Friday, October 19, 2012

The Young Adult - Chapter 1

Halo ( '.')/
Kali ini gue mau mengarang indah tentang sesuatu. Cerita mengandung unsur mesum dewasa, jadi silahkan baca jika tau konsekuensinya. Siap gak siap pokoknya harus siap, karena udah buka blog ini. *nyengir penuh arti*


>>> The Young Adult - Chapter 1 >>>
“Aku sayang kamu, Sell..” suara yang sangat kukenal itu akhirnya mengucapkan apa yang ingin ku dengar. Hatiku berbunga-bunga mendengar kata itu keluar dari bibirnya, sungguh tak pernah ku sangka akan seperti ini rasanya. Jantungku berdegup kencang seakan seluruh darah yang dipompanya mengalir ke wajahku, sehingga rona wajahku semakin memerah.

Tangannya menggenggam tanganku, rasanya begitu hangat. Lalu ia pun mengulang kata-katanya, “Sell, aku sayang kamu. Kamu mau jadi pacarku?” kali ini bibirku benar-benar terkunci rapat, tak ada sepatah katapun mampu kuucapkan. Mata elangnya memandangku dengan tatapan yang tak biasa, kurasa itu cara dia menatap orang yang dia cintai.

Ku beranikan diriku menjawab pertanyaannya. Dengan segenap hati ku buka mulutku, “aku mau.” Dua patah kata yang sebenarnya biasa didengar, amat sulit terucap olehku saat ini.

Saat aku melihatnya, bibirnya menyunggingkan senyum yang selalu ku suka. Tatapannya serasa menusuk ke dalam mataku, tajam, namun menenangkan. Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, tangan yang tadi menggenggam tanganku kini merengkuh wajahku lembut.

“Kamu serius?” tanyanya tepat saat wajahku dan wajahnya hanya berjarak 2 cm lagi.

Aku mengangguk pasti, ku tatap matanya lekat menunjukkan bahwa aku sungguh-sungguh.

Lagi-lagi ia tersenyum, lalu sedetik kemudian bibirku dan bibirnya bersentuhan. Lembut sekali rasanya saat bibirnya menyentuh bibirku. Kupejamkan mata dan merasakan bibirnya, rasa strawberry.. Lho? Tunggu-tunggu.. Benar, bibirnya benar-benar rasa strawberry. Kubuka mataku perlahan, bukan wajah pualam laki-laki yang kukagumi yang kulihat. Melainkan wajah kakak laki-lakiku, Aldi, dengan toples berisi selai strawberry ditangannya.

“Bangun! Udah siang, neng. Perempuan kok bangun siang?” dia tertawa seraya meninggalkanku dalam kebingungan. Kulihat sekelilingku, bukan sebuah taman dengan air mancur besar yang kulihat, ini hanya kamarku dan isinya. Sial, ternyata keindahan tadi hanya mimpi belaka. Kukecap bibirku, memang rasa strawberry. Tapi ini selai strawberry, rupanya Aldi yang mengoleskan selai ini ke bibirku.

Tiba-tiba aku ingin tertawa, aku tertawa sekeras-kerasnya. Aku memang benar-benar konyol, bisa-bisanya aku memimpikan ciuman pertamaku dengan cowok berbibir strawberry. Aku tak kuasa menahan geli, aku terus tertawa pelan sambil mengingat-ingat mimpiku tadi.

*TOK* *TOK* *TOK*

Pintu kamarku diketuk pelan, bukan Aldi batinku. Dengan malas kubuka pintu kamarku, alamak! Wajah itu, mata elangnya, senyum dinginnya. “Hai, Kak!” aku menyapanya kagok.

“Hai. Dipanggil Aldi tuh, suruh bangun katanya.” Suaranya yang biasa ku dengar tetap membuat jantungku deg-degan.

“Iya, Kak. Aku nanti ke bawah.” Aku benar-benar salting setiap kali ia mengajakku bicara walaupun sepele seperti ini.

Ia tersenyum “ya udah. Gue ke bawah duluan.” 

“Iya, gak apa-apa.” Lalu ia pun menuruni tangga meninggalkanku yang sedang terpesona dengan caranya berjalan. Aku tersentak, lalu buru-buru aku ke kamar mandi. Bisa gawat kalau Aldi marah.

Di kamar mandi lagi-lagi aku memikirkan dia. Tunggu. Kalian belum tahu siapa dia? Apa aku belum mem...oh iya! Maaf, aku lupa. Dia adalah Evan, teman kakakku. Aldi dan Evan berteman sejak kelas 3 Junior Highschool. Namun aku mengenalnya baru 2 tahun yang lalu. Tepatnya saat hari ulang tahun Aldi yang ke 15. Saat itu Aldi dan teman-temannya (termasuk Evan) berkumpul dirumah kami untuk mengadakan acara barbeque. Aku dimintai tolong oleh Aldi untuk membantunya menyiapkan alat dan bahan untuk barbeque.

Lalu saat malamnya Aldi dkk mengadakan barbeque, tiba-tiba Aldi memanggilku dan meminta tolong untuk membuatkan minum dan membantu temannya membuat barbeque. Setelah aku membuat es jeruk untuk 9 orang termasuk aku, aku membawanya ke kebun belakang tempat Aldi mengadakan barbeque. Kulihat asap sudah mengepul namun tak ada satupun daging atau sosis yang matang.

Hanya ada satu orang yang berkutat di dekat alat barbeque, orang itu menoleh ke arahku dan tersenyum. Tatapan elang yang menenangkan hati, senyumnya pun tak kalah menawan. Saat ia menyapaku untuk pertama kali aku langsung terpesona. Tuhan, sepertinya aku benar-benar jatuh cinta padanya. Akhirnya aku dan dia saling memperkenalkan diri. Ku jabat uluran tangannya, hangat, kuat. Tanda dia seorang yang ramah.

Jadilah semalaman itu aku dan Evan memasakkan barbeque untuk Aldi dan teman-temannya yang lain setelah diketahui bahwa hanya aku dan Evan yang masih memungkinkan untuk masak. Sejak saat itu perasaanku padanya semakin kuat. Seperti seorang pujangga aku tak hentinya menuliskan kata-kata mutiara di diaryku, semua tentang perasaanku yang mendalam untuknya.

Sudahlah, tak akan ada hentinya aku membicarakan dia. Jika didalam biografi bisa menghabiskan 20 lembar hanya untuk membahas itu.  Ku percepat mandiku lalu ku pakai seragam SMA-ku. Seraya menyandang tas kesayanganku, aku menuruni tangga menuju meja makan. Aldi dan Evan sudah menungguku sedari tadi.

“Maaf, ya. Aku tadi mules.” Elakku saat kulihat tatapan Aldi galak.

“Emang lo doang yang harus gue utamain? Makan cepet!” Aldi menghabiskan sarapannya.

Evan hanya geleng-geleng lalu tetap makan dengan tenang. Dirumah ini hanya ada aku, Aldi, serta pembantuku. Orangtuaku tinggal diluar negeri dan hanya beberapa bulan sekali baru pulang. Sementara Evan, dia sering menginap disini saat habis latihan band dengan Aldi dan band-nya SynetZ. Semalam mereka memang latihan sampai larut malam, dan sudah kebiasaan Evan menginap karena malas pulang ke tempat kost-nya.

***

Selesai sarapan kami berangkat ke sekolah dengan mobil Aldi. Ya, sekolahku dan Aldi serta Evan memang sama. Bedanya mereka sudah tingkat 3 sedangkan aku masih tingkat 2. Sampai di sekolah aku langsung ke kelasku di lantai 3, ku langkahkan kakiku malas menuju kelas. Aku duduk disebelah Aira, sahabatku.

“Sella, selamat pagi~!” Aira menyapaku riang.

“Pagi, Ra. Ada apa sih, heboh banget pagi-pagi.” Kulihat dia penuh tanya.

“Gak apa-apa, Sell. Tapi kita kan harus semangat. Hehehe.” Aira membuka tasnya lalu mengambil sebuah buku.

Kulihat dia penuh kecurigaan “jangan bilang lo gak ngerjain PR lagi?” memang, kebiasaan Aira adalah menyalin PR siapa saja, termasuk aku yang paling sering kena giliran dibajak.

Dengan senyum lebarnya, dia mengangguk “please, Sell. Gue lupa caranya.” Aira memasang tampang memelas.

Aku pun akhirnya mengeluarkan buku fisika ku dari dalam tas, lalu ku berikan padanya.

“Lain kali gue ajarin aja. Jangan nyalin mulu. Oke?”

Aira mengangguk lalu mulai menyalin PR fisika ku. Ku keluarkan laptopku dari dalam tas lalu kulanjutkan gambar design yang kubuat 2 hari yang lalu. Aku memang suka menggambar, terlebih menggambar fashion seperti ini. Seperti sudah mengalir dalam darahku.

TEET.. TEET.. TEET..

Bel sekolahku berbunyi tanda jam pelajaran sudah dimulai. Tidak lama kemudian guruku datang. Tepat setelah Aira selesai menyalin PR dari bukuku. Guru fisikaku ini memang dikenal killer, jika ada muridnya yang tidak mengerjakan tugas ataupun PR, pasti akan kena ceramahnya yang panjang kali lebar. Buru-buru ku matikan laptopku dan menyimpannya didalam tas.

Pelajaran fisika memang membosankan. Kadang aku tidak mengerti untuk apa mempelajari fisika, hm..lebih tepatnya aku tidak mengerti kenapa harus mengambil jurusan IPA. Padahal sesungguhnya jiwaku ada di IPS. Memang SMA adalah masa-masa paling membingungkan, namun juga mengasikkan.

Aku ingat saat pertama kali melangkahkan kaki ke dalam gerbang SMA, dengan ditemani Aldi tentunya. Aku menjalani Masa Orientasi Siswa dengan penuh tekanan. Semua gara-gara Aldi, dia sengaja membiarkan teman-temannya untuk mengerjai aku abis-habisan. Disuruh lari lebih jauh dari yang lain, dijemur lebih lama dari anak lain yang terlambat, memang bukan saat-saat terindah.

Sekarang senior-seniorku yang dulu getol mengerjaiku malah jadi temanku. Ironis. Tak terasa sudah 2 tahun ku jalani di sekolah ini. Sudah banyak kegembiraan yang terjadi di sekolah ini. Tawa canda, sumpah serapah, gosip-gosip, serta cucuran airmata kisah percintaan dua sejoli di sekolah ini merantai menjadi suatu kepadatan molekul yang dinamai KISAH. Banyak kisah yang tidak bisa diungkapkan lewat tulisan. Atau bahkan kadang kita harus menyimpan kisah itu sendiri untuk kenangan kita, memori terdalam dihati mungkin.

Pikiranku melayang, tidak terfokus pada titik dimana Pak Mul, guru fisikaku, menorehkan suatu garis yang dia sebut daya. Penjelasannya tentang energi bahkan membuatku semakin ingin dan ingin terus mengenang masa lalu. Yang terakhir ku ingat, ia membahas tentang energi kinetik. Sebentar lagi aku sudah naik ke tingkat 3. Sedangkan Aldi dan pujaan hatiku, Evan. Mereka lulus dan melanjutkan ke universitas. Saat-saat terakhir seperti ini harus benar-benar ku manfaatkan. Kurang dari 4 bulan lagi, bisa apa aku dalam waktu sesingkat itu? Setahun lebihpun aku kenal dengannya tidak membuahkan hasil. Terlebih soal cinta.

Sungguh memprihatinkan memang tentang hubunganku dengan Evan. Mungkin aku terlalu mengharapkan hal yang tidak mungkin. Saat ini Evan sudah memiliki seorang kekasih. Perempuan berparas intan dengan sorot mata berlian yang menyenangkan. Dia kupanggil Kakak, namanya Renna. Dia dan Evan sudah 3 tahun berhubungan. Mereka berdua memang cocok, seperti pangeran dengan putri. Evan yang berbadan tinggi tegap memang pantasnya memiliki pasangan tinggi langsing berambut panjang seperti Kakak. Benar-benar pasangan ideal.

Hubunganku dengan Kakak baik sekali. Aku sering bercerita padanya tentang masalah cintaku, dia pun memberi solusi yang tidak mungkin kupakai karena cowok yang aku maksud adalah kekasihnya sendiri. Kakak sudah seperti seorang kakak bagiku. Jadi tak mungkin aku mengkhianatinya.

“Sella!” teguran Aira serta tepukannya dibahuku membuyarkan lamunanku.

“Ada apa sih, Ra?”

“Udah bel istirahat. Mau makan gak?” Aira merogoh isi tasnya lalu mengeluarkan dompet “ayo!” ia menggandeng tanganku menuju kantin sekolah. Rupanya aku tadi melamun terlalu dalam sehingga tidak menyadari banyak waktu yang kulewatkan.

“Lo ngelamunin apa sih tadi, Sell?” Aira menatapku minta penjelasan.

Aku tersenyum “biasalah..”

Aira geleng-geleng kepala. Dia sudah hafal kelakuanku yang satu itu. Ku edarkan mataku kesekeliling kantin, tidak ada tanda-tanda Evan. Ku hela nafas lalu melangkah gontai menuju salah satu kantin yang menjual minuman.

“Mas, es teh satu dong!” kukeraskan suaraku karena suasana kantin amat ramai. Banyak badan yang menyenggolku, sudah terbiasa dengan semua itu. Namun kali ini aku tidak pernah menyangkanya. Seseorang menyenggolku keras, gelas ditangannya tumpah mengenai atasan seragamku.

“AAH!” refleks aku menjerit. “Liat-liat dong kalo jalan!” aku menggerutu.

“Maaf, maaf..” suara tegas itu yang ku dengar. Langsung kutegakkan kepalaku melihatnya.

“Kak Evan?”

Evan tersenyum, “maaf ya, Sell.. Gue gak sengaja, beneran.” Dia tampaknya merasa bersalah.

“Gak apa-apa kok, Kak.” Elakku merasa tidak enak.

“Gak apa-apa gimana? Tadi aja lo ngomel-ngomel. Hehehe..” alamak! Melihatnya terkekeh seperti itu saja jantungku sudah berdebar.

“Trus gimana?” tanyaku bingung.

Tak kurasa seluruh isi kantin sedang melihat ke arah kami, dan sepertinya Evan merasa terganggu dengan kondisi itu.

“Sell, ikut gue deh sebentar.” Evan meraih tanganku dan menarikku menjauhi kantin. Lalu kami berhenti di sudut lorong, Evan melihatku bingung “Gimana ya, Sell? Kayaknya dibersihin pake tissue juga gak mempan tuh.” Evan melihat jam yang melingkar ditangannya, “kayaknya sih sempet. Eh, Sell! Lo tunggu disini, ya! Jangan kemana-mana.” Evan berlari meninggalkanku yang masih terkesima setelah tadi ia memegang tanganku.

Setelah tersadar dari kebodohan itu, aku pun mencari tempat untuk duduk. Lalu ku ambil telepon genggamku, mengecek profil jejaring sosialku. Setidaknya sambil menunggu Evan yang tadi menyuruhku tetap disini.

5 menit berlalu dan Evan tak kunjung kembali. Sial. Mungkin aja dia lupa. Emang seberapa pentingnya gue? Bego banget deh gue. Lalu kuputuskan untuk kembali ke kelas, biarlah menjadi tertawaan teman-teman. Belum sampai kakiku memijak anak tangga kedua, sebuah tangan menarik tanganku lembut.

(to be continued...)
>>>

1 comment:

I dare you to write comment down there.