>>>
“Masuk!” perintah suara dari dalam. Kode itu aku yang membuat agar orang yang didalam tahu bahwa aku yang akan masuk. Aku membuka daun pintu perlahan, Aira mengikutiku masuk ke dalam ruang BK. Terlihat sosok wanita muda yang mengenakan setelan blazer cokelat.
“Siang, Bu.” Sapaku sambil
menutup pintu dibelakangku. Bu Estia mengangguk ramah seraya tersenyum dan
mempersilahkan aku dan Aira duduk di sofa yang nyaman.
“Ada apa, Sell?” tanya Bu
Estia begitu aku duduk. Aira duduk disampingku sambil mengutak-atik
handphonenya.
“Aku cuma mau tanya, Bu.”
“Tanya apa?”
“Hm ... soal Arya. Benar dia
dikeluarkan, Bu?” tanyaku tanpa basa-basi. Bu Estia mengangguk pelan tapi
pasti.
“Benar. Bisa dibilang, saya
yang membuatnya dikeluarkan.” Ujar Bu Estia diiringi tawa kecil.
“Hah?” aku memiringkan
kepala meminta penjelasan.
“Kamu pernah cerita sama
saya, kan? Saya lapor ke Kepala Sekolah,” ujar Bu Estia santai sambil membuka
bungkus permen mint. Aku mengangguk paham. Ternyata benar dugaanku, beliau lah
yang menyebabkan Arya dikeluarkan dari sekolah. Aku memang sempat bercerita
tentang pengalaman pahitku padanya, namun aku tak menyangka ia bertindak begitu
cepat. Bu Estia memang dekat denganku, aku sendiri memang sering curhat
dengannya. Namun penyebab ia begitu baik padaku adalah kejadian di awal tahun ajaran
baru...
>>Flashback<<
Hujan mengguyur dengan
deras, aku sedang menunggu seseorang. Sudah 2 jam aku menunggunya, namun ia
belum juga datang.
“Kemana, sih!?” gerutuku
kesal. Berkali-kali kuhubungi teleponnya juga tak diangkat. Bikin
kesal saja.
Menghilangkan rasa bosan,
aku memperhatikan bermacam-macam orang yang menunggu dihalte itu. Sama
sepertiku, beberapa diantara mereka terlihat mencoba menghubungi seseorang.
Beberapa lagi hanya menunggu hujan reda. Namun ada satu sosok yang menarik
perhatianku. Seorang wanita muda berpenampilan trendy, terlihat kepayahan
dengan barang bawaannya yang banyak. Ia menyandang tas tangan yang terlihat
berat, serta memeluk map besar dan beberapa amplop cokelat. Kurasa ia adalah
seorang karyawati atau sekretaris.
WHUUUUSSS
Angin berhembus kencang,
mengibarkan jas hujan seorang pemuda yang akan naik ke motornya. Jas hujan yang
lebar itu menghempas si wanita muda, yang langsung kehilangan keseimbangan.
BRUGH!
Wanita itu sukses terjatuh
dilantai halte yang kotor dan becek, beberapa berkasnya terbang ditiup angin
kencang. Beberapa orang membantunya, namun ada juga yang menghiraukannya seolah
tak melihat kejadian itu. Aku mencoba menangkap helaian kertas yang terbang
mendekatiku, lalu kupunguti juga berkas-berkas wanita itu yang jatuh didekatku.
Kertas-kertas itu basah karena lantai halte yang becek, namun tulisannya masih
bisa dibaca dan disalin. Kupikir berkas ini pasti penting sekali.
Aku berjalan melangkah
mendekatinya, ia masih bersimpuh dilantai halte sembari memunguti berkas-berkas
yang berjatuhan disekelilingnya.
“Hm ... permisi.” Sapaku
sambil menepuk pundaknya. Ia menoleh menatapku, sungguh tatapan yang sangat
tajam. Aku menyerahkan kertas-kertas yang berhasil kuselamatkan padanya, ia
mengucapkan terima kasih sambil tersenyum. Aku mencoba membantunya memungut
kertas-kertas yang masih tercecer, namun aku menahan diri karena melihat
sesuatu yang seharusnya tidak kulihat. Bagian berakang rok wanita itu sobek
sampai ke ujungnya!
Di halte memang banyak
orang, namun tak ada satupun yang memperhatikan. Aku segera mengeluarkan
jaketku dari dalam tas – jaket Aldi sebenarnya karna aku meminjamnya – dan
memberikannya kepada wanita tersebut.
“Ikatkan ini dipinggangmu,
rokmu sobek dibagian belakangnya.” Bisikku saat berjongkok disampingnya seolah
membantunya memungut berkas-berkas.
“Apa ... ah, terima kasih
banyak!” ia segera mengikatkan jaketku melingkari pinggangnya. Setidaknya kini
bagian belakang roknya tertutupi.
“Sella!” seruan Aldi
membuatku menoleh cepat. Akhirnya kau datang juga..
Aku segera menghampiri Aldi
dan naik ke atas boncengan motor.
“Jaket lo mana?” tanya Aldi
sambil melepas jaketnya.
“Gue kasih ke orang yang
barusan kena musibah!” aku memakai jaket yang ia berikan padaku. “Buruan, Di!
Gue hampir mati kedinginan tau!” aku memukul-mukul pundaknya. Ia segera memacu
motornya pulang kerumah.
>>End of Flashback<<
Aku tak mengira bahwa wanita
kikuk yang kutemui di halte itu adalah guru BK-ku di SMA. Aku baru sadar akan
hal itu ketika dengan terpaksa aku pergi ke ruang BK untuk menemani Aira. Ia
terlihat terkejut begitu melihatku, begitu juga aku. Sejak itulah Bu Estia ini
jadi dekat denganku.
“Jadi ... Arya benar-benar
sudah dikeluarkan? Orang tuanya tidak protes?” tanyaku penasaran. Bu Estia
menggeleng.
“Mereka mencoba menyuap
Kepala Sekolah, namun beliau menolak dengan tegas.” Jelas Bu Estia. Aku
tersenyum lega.
“Makasih, Bu..” ucapku
tulus. Bu Estia tersenyum.
“Aku hanya membalas apa yang
pernah kau lakukan untukku. Terima kasih kembali, Sella.”
***
Malam ini, Aldi dkk akan
menghancurkan rumahku. Tidak ... maksudku mereka akan bertamu ke rumahku untuk
membuat banyak kenangan serta memberikan Aldi kenangan masa-masa terakhirnya
bersama ganknya. Mama dan Aira membantuku menyiapkan segala kebutuhan gank yang
satu ini, mereka kunamai 'gank rakus' karena mereka sungguh-sungguh rakus.
Mereka sanggup menghabiskan apapun yang kuhidangkan, sampai-sampai aku bingung
terbuat dari apa sebenarnya perut-perut mereka itu.
"Sellaaa," panggil
Aira sambil berlinang air mata. Aku tertawa pelan.
"Apa?" tanyaku
disela tawa.
"Lo tega banget ya
ternyata, Sell.." isaknya perlahan.
"Hm.."
"Sellaaaaaa,"
jeritnya. Aku menoleh kepadanya.
"Apaan, sih?"
"Pedes banget ini
bawangnya, gantian dooong.." pintanya memelas. Sesuai dengan pengakuannya,
dia memang tidak pernah memasak.
"Gue juga ribet,
nih!" sahutku sambil mengacungkan tanganku yang berlumuran tepung didepan
wajahnya. "Mau tukeran?" tanyaku. Ia pun mundur sambil menghela nafas
berat. Tentu saja ia tak mau bertukar kerjaan denganku, tadi siang ia baru saja
mewarnai kukunya.
"Sella jahaaaaat,"
raungnya pelan. Aku kembali tertawa, sampai Mama memperhatikan kami dengan
bingung.
"Kalian ini bukannya
masak, malah bercanda terus daritadi.." ujar Mama sambil geleng-geleng kepala
melihat kelakuan kami. Aku memberikan cengiran terbaikku, sementara Aira
merajuk.
"Tanteeee, Sella jahat
tuuuh. Masa aku disuruh ngiris bawang, kan pedeees.." rajuknya sambil
memelas. Mama tersenyum.
"Ya, sudah. Tante aja
yang iris bawangnya," ujar Mama sambil mengambil alih pisau dari tangan
Aira. Aira tersenyum penuh kemenangan sambil menatapku. "Nah, sekarang
kamu goreng kentang, ya?" lanjut Mama. Senyum Aira menghilang.
“Tante ... aku kalo urusan
goreng-goreng pasti gosong.” Ucapnya pelan. Mama tertawa.
“Ya nggak apa-apa, dong?
Makin sering goreng kan jadi makin jago,” sahut Mama sambil melanjutkan
pekerjaannya. Aku terkikik sambil mulai menggoreng ikan fillet yang sudah
kulumuri telur dan tepung.
“Terima nasib aja, Ra.
Lagian elo cewek, bukannya belajar masak, malah belajar musik.” Ledekku. Aira
tersenyum kecut.
“Sengaja banget sih lo
bahas-bahas musik, mentang-mentang kedengerannya mirip sama masak. Ih! Bete
ah!” ia membuang muka namun dikerjakan juga tugasnya, mengupas kentang.
“Taroh di air abis dikupas,
Ra. Abis itu nanti setelah dipotong-potong ukuran french fries, cemplungin di
air lagi.” Saranku. Aira mengernyit.
“Basah, dong? Emang kenapa
harus gitu, sih? Ribet banget,” keluhnya. Namun ia tetap mengikuti saranku.
“Supaya kentangnya gak jadi
item-item gitu,” sahutku asal.
“Hah?”
“Ya pokoknya kata Mama gitu,
Ra. Gue cuma nyampein ulang aja,” tuntasku. Aira tertawa.
Tugas kami –para wanita-
memasak untuk camilan dan makan malam, sementara Evan dan teman Aldi lainnya
sedang membantunya packing barang untuk pindahan. Berkali-kali kudengar suara
kursi terjatuh dari lantai atas. Bukan mereka namanya kalau tidak rusuh seperti
itu. Tak apalah, mungkin ini hari terakhir mereka bisa bersama-sama. Merusuh
dan memberantaki kamar Aldi seperti itu.
Sedih juga membayangkan
hari-hari tanpa Aldi. Tanpa Aldi, rumah ini tidak akan didatangi gank rakus.
Dan sudah dipastikan, studio di halaman belakang pasti kosong. Kuselesaikan
tugas memasakku, lalu lanjut membuat minuman.
“Kayaknya enak minum
cocktail-cocktail-an,” gumamku. Aku pun memutuskan untuk memotong leci dan
anggur menjadi potongan-potongan kecil, lalu mencampurnya dengan minuman soda
rasa jeruk. Sementara itu Aira sedang menggoreng kentang yang sudah
dipotong-potong.
“Semangat ya, Ra!” seruku.
Aira mendengus.
“Gausah ngeledek lo!”
***
"Ini kentang
goreng?" tanya Aldi sambil mengacungkan kentang goreng berwarna coklat
gelap itu. Aku menahan tawa, sementara Aira menunduk malu.
"Ini patut dicoba!
Siapa tau ini kentang goreng spesial," celetuk Riga disusul tawa yang
lain. Kulihat wajah Aira semakin merah.
"Jangan gitu, udah
mending ada yang masakin buat lu-lu pada." tegur Evan sambil mencomot ikan
yang ku goreng renyah tadi.
"Tau, tuh! Tampilannya
doang kok yang gosong, rasanya kentang juga." ujar Riga sambil mengunyah
kentang ketiga. Aira tersenyum tipis saat aku mencolek pinggangnya untuk
memastikan ia mendengar kata-kata Riga.
"Lo mah apa aja
diembat, Ga. Jangankan kentang gosong, anak bebek kepeleset dipanci aja lo
embat!" semprot Dimas. Riga cuma nyengir.
Sementara itu Aldi
menghampiri Evan dan mereka berbincang dengan wajah serius. Namun berubah
menjadi ceria -yang sangat terlihat palsu- ketika Mama menghampiri mereka.
Sepertinya mereka membicarakan aku ... atau Arya. Kupalingkan wajahku ke arah
lain, tak mau memikirkan hal buruk di malam terakhir Aldi di Indonesia.
“Gue ke kamar mandi dulu,
Ra.” Pamitku pada Aira.
“Jangan lama-lama!” serunya.
Aku mengangguk lalu berlalu. Sekembalinya dari kamar mandi, mataku menatap pemandangan
unik malam itu, Aira sedang mengobrol dengan Riga. Dan sepertinya seru sekali.
Aku turut senang dengan
perkembangan ini. Mudah-mudahan hubungan mereka bisa terus berlanjut, karna
Aira memang sangat menyukai Riga. Aku baru menghampiri Aira ketika kulihat Riga
sudah kembali mengobrol dengan Irwan.
“Seneng nih ye..” godaku
sambil kembali duduk disebelahnya. Aira tersenyum sambil tersipu-sipu,
“ngobrolin apaan?” tanyaku.
“Hehehe ...” ia hanya
memberikan cengiran. Tanganku bersiap-siap menggelitik pinggangnya.
“Guys, gue mau ngomong!”
seruan Aldi membuat semua yang ada disitu menoleh kearahnya.
“Kenapa lo? Mau minjem duit
buat modal di Aussie?” celetuk Irwan. Spontan saja Dimas menjitak kepalanya.
Riga dan Toni tertawa, sementara Evan hanya tersenyum tipis.
“Kali ini gue lagi gak
bercanda nih..” ucap Aldi dengan wajah serius. Ia pun duduk disampingku, kami
semua duduk melingkar di lantai yang dilapisi karpet tebal. “Lo pada tau kan,
besok pagi gue udah berangkat ke Aussie ...”
Semua terdiam dan hanya
mengangguk mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulut Aldi.
“Gue mau minta tolong sama
kalian. Tolong jagain adek gue. Gue titip dia ke kalian. Dia emang agak manja,
ceroboh, cengeng pula ... aw!” Aldi meringis kesakitan memegangi pinggangnya
yang ku cubit habis-habisan.
“Ya ... pokoknya gue titip
Sella ke kalian.” Aldi memalingkan wajahnya ke Aira, “ke lo juga, Ra. Gue titip
Sella, ya..” Aira mengangguk. Aku menundukkan wajah, airmataku mengalir
perlahan.
“Oh, iya. Terutama elo, Van.
Lo harus jagain Sella.” Aldi menyambung kalimatnya. Aku terkejut, namun
menunggu jawaban apa yang akan diberikan oleh Evan.
“Pasti, Di. Lo bisa serahin
Sella ke gue,” sahut Evan.
“EEEEEEEHH!???” semua yang ada disitu terkejut mendengar kalimat Evan, yang memang agak ambigu. Dia juga sepertinya menyadari itu, ia menggaruk bagian belakang kepalanya.
“Maksud gue buat dijagain
...” lanjutnya.
“Inget pacar, Pan. Gile lo,
adek orang mau diembat juga,” canda Riga. Walaupun aku tahu bukan itu yang
dimaksud Evan, aku tetap tersenyum sambil menghapus airmata.
“Evan pacarnya Sella, ya?”
tiba-tiba Mama yang kukira sudah ke kamarnya, menghampiri dan duduk
disebelahku. “Gak nyangka, anak mama yang manja punya pacar ganteng begini..”
goda Mama.
“Gak gitu, Ma. Kak Evan
punya pacar tau,” gerutuku pada Mama yang hanya tersenyum sambil membelai
kepalaku.
“Evan sih pengen tuh tante,
jadi pacarnya Sella. Tapi Sella yang gak mau,” sahut Evan bercanda. Sedikit.
Walaupun sedikit, aku berharap apa yang dia katakan itu benar.
“Bukan, Ma. Evan itu temenku
dari SMP. Dia paling sering numpang tidur disini soalnya, jadi aku titip-titip
Sella ke dia. Dia nge-kost deket sekolah,” jelas Aldi. Mama mengangguk.
“Tante juga titip Sella ke
kamu ya, Van. Sella emang manja, cengeng lagi ...”
“Udah ah, Mamaaaa.. Tadi
Aldi udah ngomong gitu juga soalnya. Aku gak cengeng!” seruku kesal sambil
membekap bantal sofa. Aira tertawa sebelum kupelototi.
“Udah, udah ...” Aldi
menuang minuman ke gelasnya. “Bersulang buat kepergian gue ke Aussie besok!”
serunya sambil mengangkat gelas. Evan, Riga dan yang lain mengikuti.
Malam itu pun benar-benar
jadi malam terakhir Aldi di Jakarta.
(to be continued...)
No comments:
Post a Comment
I dare you to write comment down there.