. Tanpa bisa dicegah, airmataku kembali jatuh.
“Aldi ...” panggilku manja.
Ia mengusap kepalaku dengan penuh sayang.
“Baik-baik di rumah ya, Sell
... Lo harus nurut sama Evan mulai sekarang, anggep aja dia pengganti gue.
Walaupun emang gue gak tergantikan ...”
“Apaan, sih? Jijik lo ...”
aku memukul perutnya pelan lalu memeluknya. Jangan
pergi, Di... “Lo hati-hati di sana nanti, ya?” Please jangan pergi... “Jangan kepincut cewek aussie,” Gue gak mau ditinggal, Di... “Jangan
lupa nelepon sekali-kali,” Jangan tinggalin
gue...”I’ll miss you, Di ...”
“I’ll miss you too, Sell.”
***
“Gimana? Aira bisa nemenin
lo?” tanya Evan saat kami sudah masuk mobil. Aku menggedikkan bahu.
“Belum tahu, Kak. Nanti aku
telepon dulu,” sahutku cepat sambil mendial
nomor telepon Aira.
“Halo?” terdengar suara diseberang telepon.
“Halo, Ra. Nanti malem bisa
temenin gue gak?”
“Emang ada apaan nanti malem?”
“Justru gak ada apa-apa,
makanya gue minta temenin. Pembantu yang digaji nyokap datengnya baru besok,
Ra. Temenin gue, please..”
“Yah, Sell. Gue sih mau banget nemenin lo. Tapi dirumah gue lagi
banyak banget sodara, nih. Gimana dong? Kalo besok gue bisa, Sell.”
“Hm ... bisanya besok, ya?
Beneran gak bisa izin dulu gitu sama nyokap lo, Ra? Gue bener-bener sendirian,
nih.”
“Yah, Sella.. Lo kan tau sendiri, nyokap emang bebasin gue nginep
dimana aja. Kecuali kalo pas lagi banyak sodara dirumah, maaf banget ya..”
“Yaudah, deh. Besok tapi lo
harus nemenin gue, ya?”
“Pasti, lah!”
“Oke deh, sampe besok ya!”
“Okeeey!” telepon diputus Aira. Yah, setidaknya
besok ia bisa menemaniku. Untuk malam ini, mungkin aku harus menahan diri untuk
tidak bergantung pada orang lain. Demi
Aldi!
Selama aku menelepon Aira
tadi, mobil yang dikendarai Evan telah sampai di depan rumah.
“Eh, cepet banget.”
Celetukku spontan. Evan tertawa.
“Untung lo gak sadar gue
bawa ngebut tadi,” ia pun keluar dari mobil. Omong-omong, mobil ini sangat
penuh dengan aroma khas Kakak. Bahkan di dashboard ada pajangan kecil yang
terbuat dari kaca, yang aku tahu merupakan milik Kakak. Berada didalam mobil
sangat membuatku tidak nyaman, karena terlihat jelas sekali bahwa Evan sangat
sangat mencintai Kakak.
Dicintai sedalam itu, pasti
Kakak adalah salah satu wanita paling beruntung di dunia. Sementara aku adalah
kebalikannya. Pacar pertamaku adalah orang yang telah merusak masa depanku. Dan
harus ku akui bahwa sejak kejadian itu, sepertinya rasa takutku pada ruangan
gelap semakin bertambah. Belum lagi trauma yang tanpa kusadari ternyata
kualami.
Ya. Sepertinya aku tidak
bisa menyentuh atau disentuh laki-laki, kecuali Aldi mungkin. Angin dingin
menusuk tulang belakangku, dan sekilas memori kejadian hari itu terlintas tiap
kali kulitku bersentuhan dengan kulit lawan jenis. Bahkan bersalaman dengan
guru laki-laki pun, aku merasa mual.
TOK TOK
Kaca disebelahku diketuk
dari luar. Evan. Mungkin ia bingung kenapa aku tidak keluar-keluar dari mobil.
Aku pun membuka pintu mobil.
“Lo gak apa-apa, Sell? Muka
lo pucet gitu,” tanyanya begitu aku keluar dari mobil.
“Gak apa-apa kok, Kak.”
Sahutku asal. Tiba-tiba ia meletakkan telapak tangannya di keningku. Seketika
itu juga rasa mual menyeruak dari dalam diriku. Sepotong kenangan saat Arya
mencoba memperkosaku kembali menghantui pikiranku. Aku bisa merasakan tubuhku panas
dingin. Hanya dengan sentuhan sekecil itu. Padahal aku sangat ingin ia
menyentuhku sebelumnya.
“Sorry,” ia menatapku cemas.
Sepertinya Evan mengetahui ada yang tidak beres denganku. Aku menggeleng. “Cuma
bingung, nanti malem gimana. Aira gak bisa nginep soalnya,” lanjutku. Kulihat
ia masih menatapku cemas. Ada rasa bahagia yang menyeruak saat aku tahu Evan
mencemaskanku.
“Kalo gitu biar gue aja yang
nginep,” katanya menawarkan diri. Aku terkejut.
“Eh?” aku menatapnya bingung. “K-Kak Evan mau nginep?”
“Kenapa? Kan biasanya juga
gue nginep,” sahutnya diiringi tawa. Aku merutuk dalam hati, karena ber-reaksi
seperti itu. Biasa aja, Sell!
“B-bener gak apa-apa Kak
Evan nginep disini?” tanyaku gugup. Evan mengangguk.
***
Evan nginep disini, gue harus
gimana? Gugup banget nih! >.<
>Norak lo. Kayak biasa
aja kaliiiiiii
Kayak biasa gimana??
Berduaan raaaaa
>Yeuu... Iya sih ya?
Berduaan loh seeeeel hahaha
Anjir lah raaa bayangin dong
awkward banget pasti kita entar :(
>Ya enggaklah say. Elo biasa
aja, pasti gak bakal awkward. Eh tapi berduaan looooh
Airaaaaaa stop iiiiit lo tau
gue orangnya gugupaaaaan
>Hahahahaha
>Kalo gitu berarti
selamet yaaaa
>Kali aja evan jadi tau
perasaan lo, kan seru tuuh
Ra
Gak lucu banget itu aaaaa
>Emang lo gak mau dia tau?
>Jadi mau lo keep sendiri
aja perasaan lo ke dia?
>Yakin?
Hmmmm ya enggak sih.. Gue
pengen dia tau, tapi gue gak mau ngerusak hubungan dia sama Kakak juga
>Lo terlalu baik sell
Ya terus gue harus gimana?
Masa ngerebut pacar orang?
>Yaaaa selama janur kuning belom dipasang kan
Anjir banget lo ra haha
>Maju terus sell! Gw dukung dari balik layar aja hehehe
Huuuu wish me luck deh yaa
***
Aku menyenandungkan lagu
favoritku seraya mengiris bawang. Mengingat malam ini aku hanya makan berdua
dengan Evan sedikit membuatku grogi. Kulihat Evan masih sibuk dengan PSP-nya.
Melihat sifatnya yang childish
seperti itu membuatku ingin lebih dekat dengannya. Enak sekali jadi Kakak, yang
setiap saat bisa melihat semua sisi Evan. Mungkin ada banyak sisi Evan yang aku
tidak tahu, dan mungkin Kakak tahu.
“Argh!! Kura-kura kampret!”
seru Evan kesal sambil membanting PSP ditangannya ke bantal di sofa.
“Hihihi ...” refleks aku
tertawa. Ternyata kalah di game Mario Bros tetap bisa membuatnya kesal. Rupanya
Mario menabrak kura-kura yang membuatnya kehilangan nyawa. Kasihan sekali
Mario.
“Kenapa, Sell?” tanya Evan
yang menyadari aku menertawakannya.
“Eh? Engga ... Gak apa-apa.”
Aku menoleh sambil memberikan cengiranku lalu kembali memasak. Evan tertawa
kecil dan lanjut memainkan game yang sama. Saat ini kami seperti sedang pacaran
saja. Makan malam berdua. Menu masakan malam ini juga semuanya makanan favorit
Evan, yang tentu saja aku tahu karena begitu seringnya dia menginap dan makan
bersama.
Lagu Thinking Out Loud-nya Ed Sheeran yang merupakan nada dering
handphoneku berbunyi. Setengah kesal karena membuyarkan khayalanku, kuangkat
juga telepon itu.
“Halo?”
“Sell? Ini aku,” suara merdu yang indah itu
menyapa telingaku. Kakak.
“Hai, Kak. Apa kabar? Tumben
nelepon, hehehe ...”
“Iya. Aku denger dari Evan soal Aldi,” seketika aku ditarik kembali pada kenyataan. Evan bukan pacarku.
“Oh ...” mulutku seperti terkunci. Apa yang Evan ceritakan pada Kakak? Mungkin semuanya. Mungkin juga tidak. Lagipula Kakak kan pacarnya, dia bebas bicara apapun padanya. Menyebalkan.
“Kamu yang sabar ya, Sell. Aku ikut sedih denger Aldi harus ke
Aussie buat lanjutin studynya. Tapi kamu harus
tetep dukung apapun keputusan Aldi ya, sayang ...” suara Kakak terdengar
begitu sedih. Sedih untukku mungkin. Tapi sekarang aku tahu, apa yang Evan
katakan pada Kakak. Dia gak nyeritain
yang sebenernya.
“Iya, Kak ... Aku selalu dukung Aldi, apapun keputusan dia. Aldi kan abang yang paling aku sayang, hehehe ...” aku sedikit senang mengetahui masih ada rahasia yang Evan sembunyikan dari Kakak, tentang aku.
“Kalo kamu butuh tempat curhat, kamu bisa hubungin aku kapan aja
... Asal jangan pas aku lagi sama Evan, ya? Hehe ...”
suara yang manis itu kembali menghempaskanku pada kenyataan. Ya. Sebanyak
apapun yang Evan sembunyikan dari Kakak, mereka tetap sepasang kekasih.
Kakak kemudian mengoceh panjang lebar tentang kegiatannya, seperti biasa. Sementara aku hanya menanggapinya setengah hati, menjawab dengan gumaman.
“Sell? Kamu dengerin aku gak?”
“Denger kok, Kak. Aku sambil
masak soalnya,” sahutku cepat. Kakak itu termasuk orang yang sangat peka. Aku
takut suatu saat perasaanku juga ketahuan olehnya.
“Ooh ... gitu. Masak apa, sih? Hehe ...”
“Hm ... masak biasa aja sih
sebenernya. Tumis kangkung, ayam saus jamur, sama bikin mac‘n cheese.” Jelasku menyebutkan menu masakan malam ini.
“Banyak amat? Aldi kan udah ke Aussie, kamu makan sendiri itu
semuanya?” suara Kakak terdengar khawatir.
“Eh? Y-ya enggak sih. Itu
... buat Aira juga. Lagi pada nginep, hehehe ...” sahutku berusaha sebisa mungkin
agar tidak terdengar gugup.
“Ooh ... kirain kamu sedih Aldi pergi, eh makan banyak gitu.
Hehehe ... kalo aku makan sebanyak itu, Evan pasti langsung ngomel ...”
Aku kembali sibuk dengan
urusan masak-memasak, kebetulan saus jamur yang sedang kumasak dengan api kecil
sudah mendidih.
“Bentar ya, Kak. Ini sausnya
mateng, aku angkat dulu.” Kataku mencari alibi agar bisa segera memutuskan
telepon dengannya.
“Eh, iya. Lanjut aja aku tungguin, hehe ... lagi pengen ngobrol soalnya sama kamu.” Kakak terdengar ceria, pasti ia masih mau cerita tentang Evan lagi. Ku letakkan handphoneku diatas pantry, lalu menuangkan saus ke piring besar berisi ayam yang sudah di goreng tepung. Dua menu selesai, tinggal mac’n cheese yang paling mudah. Kuputuskan untuk membuatnya nanti setelah Kakak selesai menelepon.
“Hai, Kak. Udahan plating ayam saus jamurnya, hehehe ...”
kataku begitu handphone kembali menempel di telinga.
“Hey, hahaha ... cepet juga kamu masak.”
“Dari tadi, sih. Yang terakhir gampang kok, jadi belakangan aja. Sampe mana tadi?”
“Ooo ... iya, sampe Evan. Hihihi ... eh! Kemarin dia nginep disana, ya?”
“Iya, tadi pagi nganterin Aldi ke bandara juga.”
“Aku telepon dia tapi belum diangkat,” suara Kakak terdengar agak sedih.
“Kenapa emangnya? Kakak lagi berantem lagi sama Kak Evan?”
“Engga, sih.. Cuma ada salah paham aja, tapi ya gitu deh Evan,
kamu tau kan dia cemburuan kalo menyangkut aku, hehehe ...” mendengar
Kakak bicara seperti itu hatiku panas. Tapi bisa apa, Kakak memang benar.
Menurutku itu bukan cemburu, tapi sudah dalam kategori posesif. Seperti Evan,
Kakak pun posesif terhadap Evan. Bagaimana kalau Kakak tahu Evan ada di sini
sekarang, bersamaku.
“Masak apa, Sell?” suara
Evan mengejutkanku. Aku mendengar Kakak terdiam di seberang telepon. Sepersekian menit berikutnya ia berkata dengan suara sedingin es.
“Sell ... Evan disana?”
(to be continued...)
Saya juga suka stalking kok, eh maksudnya blogwalking.. :p
ReplyDeleteBtw, sekarang lebih suka nulis di wordpress, gegara sudah nyaman pake wordpress for android, wkwk..
Maklum, sekarang kalau ngetik di laptop suka ada bocah yang pengen ikutan maen laptop.. :D
Iya, aku juga waktu itu sempet baca yg di wordpress padahal. Tapi lupa (--,)> /plak
DeleteMakasih yak masih stalkingin akuwwhh *kedipkedip manja* /heh
Dear author, tolong kalau apdetnya setahun sekali mbok ya dikasih link ke chapter sebelumnya di paling atas. Supaya pembaca baik hati ini ga kesusahan cari2 cerita sebelumnya *reader banyak maunya* #okesip
ReplyDeleteSeriusan aku ga inget ini cerita tentang apa kalo aku ga baca cerita2 sebelumnya :v
Ihh Aldi ninggalin akuh :(( cedih
Dear reader, tolong kalo baca blog itu dari halaman awal. Kan post cerita sebelumnya tepat dibawahnya. Wkwk. Tapi karena aku author yang baik, nanti diapdet (--,)>
Delete