Wednesday, October 17, 2012

Just a Day (Part 2) - AFTERNOON

Yosh~!
Tak perlu berlama-lama, kali ini gue persembahkan (ceileh bahasanya) part 2 dari cerbung gue kemarin. Belum baca yang pertama? Cupu. Baca disini: Just a Day (Part 1) - MORNING.


>>>

Dari ruang audio visual yang sedang kosong, terdengar isak tangis seorang wanita. Suara seorang pria mencoba menenangkan wanita tersebut, namun sang wanita tetap terisak.


"Bu Yura, tenanglah,” ujar suara rendah namun berwibawa itu. “Keadaan tidak mungkin berubah walaupun anda menangis seperti itu.”



“Ini semua salahmu!” isak Bu Yura. Sang lawan bicara hanya menatap wanita itu dalam-dalam dari balik kacamatanya. Diraihnya tangan wanita itu, digenggamnya erat.


“Aku tahu ini susah, tapi kamu harus kuat,” pinta lelaki itu dengan halus. Matanya menatap lurus ke dalam mata Bu Yura, mata tajamnya beradu dengan mata sendu milik Bu Yura. Perlahan isak tangis Bu Yura mereda, wanita itu telah bisa menguasai perasaannya agar tidak terlarut dalam kesedihan.


Lelaki itu tersenyum, “sudah agak mendingan?” masih digenggamnya tangan Bu Yura. Bu Yura menyentak tangannya pelan dari pegangan lelaki itu, ia membuang muka. Terlihat sebersit rona merah di pipinya. Ia mengangguk.



“S-sudah,” jawabnya dengan suara sedikit bergetar.



Sementara itu sepasang mata menatap mereka diam-diam. Sang pemilik mata itu terlihat kaget melihat apa yang terjadi di dalam ruang audio visual. Gadis bermata sipit itu segera mengendap menjauh dari ruang audio visual sejauh-jauhnya, ia memutuskan untuk ‘kabur’ ke perpustakaan. Sesampainya di perpustakaan, ia segera mencari temannya.



“Leon?” panggil sebuah suara. Sebuah kepala menyembul dari balik rak. Leon –nama gadis itu-, tersenyum lebar.



“Siddhi! Kamu harus tau barusan aku ngeliat apa,” kata Leon sambil menghampiri Siddhi. “Eh? Kamu sedang apa?” Tanya Leon ketika melihat tumpukan-tumpukan buku di balik rak. Siddhi menghela nafas panjang.



“Tadi aku ketahuan bolos sama Bu Laksmi, beliau nyuruh aku ngerapihin buku di rak ini,” kata Siddhi seraya menunjuk rak dengan matanya, “sesuai urutan abjad.” Lanjut Siddhi dengan raut muka malas. Leon tertawa.



“Tidak apa-apa, kan? Sini biar ku bantu,” ucapnya lalu memberikan senyum manis untuk Siddhi. Leon sudah lupa niatnya menghampiri Siddhi untuk menceritakan kejadian di ruang audio visual tadi. Ia sekarang sedang mengingat-ingat bagaimana dulu ia dan Siddhi sering bertengkar, keadaan berubah sejak mereka berdua masuk kelas akselerasi. Mau tak mau, mereka harus selalu bersama.



*cklek*



Pintu perpustakaan terbuka. Seorang guru berkacamata melangkah masuk, aura ‘kalem’ terpancar dari wajahnya. Bu Laksmi adalah guru bahasa Inggris yang terkenal pendiam, namun sangat tegas. Tutur kata beliau yang sangat santun terkadang malah terdengar menyeramkan saat ia sedang marah. Bu Laksmi menghampiri Siddhi dan Leon.



“Syukurlah ada yang bersuka rela membantu kamu menjalankan hukuman, Siddhi,” ucap Bu Laksmi lembut. Ia melirik Leon, “ah. Rupanya kamu juga tadi membolos pelajaran saya, ya?” Tanya Bu Laksmi masih dengan tutur kata lembut. Leon pucat pasi, ia mengangguk perlahan.



“Kalau begitu sekalian seluruh buku disini kalian susun sesuai urutan abjad, ya? Membantu pustakawan lebih bermanfaat dibanding membolos biasa, kan,” lanjut Bu Laksmi diakhiri senyum lembut. Siddhi dan Leon mengangguk cepat. Ketika Bu Laksmi keluar dari perpustakaan, Siddhi dan Leon saling berpandangan dengan wajah sama-sama memelas.



“Apes,” gumam Leon diiringi tawa Siddhi. Mereka pun menjalankan ‘tugas’ membolos yang tertunda.



SYALALA SYUBIDAMBIDAM~



Bel tanda istirahat berbunyi. Seluruh murid SMP dan SMA Weaef berhamburan keluar kelas. Keistimewaan komplek sekolah ini adalah, mereka hanya punya satu spot kantin yang besar dan sanggup menampung keseluruhan murid. Jadi saat istirahat, murid SMP dan murid SMA bisa bertemu dan bercakap-cakap.



Bu Yura keluar dari ruang audio visual, Dita yang baru saja mengumpulkan tugas menggambar peta dari kelas 11A sudah berniat menghampiri. Namun ia mengurungkan niatnya saat melihat mata Bu Yura yang sembab, dan orang yang terlihat keluar dari ruangan itu setelah Bu Yura. Dita melihat Bu Yura sempat bercakap-cakap singkat dengan lelaki itu sebelum mereka berpisah, Bu Yura menuju ruang guru sementara lelaki tadi menuruni tangga.



Berhubung perutnya Dita sudah keroncongan, dia tidak terlalu memperdulikan apa yang baru saja ia lihat. Yang sekarang ia inginkan cuma satu; makan. Dita pun segera menuju ruang guru untuk mengumpulkan tugas kelas mereka, ia melewati depan ruang OSIS dengan terburu-buru dan hampir menabrak Surya.



"Eh, sori gue buru-buru," seru Dita tanpa berhenti berjalan. Surya hanya memasang tampang malas, ia pun masuk ruang OSIS. Di dapatinya Nanda sedang bercakap-cakap dengan seorang anak kelas 10. Anak itu terlihat pendiam, berkali-kali terlihat anak itu sibuk dengan handphonenya dibanding bicara dengan Nanda. Nanda melambaikan tangan pada Surya.



"Sur, ini Rifi yang tadi gue suruh ngumpulin formulir." ucap Nanda, sementara Rifi hanya mengangguk kecil. Surya mengiyakan lalu mengambil berkas-berkas formulir yang berjumlah sekitar 50 lembar. Ia duduk di belakang meja kebesarannya, sementara Nanda dan Rifi keluar ruangan.



"Kak Surya tampangnya serem," gumam Rifi. Nanda tertawa kecil. Mereka pun berpisah, Rifi kembali ke kelasnya sementara Nanda bergabung dengan teman-temannya untuk makan siang. Sementara itu di kantin...



"Bu, nasi pake ayam goreng satu!" seru Nuka sambil menyerahkan uang. Tak lama kemudian ia sudah keluar dari antrian dengan membawa sepiring nasi beserta ayam goreng.



*THUD*



Tubuh Nuka menabrak tubuh mungil seorang anak SMP berambut sedikit ikal.



"Wah, sori," kata Nuka sambil menjaga agar piringnya tidak jatuh. Diana yang tertabrak Nuka menggeleng.



"Enggak apa-apa kok, Kak," sahutnya sopan. Nuka tersenyum lega dan menepuk kepala Diana, lalu kembali mencari tempat duduk.



"Ciye, Diana," tegur Isabel, teman sekelas Diana yang bermata sipit dan berkacamata. "Ngomong sama anak SMA nih ye," ejek Isabel lagi. Diana tersipu malu, salah tingkah.



"Apaan, sih?" ia berusaha mengelak namun wajahnya memerah. Isabel tertawa renyah, mereka berdua pun membeli makanan.



Salsa menatap kerumunan orang di kantin, nafsu makannya hilang. Ia malas makan di tempat yang ramai. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya.



"Halo," sapa Andi sambil tersenyum. Salsa balas tersenyum tipis.



"Sendirian?" tanya Salsa. Andi menggeleng.



"Sama Veren," jawab Andi sambil menunjuk Veren yang sedang membeli roti. "Eh iya, mau tolongin aku gak?" pinta Andi dengan nada memohon. Salsa mengernyitkan alis.



"Tolong ngapain?" tanyanya. Andi memberikan botol minuman energi ke tangan Salsa.



"Anterin ke Kak Surya, please," mohon Andi. Salsa mendengus, Andi memang sering memintanya mengantarkan air minum untuk Surya, kakak Andi. Sebenarnya Salsa sedikit senang juga dimintai tolong seperti itu oleh Andi.



"Iya deh," jawab Salsa setengah malas, lalu ia berjalan menuju ruang OSIS SMA Weaef. Andi menyembunyikan cengirannya, lalu bergabung dengan Veren untuk makan siang. Sementara itu Salsa menabrak seseorang di koridor.



*THUD*



Tubuh Salsa limbung hampir terjatuh ketika sebuah tangan menahan pinggangnya.



"Maaf," suara rendah namun berat itu menyapa telinga Salsa. Salsa menegakkan tubuhnya.



"Aku yang salah, Pak," kata Salsa sesopan mungkin. Lelaki berkacamata itu tersenyum.



"Ya, tidak apa-apa. Saya juga salah," sahutnya. Salsa menatap guru tersebut. Ia merasa pernah bertemu guru itu, tapi kesannya berbeda. Lalu ia memohon diri dan melanjutkan jalan 'mengantar' minuman untuk Kak Surya.



*tok* *tok*



Salsa mengetuk pintu ruang OSIS pelan.



"Masuk aja," sahut suara bariton milik Surya dari dalam ruangan. Salsa membuka pintu OSIS, masuk ke dalam ruangan dan menutup pintunya lagi. Apa yang terjadi di dalam selanjutnya menjadi rahasia mereka berdua ketika terdengar suara anak kunci diputar Surya.



Lelaki yang ditabrak Salsa tadi berjalan menuju koperasi, setelah membeli beberapa kebutuhannya ia pun kembali ke ruang guru SMP Weaef. Di perjalanan ia di sapa para murid perempuan, yang ditanggapi dengan senyuman 'cool'nya. Sesampainya di ruang guru, ia menghempaskan tubuhnya ke kursi kebesarannya. Lalu menyeruput habis kopi yang tadi pagi ia buat. Ia beranjak ke balkon untuk merokok, balkon itu berada di ujung bangunan sekolah dan menghadap ke lapangan.



Di lapangan terlihat banyak murid laki-laki yang sedang bermain bola, bola bergulir menyentuh ujung sepatu Pak Rizky. Ia melonggarkan kancing kemejanya, menggulung lengan kemejanya lalu ikut bermain bola bersama anak muridnya.



"Oper woy," seru Ivan pada Naufal yang sedang menggilir bola. Naufal mengoper bola pada Ivan dengan tendangan lurus bertenaga, namun operannya dipotong oleh lelaki tadi.



"Ah, Pak Rizky curang!" protes Naufal. Pak Rizky hanya memberikan cengiran. Ivan yang keki berkelut mengejar Pak Rizky dan merebut kembali bola dari kakinya. Permainan semakin seru saat Gian dan Izul memutuskan untuk bergabung. Pak Rizky adalah guru olahraga yang baru berusia 20 tahun. Ia memang sangat digemari murid laki-laki, karena ia easy going dan bisa diajak menggila. Sementara itu para murid perempuan menggemarinya dengan alasan berbeda. Makin banyak murid yang menonton dari pinggir lapangan.



*bzzzt* *bzzzt* 



Handphone Nabila bergetar dengan kekuatan 0,00000007 skala ritcher, membuat konsentrasi Nabila yang sedang asik melihat ke arah lapangan buyar sesaat.



"Ah, ganggu aja," gerutu Nabila. Ia membuka pesan di handphonenya. "Operator kocak! Gue kira sms penting dari Jokowi," umpatnya kesal. Di kantonginya lagi handphone tak berdosa itu. Naomi yang berdiri sambil menopangkan tangan di pinggiran balkon disampingnya tidak menghiraukan Nabila, matanya hanya tertuju pada permainan sepak bola di lapangan.



"Pengen main ya?" tanya Nabila. Naomi melirik sekilas lalu mengangguk.



"Sayangnya gue lagi pake rok, cih," sahut Naomi. Nabila terkekeh.



"Gapapa, main aja," ucapnya sambil menahan tawa. "Nanti tiba-tiba ada angin kan jadi tontonan menarik," lanjutnya dengan wajah tanpa dosa. Naomi menggertakkan gigi lalu menjitak Nabila.



"Sembarangan," ketusnya. Lalu ia kembali memperhatikan jalannya permainan, begitu juga dengan Nabila. 



"Eh iya, Nab," celetuk Naomi tiba-tiba. "Ngerasa aneh gak sih sama guru sejarah kita?"



"Aneh gimana?" tanya Nabila tanpa menoleh. Naomi terdiam sejenak.



"Aneh aja," sahutnya. "Tiap jam tertentu kayaknya dia pergi ke SMA Weaef, ngapain ya?" terdengar nada antusias dari ucapan Naomi. Nabila menoleh sebentar, lalu kembali memperhatikan ke arah lapangan.



"Entah," jawabnya singkat.



Percakapan mereka tidak sengaja terdengar oleh guru berkacamata tadi, ia hanya tersenyum tipis mendengar celotehan muridnya. Dia adalah guru sejarah yang dimaksud Naomi. Benar, ia memang sering ke SMA Weaef. Ia baru saja kembali setelah tadi bercakap-cakap dengan Bu Yura di ruang audio visual.



Ia menghembuskan asap rokoknya, dengan malas ia pun mematikan rokoknya. Pikirannya kembali ke percakapan tadi pasgi di ruang audio visual. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia merasa sedikit bersalah pada semua orang, karena satu-dua orang mulai dibuatnya sedih.



"Rumit," gumamnya. Ia mengambil handphone-nya lalu mengetik pesan singkat.



*bzzzt* *bzzzt*



Handphone Bu Yura bergetar, menandakan ada sms masuk. Ia pun membuka pesan tersebut.



Saya harap masalah tadi tidak mempengaruhi kinerja maupun kegiatan belajar-mengajar anda, Yura.. Sekali lagi maaf, dan terima kasih. -Heri-



Ia hampir menangis lagi membaca pesan tersebut, namun ia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahannya. Ia pun mengetik balasannya.



Ya. Maaf merepotkanmu. -Yura-



Pak Heri membaca pesan tersebut, ia tersenyum lega. Setidaknya ia tahu bahwa Bu Yura baik-baik saja. Sementara itu sepasang mata menatapnya penuh curiga, sepasang mata milik Bu Meivita.



Pak Heri tidak pernah tahu bahwa rekannya yang satu ini bermuka dua. Guru perempuan itu selalu berbaik hati padanya, namun sebenarnya menaruh benci. Sebagai guru kesenian, tentu saja Bu Mei sangat pintar berakting. Karena itu tidak ada yang tahu bagaimana dia sebenarnya. Semua tertipu dengan senyuman dan tutur katanya yang lembut.



"Bu Mei," panggil Adis membuyarkan rencana jahat di benaknya. Ia tersenyum melihat Adis dan Nissa.



"Ada apa?" tanyanya lembut.



"Habis istirahat, kelas 8A pelajaran kesenian. Saya cuma mau ngingetin aja, Bu," ucap Nissa. Bu Mei mengangguk.



"Iya, terima kasih ya," jawabnya. Adis dan Nissa pun meninggalkan ruang guru, mereka berpapasan dengan Pak Rizky yang baru saja akan masuk. Bu Mei terpesona melihat Pak Rizky yang terlihat kelelahan habis bermain bola. Baru saja ia ingin menawarkan air minum ketika ia melihat Bu Fhara sudah mendahuluinya. Bu Fhara memang dekat dengan Pak Rizky, karena itu lah Bu Mei membencinya. Bu Mei memang pendendam, namun tidak ada yang tahu sifatnya itu.



*riiiing* *riiiing*



Handphone Bu Mei berbunyi, ia segera keluar ruang guru untuk menjawabnya ketika melihat nama yang tertera di layar.



"Ya?" sahut Bu Mei.



"Meivita, kamu sedang apa? Sudah makan siang?" (suara di telepon)



"Tidak sedang apa-apa. Sudah, kamu sendiri?"



"Aku juga udah, tumben hari ini kamu gak kesini. Aku kesepian,"



"Ada sesuatu yang bikin aku gak mood kesana," ketus Bu Mei. "Gimana tentang sesuatu yang aku minta tolong selidikin? Udah tau jawabannya?" tanya Bu Mei agak berbisik. Suara diseberang telepon terdengar tertawa.



"Kau itu segitu penasarannya sama Heri? Haha.. Ya, dia tadi pagi kesini menemui Yura. Sepertinya mereka sempat berbincang berdua."



"Sebentar.. Kau bicara santai sekali. Di dekatmu tidak ada orang?" tanya Bu Mei bingung.



"Tidak, aku sedang di ruang audio visual. Sekalian persiapan buat mengajar nanti,"



"Ah iya, baiklah kalau begitu. Terima kasih, ya," ucap Bu Mei menutup pembicaraan.



"Sama-sama," Pak Daffa mengantongi handphone-nya. Ia kembali menyetem gitarnya, setelah istirahat selesai nanti ia akan mengajar kelas 11 di ruangan ini. Pak Daffa adalah guru kesenian, sama seperti Bu Mei. Mereka bahkan satu angkatan di Universitas Weaef.



"Meivita," gumam Pak Daffa. Selama ini dia menaruh hati pada Bu Mei, namun wanita itu tidak pernah menanggapi perasaannya dengan serius. Ia yang menjadi pujaan para gadis-gadis cantik di kampus, ternyata takluk pada seorang gadis yang memperlakukannya layaknya bawahan. Sungguh ironis, pikirnya sambil memetik senar gitarnya. Alunan lembut petikan gitar Pak Daffa terdengar oleh Fani yang baru saja membuka pintu ruangan. Pak Daffa sedikit terkejut, menghentikan petikan gitarnya.



"E-eh, maaf, Pak. Saya kira gak ada orang," kata Fani terbata-bata. Pak Daffa tersenyum lalu lanjut memainkan instrumen keahliannya itu.



"Tidak apa-apa," sahutnya kalem. Fani terburu-buru menaruh tasnya di dalam, lalu permisi keluar ruangan yang direspon dengan anggukkan oleh Pak Daffa. Fani setengah berlari menuju perpustakaan, menghampiri Anggi yang menunggu disana. Anggi terlihat bingung melihat Fani seperti diburu-buru sesuatu.



"Lo kenapa, Fan?" tanyanya to the point. Fani duduk disebelahnya, mengatur nafasnya yang memburu.



"G-gueh..tadhi lhiat..Phak Dhaffa..dhi..rhuang ahudio..vihsual.." katanya terbata-bata. Anggi menaikkan sebelah alisnya.



"Terus kenapa?" tanyanya bingung. Fani terdiam, setelah nafasnya beraturan barulah ia mengembangkan senyum.



"Tadi gue liat dia main gitar, aaaa kereeen.." seru Fani sambil ngunyeng-ngunyeng tangan Anggi. Anggi memasang wajah cengo tanpa dosa.



"Gue kira ada apaan," sahutnya kalem lalu lanjut membaca novel 'The Golden Compass' yang udah setahun belum juga selesai dia baca. Fani cemberut melihat respon Anggi, akhirnya dia pasrah dan tenggelam dalam imajinasinya sendiri. Lalu dengan cengiran tersembunyi, Fani menyalakan laptopnya.



"Mau ngapain, Fan?" tanya Anggi. Fani tidak menjawab, ia asik membuka koleksi video-videonya. Lalu menyetel sebuah video, yang langsung membuat Anggi ikut menonton. Tak lama berselang, mereka berdua asik menonton video dari laptop Fani dengan wajah mesum dan nosebleed. Pak Irul, guru TIK yang sedari tadi memperhatikan mereka mendadak curiga melihat Fani dan Anggi mimisan.



"Nonton apa mereka? Jangan-jangan...." Pak Irul perlahan menghampiri Fani dan Anggi dari belakang, dan diam-diam ikut menonton video tersebut. Perubahan air muka Pak Irul yang tadinya curiga menjadi marah, kembali normal, lalu menjadi antusias. Sementara Fani dan Anggi masih menonton sambil mimisan, tanpa sadar ada orang lain yang ikut menonton video tersebut bersama mereka.



Dita yang baru saja masuk perpustakaan bingung melihat Fani dan Anggi menatap layar laptop dengan mimisan yang tak berhenti, serta Pak Irul dengan wajah penuh antusias di belakang keduanya. Dita bergegas menghampiri, lalu melihat ke layar laptop.



"HAH!?" serunya mengagetkan seisi perpustakaan. Sontak semua mata tertuju pada Dita, ia menahan nafas melihat adegan demi adegan di layar laptop. Lalu semua yang ada di perpustakaan menghampiri dan ikut melihat layar laptop, menonton video yang di setel Fani. Dengan judul: 



KUROSHITSUJI season 1.



>>> end >>>

5 comments:

I dare you to write comment down there.