Wednesday, April 15, 2015

The Young Adult - Chapter 8

Previous chapter: The Young Adult - Chapter 7.

>>>
"Baik-baik di Aussie ya, Di..” isakku. Aldi memelukku makin erat.
 
“Jangan nangis mulu dong,” ujarnya sambil mengusap kepalaku. “Gue kan kesana buat sekolah, bukan wajib militer. Kalo sempet entar pas liburan gue balik kok,” lanjutnya. Walaupun terdengar tegar, aku tahu Aldi juga sedih harus berpisah denganku. Biar bagaimana pun juga, aku adiknya satu-satunya.

“Ma ...” panggilku sambil berpaling memeluk Mama. “Mama gak tinggal disini aja? Aku sama siapa nanti, Ma?” aku kembali merengek. Semalam setelah tamu-tamu rusuh itu pulang, kami membicarakan hal ini bertiga.

“Mama harus temenin Aldi ke tempat barunya, Sella sayang..” Mama mengusap kepalaku dengan penuh sayang. “Nanti kalau urusan Aldi udah beres, Mama pulang ke rumah kok. Janji deh!” seru Mama sambil mengecup kedua pipiku.

“Tapi nanti malem gimana, Ma?” rengekku. “Aku gak mau tidur sendirian di rumah..”
“Kan Mama udah siapin pembantu yang nginep kalo malem, Sell.” timpal Aldi.

“Pembantunya kan baru dateng lusa, nanti malem gimana?” ketusku. Aldi tersenyum kecut lalu melempar pandangan ke Evan. Ya, hari itu Evan mengantarku menemani Aldi dan Mama ke bandara.

“Coba ajak Aira nginep di rumah aja, Sell.” saran Evan. Aku mengangguk.

“Nanti aku tanya deh,” sahutku lalu kembali menatap Mama dan Aldi. Aku bisa melihat mereka juga tidak tega meninggalkanku sendirian dirumah. Tapi aku tahu, Aldi juga sudah mengorbankan segalanya untukku. Begitu juga Mama. Paling tidak, aku harus bisa menahan diri untuk tidak terlalu manja kali ini.

Mama memelukku sebelum masuk boarding.

“Sella bisa sendirian kan? Kamu kan sudah besar, sayang.” Mama membelai lembut rambutku. Aku mengangguk.

“Iya, Ma. Sella kan udah SMA, gak mungkin Sella takut sendirian. Aku bercanda aja tadi, hehe ...” candaku berusaha terlihat tegar. Sepertinya Mama percaya saja. Mungkin hanya perasaanku, tapi sepertinya Evan memperhatikanku saat itu.

“Jagain adek gue ya, Van. Elo yang paling gue percaya dalam urusan ini.” Aldi menepuk punggung Evan lalu menghampiriku. Tanpa bisa dicegah, airmataku kembali jatuh.

“Aldi ...” panggilku manja. Ia mengusap kepalaku dengan penuh sayang.

“Baik-baik di rumah ya, Sell ... Lo harus nurut sama Evan mulai sekarang, anggep aja dia pengganti gue. Walaupun emang gue gak tergantikan ...”

“Apaan, sih? Jijik lo ...” aku memukul perutnya pelan lalu memeluknya. Jangan pergi, Di... “Lo hati-hati di sana nanti, ya?” Please jangan pergi... “Jangan kepincut cewek aussie,” Gue gak mau ditinggal, Di... “Jangan lupa nelepon sekali-kali,” Jangan tinggalin gue...”I’ll miss you, Di ...”

“I’ll miss you too, Sell.”

***

“Gimana? Aira bisa nemenin lo?” tanya Evan saat kami sudah masuk mobil. Aku menggedikkan bahu.

“Belum tahu, Kak. Nanti aku telepon dulu,” sahutku cepat sambil mendial nomor telepon Aira.

“Halo?” terdengar suara diseberang telepon.

“Halo, Ra. Nanti malem bisa temenin gue gak?”

“Emang ada apaan nanti malem?”

“Justru gak ada apa-apa, makanya gue minta temenin. Pembantu yang digaji nyokap datengnya baru besok, Ra. Temenin gue, please..”

“Yah, Sell. Gue sih mau banget nemenin lo. Tapi dirumah gue lagi banyak banget sodara, nih. Gimana dong? Kalo besok gue bisa, Sell.”

“Hm ... bisanya besok, ya? Beneran gak bisa izin dulu gitu sama nyokap lo, Ra? Gue bener-bener sendirian, nih.”

“Yah, Sella.. Lo kan tau sendiri, nyokap emang bebasin gue nginep dimana aja. Kecuali kalo pas lagi banyak sodara dirumah, maaf banget ya..”

“Yaudah, deh. Besok tapi lo harus nemenin gue, ya?”

“Pasti, lah!”

“Oke deh, sampe besok ya!”

“Okeeey!” telepon diputus Aira. Yah, setidaknya besok ia bisa menemaniku. Untuk malam ini, mungkin aku harus menahan diri untuk tidak bergantung pada orang lain. Demi Aldi!

Selama aku menelepon Aira tadi, mobil yang dikendarai Evan telah sampai di depan rumah.

“Eh, cepet banget.” Celetukku spontan. Evan tertawa.

“Untung lo gak sadar gue bawa ngebut tadi,” ia pun keluar dari mobil. Omong-omong, mobil ini sangat penuh dengan aroma khas Kakak. Bahkan di dashboard ada pajangan kecil yang terbuat dari kaca, yang aku tahu merupakan milik Kakak. Berada didalam mobil sangat membuatku tidak nyaman, karena terlihat jelas sekali bahwa Evan sangat sangat mencintai Kakak.

Dicintai sedalam itu, pasti Kakak adalah salah satu wanita paling beruntung di dunia. Sementara aku adalah kebalikannya. Pacar pertamaku adalah orang yang telah merusak masa depanku. Dan harus ku akui bahwa sejak kejadian itu, sepertinya rasa takutku pada ruangan gelap semakin bertambah. Belum lagi trauma yang tanpa kusadari ternyata kualami.

Ya. Sepertinya aku tidak bisa menyentuh atau disentuh laki-laki, kecuali Aldi mungkin. Angin dingin menusuk tulang belakangku, dan sekilas memori kejadian hari itu terlintas tiap kali kulitku bersentuhan dengan kulit lawan jenis. Bahkan bersalaman dengan guru laki-laki pun, aku merasa mual.

TOK TOK

Kaca disebelahku diketuk dari luar. Evan. Mungkin ia bingung kenapa aku tidak keluar-keluar dari mobil. Aku pun membuka pintu mobil.

“Lo gak apa-apa, Sell? Muka lo pucet gitu,” tanyanya begitu aku keluar dari mobil.

“Gak apa-apa kok, Kak.” Sahutku asal. Tiba-tiba ia meletakkan telapak tangannya di keningku. Seketika itu juga rasa mual menyeruak dari dalam diriku. Sepotong kenangan saat Arya mencoba memperkosaku kembali menghantui pikiranku. Aku bisa merasakan tubuhku panas dingin. Hanya dengan sentuhan sekecil itu. Padahal aku sangat ingin ia menyentuhku sebelumnya.

“Sorry,” ia menatapku cemas. Sepertinya Evan mengetahui ada yang tidak beres denganku. Aku menggeleng. “Cuma bingung, nanti malem gimana. Aira gak bisa nginep soalnya,” lanjutku. Kulihat ia masih menatapku cemas. Ada rasa bahagia yang menyeruak saat aku tahu Evan mencemaskanku.

“Kalo gitu biar gue aja yang nginep,” katanya menawarkan diri. Aku terkejut.

“Eh?” aku menatapnya bingung. “K-Kak Evan mau nginep?”

“Kenapa? Kan biasanya juga gue nginep,” sahutnya diiringi tawa. Aku merutuk dalam hati, karena ber-reaksi seperti itu. Biasa aja, Sell!

“B-bener gak apa-apa Kak Evan nginep disini?” tanyaku gugup. Evan mengangguk.

***

Evan nginep disini, gue harus gimana? Gugup banget nih! >.<

>Norak lo. Kayak biasa aja kaliiiiiii

Kayak biasa gimana?? Berduaan raaaaa

>Yeuu... Iya sih ya? Berduaan loh seeeeel hahaha

Anjir lah raaa bayangin dong awkward banget pasti kita entar :(

>Ya enggaklah say. Elo biasa aja, pasti gak bakal awkward. Eh tapi berduaan looooh

Airaaaaaa stop iiiiit lo tau gue orangnya gugupaaaaan

>Hahahahaha

>Kalo gitu berarti selamet yaaaa

>Kali aja evan jadi tau perasaan lo, kan seru tuuh

Ra

Gak lucu banget itu aaaaa

>Emang lo gak mau dia tau?

>Jadi mau lo keep sendiri aja perasaan lo ke dia?

>Yakin?

Hmmmm ya enggak sih.. Gue pengen dia tau, tapi gue gak mau ngerusak hubungan dia sama Kakak juga

>Lo terlalu baik sell

Ya terus gue harus gimana? Masa ngerebut pacar orang?

>Yaaaa selama janur kuning belom dipasang kan

Anjir banget lo ra haha

>Maju terus sell! Gw dukung dari balik layar aja hehehe

Huuuu wish me luck deh yaa

***

Aku menyenandungkan lagu favoritku seraya mengiris bawang. Mengingat malam ini aku hanya makan berdua dengan Evan sedikit membuatku grogi. Kulihat Evan masih sibuk dengan PSP-nya. Melihat sifatnya yang childish seperti itu membuatku ingin lebih dekat dengannya. Enak sekali jadi Kakak, yang setiap saat bisa melihat semua sisi Evan. Mungkin ada banyak sisi Evan yang aku tidak tahu, dan mungkin Kakak tahu.

“Argh!! Kura-kura kampret!” seru Evan kesal sambil membanting PSP ditangannya ke bantal di sofa.

“Hihihi ...” refleks aku tertawa. Ternyata kalah di game Mario Bros tetap bisa membuatnya kesal. Rupanya Mario menabrak kura-kura yang membuatnya kehilangan nyawa. Kasihan sekali Mario.

“Kenapa, Sell?” tanya Evan yang menyadari aku menertawakannya.

“Eh? Engga ... Gak apa-apa.” Aku menoleh sambil memberikan cengiranku lalu kembali memasak. Evan tertawa kecil dan lanjut memainkan game yang sama. Saat ini kami seperti sedang pacaran saja. Makan malam berdua. Menu masakan malam ini juga semuanya makanan favorit Evan, yang tentu saja aku tahu karena begitu seringnya dia menginap dan makan bersama.

Lagu Thinking Out Loud-nya Ed Sheeran yang merupakan nada dering handphoneku berbunyi. Setengah kesal karena membuyarkan khayalanku, kuangkat juga telepon itu.

“Halo?”

“Sell? Ini aku,” suara merdu yang indah itu menyapa telingaku. Kakak.

“Hai, Kak. Apa kabar? Tumben nelepon, hehehe ...” 

“Iya. Aku denger dari Evan soal Aldi,” seketika aku ditarik kembali pada kenyataan. Evan bukan pacarku.

“Oh ...” mulutku seperti terkunci. Apa yang Evan ceritakan pada Kakak? Mungkin semuanya. Mungkin juga tidak. Lagipula Kakak kan pacarnya, dia bebas bicara apapun padanya. Menyebalkan.

“Kamu yang sabar ya, Sell. Aku ikut sedih denger Aldi harus ke Aussie buat lanjutin studynya. Tapi kamu harus tetep dukung apapun keputusan Aldi ya, sayang ...” suara Kakak terdengar begitu sedih. Sedih untukku mungkin. Tapi sekarang aku tahu, apa yang Evan katakan pada Kakak. Dia gak nyeritain yang sebenernya. 

“Iya, Kak ... Aku selalu dukung Aldi, apapun keputusan dia. Aldi kan abang yang paling aku sayang, hehehe ...” aku sedikit senang mengetahui masih ada rahasia yang Evan sembunyikan dari Kakak, tentang aku.

“Kalo kamu butuh tempat curhat, kamu bisa hubungin aku kapan aja ... Asal jangan pas aku lagi sama Evan, ya? Hehe ...” suara yang manis itu kembali menghempaskanku pada kenyataan. Ya. Sebanyak apapun yang Evan sembunyikan dari Kakak, mereka tetap sepasang kekasih.

Kakak kemudian mengoceh panjang lebar tentang kegiatannya, seperti biasa. Sementara aku hanya menanggapinya setengah hati, menjawab dengan gumaman.

“Sell? Kamu dengerin aku gak?”

“Denger kok, Kak. Aku sambil masak soalnya,” sahutku cepat. Kakak itu termasuk orang yang sangat peka. Aku takut suatu saat perasaanku juga ketahuan olehnya.

“Ooh ... gitu. Masak apa, sih? Hehe ...”

“Hm ... masak biasa aja sih sebenernya. Tumis kangkung, ayam saus jamur, sama bikin mac‘n cheese.” Jelasku menyebutkan menu masakan malam ini.

“Banyak amat? Aldi kan udah ke Aussie, kamu makan sendiri itu semuanya?” suara Kakak terdengar khawatir.

“Eh? Y-ya enggak sih. Itu ... buat Aira juga. Lagi pada nginep, hehehe ...” sahutku berusaha sebisa mungkin agar tidak terdengar gugup.

“Ooh ... kirain kamu sedih Aldi pergi, eh makan banyak gitu. Hehehe ... kalo aku makan sebanyak itu, Evan pasti langsung ngomel ...”

Aku kembali sibuk dengan urusan masak-memasak, kebetulan saus jamur yang sedang kumasak dengan api kecil sudah mendidih.

“Bentar ya, Kak. Ini sausnya mateng, aku angkat dulu.” Kataku mencari alibi agar bisa segera memutuskan telepon dengannya. 

“Eh, iya. Lanjut aja aku tungguin, hehe ... lagi pengen ngobrol soalnya sama kamu.” Kakak terdengar ceria, pasti ia masih mau cerita tentang Evan lagi. Ku letakkan handphoneku diatas pantry, lalu menuangkan saus ke piring besar berisi ayam yang sudah di goreng tepung. Dua menu selesai, tinggal mac’n cheese yang paling mudah. Kuputuskan untuk membuatnya nanti setelah Kakak selesai menelepon.

“Hai, Kak. Udahan plating ayam saus jamurnya, hehehe ...” kataku begitu handphone kembali menempel di telinga. 

“Hey, hahaha ... cepet juga kamu masak.” 

“Dari tadi, sih. Yang terakhir gampang kok, jadi belakangan aja. Sampe mana tadi?” 

“Ooo ... iya, sampe Evan. Hihihi ... eh! Kemarin dia nginep disana, ya?” 

“Iya, tadi pagi nganterin Aldi ke bandara juga.” 

“Aku telepon dia tapi belum diangkat,” suara Kakak terdengar agak sedih.

“Kenapa emangnya? Kakak lagi berantem lagi sama Kak Evan?”

“Engga, sih.. Cuma ada salah paham aja, tapi ya gitu deh Evan, kamu tau kan dia cemburuan kalo menyangkut aku, hehehe ...” mendengar Kakak bicara seperti itu hatiku panas. Tapi bisa apa, Kakak memang benar. Menurutku itu bukan cemburu, tapi sudah dalam kategori posesif. Seperti Evan, Kakak pun posesif terhadap Evan. Bagaimana kalau Kakak tahu Evan ada di sini sekarang, bersamaku.

“Masak apa, Sell?” suara Evan mengejutkanku. Aku mendengar Kakak terdiam di seberang telepon. Sepersekian menit berikutnya ia berkata dengan suara sedingin es.

“Sell ... Evan disana?”

(to be continued...)

4 comments:

  1. Saya juga suka stalking kok, eh maksudnya blogwalking.. :p
    Btw, sekarang lebih suka nulis di wordpress, gegara sudah nyaman pake wordpress for android, wkwk..
    Maklum, sekarang kalau ngetik di laptop suka ada bocah yang pengen ikutan maen laptop.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, aku juga waktu itu sempet baca yg di wordpress padahal. Tapi lupa (--,)> /plak
      Makasih yak masih stalkingin akuwwhh *kedipkedip manja* /heh

      Delete
  2. Dear author, tolong kalau apdetnya setahun sekali mbok ya dikasih link ke chapter sebelumnya di paling atas. Supaya pembaca baik hati ini ga kesusahan cari2 cerita sebelumnya *reader banyak maunya* #okesip

    Seriusan aku ga inget ini cerita tentang apa kalo aku ga baca cerita2 sebelumnya :v
    Ihh Aldi ninggalin akuh :(( cedih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear reader, tolong kalo baca blog itu dari halaman awal. Kan post cerita sebelumnya tepat dibawahnya. Wkwk. Tapi karena aku author yang baik, nanti diapdet (--,)>

      Delete

I dare you to write comment down there.