Yooo~!
Akhirnya chapter kedua ini berhasil dipublish juga.. *nangis terharu*
Sebenernya sih, cerita ini bisa beratus-ratus chapter menuju ending. Yah, berdoa aja semoga gue nemu akhir yang tepat. *smirk*
Chapter sebelumnya: The Young Adult - Chapter 1
Gak usah basa-basi, langsung baca aja nih!
>>> The Young Adult - Chapter 2 >>>
“Sell, mau kemana?” suara Evan terdengar begitu ramah, namun kesan dinginnya tak pernah hilang. Aku menoleh lalu menyeringai polos, “aku kira tadi Kak Evan gak balik lagi, makanya aku mau ke kelas.” Ujarku polos.
Evan tersenyum dan memberikanku seragam putih, “pake ini aja dulu. Maaf kegedean, punya gue soalnya.”
“Lho? Repot-repot banget, Kak. Aku jadi gak enak.” Aku salah tingkah.
Evan geleng-geleng, “udah, gak apa-apa. Pake aja itu. Kan salah gue juga, gue yang nabrak lo.” Evan menyunggingkan senyumnya lagi. Sungguh benar-benar ironis. Setiap saat aku memandang senyumnya difoto, jantungku berdebar-debar. Saat ini sudah berapa kali aku melihatnya tersenyum, kurasa sebentar lagi jantungku akan berhenti berdetak.
Ku ambil baju yang ia sodorkan, “makasih ya, Kak! Nanti kalo udah dicuci aku kembaliin.”
Evan mengangguk sambil tersenyum lalu mengacak-ngacak rambutku, “ya udah. Gue balik dulu ke kelas ya.” setelah berkata seperti itu Evan pergi ke kelasnya.
Aku pun pergi ke toilet untuk mengganti bajuku. Baju Evan benar-benar besar, seperti daster bagiku.
Ku masukkan saja bajunya kedalam rok sekolahku, jadi tidak terlalu tampak kebesaran. Setelah mengganti baju, aku kembali ke dalam kelas. Semua teman sekelasku melihat ke arahku. Tak peduli langsung saja aku duduk di mejaku. Giliran Aira yang menatapku penuh selidik.
“Sell, itu baju siapa yang lo pake?” ia mengernyitkan alis bingung.
“Bajunya Kak Evan. Kenapa emang?”
“Serius lo??” tanya Aira sedikit berteriak. Kucubit pahanya keras untuk memperingatkannya agar jangan sampai ada yang lain yang tahu, namun yang terjadi malah sebaliknya.
“ADAAAAW! Apaan sih, Sell? Kok gue dicubit segala? Gue kan Cuma nanya emang itu beneran bajunya Kak Evan?” kontan seluruh perempuan dikelasku langsung mengerubungi tempat dudukku.
“Beneran, Sell?”
“Ah, jangan bercanda lo!”
“Itu serius bajunya Evan? Bohong lo ya?”
“Kok bisa lo yang make, Sell? Gue pinjem dong!”
Aku hanya bisa pasrah menerima pertanyaan yang datang bertubi-tubi dari mulut-mulut comel temanku ini. Yah, beginilah. Memang susah kalau dekat dengan senior yang paling cool dan menjadi pujaan hati puluhan gadis belia. Rupanya pesona Evan bukan hanya memikatku, namun juga banyak perempuan lain. Sedih memang, megetahui kenyataan bahwa sainganku amat banyak untuk mendapatkan Evan jika nanti dia sudah tidak bersama Kakak. Namun sepertinya itu tidak akan terjadi.
Evan dan Kakak mencintai satu sama lain. Setiap pagi Evan selalu tersenyum saat menerima telefon dari Kakak. Kakak pun demikian, dia sering bercerita padaku bagaimana senangnya ia setiap malam mendapat ucapan selamat malam dari Evan. Walaupun tidak tinggal di satu kota, namun hubungan mereka berjalan lancar. Tidak ada satu penghalang pun yang bisa membatasi mereka. Tidak satupun kecuali maut.
Aku pernah bertanya pada Kakak, apa yang akan ia berikan untuk mempertahankan cintanya pada Evan. Kakak menjawab “apapun yang berharga dari diriku akan ku berikan.” Sungguh jawaban yang indah. Dan saat aku menanyakan hal yang sama pada Evan, dia menjawab “kesetiaan.” Jujur, saat itu aku mendengarnya amat terharu. Namun juga sakit. Sekian besar cinta mereka berdua, dan aku masih saja mengharapkan Evan? Tidak tahu diri. Memang. Tapi apa boleh buat, toh cinta datang memang tanpa permisi.
Kerumunan disekitarku mulai berkurang, guru matematikaku datang. Aih, mataku sudah tak kuat menahan kantuk. Angka-angka yang mulai dituliskan Bu Rina terlihat buram, sin..tan..cos.. detik berikutnya kurasa aku sudah tertidur. Namun samar-samar masih ku dengar ocehan Bu Rina tentang persamaan garis. Makin lama suara itu makin terdengar sayup. Aku tak tahu sudah berapa lama aku tertidur, karena tak ada yang mengusik tidurku. Tidak juga Bu Rina, karena tempat dudukku berada di bangku paling belakang.
***
“BRAAAK!” suara gebrakan kencang dimejaku membuatku terbangun kaget. Kulihat siapa pelaku yang membangunkanku dari tidur siangku yang nyaman. Gawat! itu guru Olahragaku, Miss Dexter.
“Wake up, girl! This is school, not a hotel!” Miss Dexter rupanya memergokiku sedang pulas tertidur. Aku duduk tegak, mencoba mengumpulkan nyawaku yang sedang mengawang-awang di langit-langit kelas.
“Sella, 5 minutes from now!” seru Miss Dexter seraya meninggalkan kelas. Teman-temanku bergegas mengikutinya menuju lapangan sekolah. Sementara aku masih termenung. Bibirku menyebutkan kata-kata beliau tanpa suara. Five minutes from now.
Kemudian aku tersentak, “5 menit?” langsung saja aku ambil baju olahragaku lalu berlari menuju kamar mandi, mengganti seragamku dengan baju olahraga. Kemudian aku menaruh seragamku kembali ke dalam tas lalu berlari menuruni tangga menuju lapangan.
Tepat setelah aku masuk ke dalam barisan, Miss Dexter datang dan menyuruh kami pemanasan. Oh, sungguh aku benar-benar tidak suka pelajaran olahraga. Bukan karena badanku kegemukan, bukan juga karena aku malas berolahraga. Tapi...
“Sella, kamu kerjakan soal ini. Yang lain, ambil bola sepak!” Miss Dexter menyuruhku mengerjakan tugas seperti biasa sementara teman-temanku yang lain asyik bermain sepak bola.
Sesungguhnya aku ingin sekali bermain seperti mereka. Sayangnya, kondisi fisikku tidak memungkinkan. Aku mempunyai penyakit kelainan darah. Hemofilia. Biasanya penyakit ini hanya menyerang keturunan laki-laki, namun kali ini aku terjangkit. Orang dengan Hemofilia tidak tahan terhadap benturan. Benturan keras sedikitpun bisa menyebabkan aku pingsan. Bahkan jika aku melakukan hi-five terlalu bersemangat dengan temanku pun tanganku lebam.
Belum habis sampai disitu penderitaanku. Sebulan sekali minimal aku harus transfusi darah. Aku ketergantungan darah manusia lain, seperti vampire saja. Terlebih golongan darahku adalah golongan darah paling langka, O. Teman-temanku tak ada yang tahu penyakitku. Mereka hanya tahu kakiku patah tulang, sudah tidak memungkinkan untuk berolahraga. Hanya Aira yang tahu keadaanku yang sesungguhnya. Itu juga karena Aldi yang memberitahu. Aldi sangat protective, dia sangat berhati-hati menjagaku. Menurutnya, paling tidak ada seseorang yang tahu keadaanku selain para guru.
Pola makanku juga harus selalu dijaga. Aku tidak boleh makan makanan yang mengandung Monosodium Glutamat (MSG) berlebih, namun juga tidak boleh makan dengan kandungan MSG sangat rendah. Soal junkfood apalagi. Aku sama sekali tidak boleh makan makanan siap saji seperti itu. Hidupku benar-benar membosankan. Namun dengan adanya sahabatku, Aira, aku masih bisa menikmatinya. Terlebih saat ini Aldi dan Kakak sedang sibuk, jadi hanya Aira-lah tempatku bercerita.
Tugas yang kali ini diberikan Miss Dexter sangat sulit, rupanya ia juga ingin bersikap adil. Susah payah aku mengerjakannya, berbekal ilmu pengetahuan tentang olahraga yang pernah ku baca di internet. Sekitar 65 menit kemudian 50 soal itupun selesai, langsung kuserahkan kepada Miss Dexter. Beliau pun memeriksanya lalu mempersilahkanku ke Unit Kesehatan Sekolah (UKS) untuk beristirahat sembari menunggu teman temanku selesai olahraga.
Kulangkahkan kakiku malas ke UKS, lalu berbaring di kasur paling ujung. Suhu di UKS sedang dingin, tempat yang tepat untuk memejamkan mata kembali. Aku pun menutup kelopak mataku dan berusaha untuk bisa tidur lagi. Ku coba menggunakan metode menghitung domba.
Tuing! Satu domba melompati pagar.
Tuing! Dua domba melompati pagar.
Tuing! Tiga domba melompati pagar.
Tuing! Domba Evan melompati pagar.
Lho?
Aku membuka mata, Evan lagi yang gue pikirin. Aduuuuh.. aku mengubah posisi tidurku yang tadinya menghadap tembok jadi menghadap kasur kosong disebelahku.
Setelah kuamati ternyata di UKS ini hanya ada aku sendirian. Suasana seperti ini mengingatkanku pada cerita-cerita horror di sekolah ini. Tiba-tiba badanku merinding, seperti merasakan kehadiran makhluk halus. Kupejamkan saja mataku kuat-kuat, berharap semoga saja aku cepat tertidur.
BRAAK! Pintu UKS terbuka lebar, mampus! Siapa tuh? aku selalu merasa parno jika dikagetkan oleh bunyi. Deg.. Deg.. Deg.. Ada yang tidur di kasur sebelahku. Suhu ruangan bertambah dingin, aku mendengar suara rintihan sayup. Bukan suara perempuan. Kuberanikan diri membuka mata perlahan. Hei! Itu bukan hantu. Seorang murid laki-laki yang tangannya keseleo. Hahaha.. Hampir saja aku ketakutan.
Kupejamkan lagi mataku, kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan.
“Misi, petugas UKS bukan?” orang yang tadi datang menanyaiku. Dengan malas akupun bangun membuka mata.
“Buk..eh? Kak Evan?” aku kaget saat melihat cowok yang berdiri didepanku.
Evan hanya tersenyum, “Cariin trombopop dong, Sell..” Evan memintaku dengan sopan.
“Bentar ya, Kak!” aku pun bangun dari kasurku lalu mencari trombopop untuknya. Setelah ketemu aku memberikan obat itu padanya.
“Nih, Kak! Mau aku pakein?” aku menawarkan jasaku. Sebenarnya sih cuma alasan supaya bisa ngobrol lebih lama. Tak kusangka dia menganggukkan kepalanya.
“Boleh, deh.” Dia pun mengulurkan tangannya yang memar kearahku.
Aku mulai membaluri memarnya dengan trombopop yang dingin, lalu kupijat lembut.
“Jago juga lo mijitnya, Sell. Tau gitu tiap hari aja pijitin gue. Hehe” dia melihatku sambil tersenyum.
Aku mencibirkan bibirku, “enak aja! Bayar ya abis ini, traktir gue ke sevel.” Celetukku santai. Memar ditangannya parah sekali, kulihat ia kesakitan saat aku memijat dibagian memarnya.
“Lo abis ngapain, Kak? Kok bisa sampe memar gini?”
Evan melihatku lalu tersenyum lebar, “tadi tangan gue digaprak bola sama anak cowok dikelas lo. Siapa tuh namanya yang rambutnya jabrik?” Evan mencoba mengingat-ingat.
“Arya?” sahutku cepat.
“Iya! Yang tengil itu mukanya.” Terlihat sekali Evan sangat membenci Arya. Evan seperti baru ngeh lalu menarik tangannya, “udah, Sell. Makasih banyak ya! Oh iya, sori tadi gue jelek-jelekin cowok lo.” Evan tersenyum lalu berjalan meninggalkanku di UKS.
Sepeninggal Evan, aku duduk di pinggir kasur. Merenung. Mengingat saat-saat indahku bersama Arya. Waktu kelas 1 semester akhir, saat aku merayakan ulang tahunku yang ke 15. Arya datang membawa sebuah teddy bear besaaaaar sekali. Lalu dia mengungkapkan perasaannya padaku didepan banyak orang.
Aku yang saat itu sedang bahagia bertambah kebahagiannya saat Arya menembakku, lalu aku pun berkaya “Iya” saat dia menanyakan apakah aku mau menjadi kekasihnya. Sejak saat itu dia pun sering mencurahkan perhatiannya padaku. Namun tetap saja, hatiku sudah sepenuhnya menjadi milik Evan. Aku menyayangi Evan lebih besar daripada rasa cintaku pada Arya.
Memang aku jahat pada Arya. Sebenarnya aku tidak benar-benar mencintainya. Aku hanya kagum pada keberaniannya menyatakan perasaannya didepan banyak orang, dan aku terpesona. Selama kami berhubungan pun, dia yang lebih banyak mengucapkan kata-kata manis. Sedangkan aku? Kata-kata indahku hanya untuk Evan seorang.
***
Pintu UKS kembali
terbuka, seorang laki-laki masuk kedalam dan menegurku.
(to be continued...)
>>>
Nah! Siapa tuh yang masuk UKS? #jengjeng.
Tungguin aja yah, kira-kira bulan depan gue update chapter terbarunya. #dikeplak.
Jaa~!
hobi banget sih di uks bang (--,) #salahfokus
ReplyDeletenahlo..yg masuk uks pasti si arya deh #soktau
lanjuuutt ~(\ ‾o‾)/
ah.. aku kan UKS lover.. #apaan
Deletebaca aja gih, udah di update kok lanjutannya~
katanya cerita dewasa ?
ReplyDeletekyokoto.. gak semua yang dewasa itu 'cepet nyampe kasur'.. alurnya lambat, tapi ini dewasa kok.. (--,)v
Deletegak ada maksud gitu dah -_-
Deletemakot mesum juga ternyata (‾▿‾")
Delete