Wednesday, June 4, 2014

The Young Adult - Chapter 7

Previous chapter: The Young Adult - Chapter 6.

>>>
“Masuk!” perintah suara dari dalam. Kode itu aku yang membuat agar orang yang didalam tahu bahwa aku yang akan masuk. Aku membuka daun pintu perlahan, Aira mengikutiku masuk ke dalam ruang BK. Terlihat sosok wanita muda yang mengenakan setelan blazer cokelat.

“Siang, Bu.” Sapaku sambil menutup pintu dibelakangku. Bu Estia mengangguk ramah seraya tersenyum dan mempersilahkan aku dan Aira duduk di sofa yang nyaman.

“Ada apa, Sell?” tanya Bu Estia begitu aku duduk. Aira duduk disampingku sambil mengutak-atik handphonenya.

“Aku cuma mau tanya, Bu.”

“Tanya apa?”

“Hm ... soal Arya. Benar dia dikeluarkan, Bu?” tanyaku tanpa basa-basi. Bu Estia mengangguk pelan tapi pasti.

“Benar. Bisa dibilang, saya yang membuatnya dikeluarkan.” Ujar Bu Estia diiringi tawa kecil.

“Hah?” aku memiringkan kepala meminta penjelasan.

“Kamu pernah cerita sama saya, kan? Saya lapor ke Kepala Sekolah,” ujar Bu Estia santai sambil membuka bungkus permen mint. Aku mengangguk paham. Ternyata benar dugaanku, beliau lah yang menyebabkan Arya dikeluarkan dari sekolah. Aku memang sempat bercerita tentang pengalaman pahitku padanya, namun aku tak menyangka ia bertindak begitu cepat. Bu Estia memang dekat denganku, aku sendiri memang sering curhat dengannya. Namun penyebab ia begitu baik padaku adalah kejadian di awal tahun ajaran baru...

>>Flashback<<

Hujan mengguyur dengan deras, aku sedang menunggu seseorang. Sudah 2 jam aku menunggunya, namun ia belum juga datang.

“Kemana, sih!?” gerutuku kesal. Berkali-kali kuhubungi teleponnya juga tak diangkat. Bikin kesal saja.

Menghilangkan rasa bosan, aku memperhatikan bermacam-macam orang yang menunggu dihalte itu. Sama sepertiku, beberapa diantara mereka terlihat mencoba menghubungi seseorang. Beberapa lagi hanya menunggu hujan reda. Namun ada satu sosok yang menarik perhatianku. Seorang wanita muda berpenampilan trendy, terlihat kepayahan dengan barang bawaannya yang banyak. Ia menyandang tas tangan yang terlihat berat, serta memeluk map besar dan beberapa amplop cokelat. Kurasa ia adalah seorang karyawati atau sekretaris.

WHUUUUSSS

Angin berhembus kencang, mengibarkan jas hujan seorang pemuda yang akan naik ke motornya. Jas hujan yang lebar itu menghempas si wanita muda, yang langsung kehilangan keseimbangan.

BRUGH!

Wanita itu sukses terjatuh dilantai halte yang kotor dan becek, beberapa berkasnya terbang ditiup angin kencang. Beberapa orang membantunya, namun ada juga yang menghiraukannya seolah tak melihat kejadian itu. Aku mencoba menangkap helaian kertas yang terbang mendekatiku, lalu kupunguti juga berkas-berkas wanita itu yang jatuh didekatku. Kertas-kertas itu basah karena lantai halte yang becek, namun tulisannya masih bisa dibaca dan disalin. Kupikir berkas ini pasti penting sekali.

Aku berjalan melangkah mendekatinya, ia masih bersimpuh dilantai halte sembari memunguti berkas-berkas yang berjatuhan disekelilingnya.

“Hm ... permisi.” Sapaku sambil menepuk pundaknya. Ia menoleh menatapku, sungguh tatapan yang sangat tajam. Aku menyerahkan kertas-kertas yang berhasil kuselamatkan padanya, ia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum. Aku mencoba membantunya memungut kertas-kertas yang masih tercecer, namun aku menahan diri karena melihat sesuatu yang seharusnya tidak kulihat. Bagian berakang rok wanita itu sobek sampai ke ujungnya!

Di halte memang banyak orang, namun tak ada satupun yang memperhatikan. Aku segera mengeluarkan jaketku dari dalam tas – jaket Aldi sebenarnya karna aku meminjamnya – dan memberikannya kepada wanita tersebut.

“Ikatkan ini dipinggangmu, rokmu sobek dibagian belakangnya.” Bisikku saat berjongkok disampingnya seolah membantunya memungut berkas-berkas.

“Apa ... ah, terima kasih banyak!” ia segera mengikatkan jaketku melingkari pinggangnya. Setidaknya kini bagian belakang roknya tertutupi.

“Sella!” seruan Aldi membuatku menoleh cepat. Akhirnya kau datang juga..

Aku segera menghampiri Aldi dan naik ke atas boncengan motor.

“Jaket lo mana?” tanya Aldi sambil melepas jaketnya.

“Gue kasih ke orang yang barusan kena musibah!” aku memakai jaket yang ia berikan padaku. “Buruan, Di! Gue hampir mati kedinginan tau!” aku memukul-mukul pundaknya. Ia segera memacu motornya pulang kerumah.

>>End of Flashback<<

Aku tak mengira bahwa wanita kikuk yang kutemui di halte itu adalah guru BK-ku di SMA. Aku baru sadar akan hal itu ketika dengan terpaksa aku pergi ke ruang BK untuk menemani Aira. Ia terlihat terkejut begitu melihatku, begitu juga aku. Sejak itulah Bu Estia ini jadi dekat denganku.

“Jadi ... Arya benar-benar sudah dikeluarkan? Orang tuanya tidak protes?” tanyaku penasaran. Bu Estia menggeleng.

“Mereka mencoba menyuap Kepala Sekolah, namun beliau menolak dengan tegas.” Jelas Bu Estia. Aku tersenyum lega.

“Makasih, Bu..” ucapku tulus. Bu Estia tersenyum.

“Aku hanya membalas apa yang pernah kau lakukan untukku. Terima kasih kembali, Sella.”

***

Malam ini, Aldi dkk akan menghancurkan rumahku. Tidak ... maksudku mereka akan bertamu ke rumahku untuk membuat banyak kenangan serta memberikan Aldi kenangan masa-masa terakhirnya bersama ganknya. Mama dan Aira membantuku menyiapkan segala kebutuhan gank yang satu ini, mereka kunamai 'gank rakus' karena mereka sungguh-sungguh rakus. Mereka sanggup menghabiskan apapun yang kuhidangkan, sampai-sampai aku bingung terbuat dari apa sebenarnya perut-perut mereka itu.

"Sellaaa," panggil Aira sambil berlinang air mata. Aku tertawa pelan.

"Apa?" tanyaku disela tawa.

"Lo tega banget ya ternyata, Sell.." isaknya perlahan.

"Hm.."

"Sellaaaaaa," jeritnya. Aku menoleh kepadanya.

"Apaan, sih?"

"Pedes banget ini bawangnya, gantian dooong.." pintanya memelas. Sesuai dengan pengakuannya, dia memang tidak pernah memasak.

"Gue juga ribet, nih!" sahutku sambil mengacungkan tanganku yang berlumuran tepung didepan wajahnya. "Mau tukeran?" tanyaku. Ia pun mundur sambil menghela nafas berat. Tentu saja ia tak mau bertukar kerjaan denganku, tadi siang ia baru saja mewarnai kukunya.

"Sella jahaaaaat," raungnya pelan. Aku kembali tertawa, sampai Mama memperhatikan kami dengan bingung.

"Kalian ini bukannya masak, malah bercanda terus daritadi.." ujar Mama sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan kami. Aku memberikan cengiran terbaikku, sementara Aira merajuk.

"Tanteeee, Sella jahat tuuuh. Masa aku disuruh ngiris bawang, kan pedeees.." rajuknya sambil memelas. Mama tersenyum.

"Ya, sudah. Tante aja yang iris bawangnya," ujar Mama sambil mengambil alih pisau dari tangan Aira. Aira tersenyum penuh kemenangan sambil menatapku. "Nah, sekarang kamu goreng kentang, ya?" lanjut Mama. Senyum Aira menghilang.

“Tante ... aku kalo urusan goreng-goreng pasti gosong.” Ucapnya pelan. Mama tertawa.

“Ya nggak apa-apa, dong? Makin sering goreng kan jadi makin jago,” sahut Mama sambil melanjutkan pekerjaannya. Aku terkikik sambil mulai menggoreng ikan fillet yang sudah kulumuri telur dan tepung.

“Terima nasib aja, Ra. Lagian elo cewek, bukannya belajar masak, malah belajar musik.” Ledekku. Aira tersenyum kecut.

“Sengaja banget sih lo bahas-bahas musik, mentang-mentang kedengerannya mirip sama masak. Ih! Bete ah!” ia membuang muka namun dikerjakan juga tugasnya, mengupas kentang.

“Taroh di air abis dikupas, Ra. Abis itu nanti setelah dipotong-potong ukuran french fries, cemplungin di air lagi.” Saranku. Aira mengernyit.

“Basah, dong? Emang kenapa harus gitu, sih? Ribet banget,” keluhnya. Namun ia tetap mengikuti saranku.

“Supaya kentangnya gak jadi item-item gitu,” sahutku asal.

“Hah?”

“Ya pokoknya kata Mama gitu, Ra. Gue cuma nyampein ulang aja,” tuntasku. Aira tertawa.

Tugas kami –para wanita- memasak untuk camilan dan makan malam, sementara Evan dan teman Aldi lainnya sedang membantunya packing barang untuk pindahan. Berkali-kali kudengar suara kursi terjatuh dari lantai atas. Bukan mereka namanya kalau tidak rusuh seperti itu. Tak apalah, mungkin ini hari terakhir mereka bisa bersama-sama. Merusuh dan memberantaki kamar Aldi seperti itu.

Sedih juga membayangkan hari-hari tanpa Aldi. Tanpa Aldi, rumah ini tidak akan didatangi gank rakus. Dan sudah dipastikan, studio di halaman belakang pasti kosong. Kuselesaikan tugas memasakku, lalu lanjut membuat minuman.

“Kayaknya enak minum cocktail-cocktail-an,” gumamku. Aku pun memutuskan untuk memotong leci dan anggur menjadi potongan-potongan kecil, lalu mencampurnya dengan minuman soda rasa jeruk. Sementara itu Aira sedang menggoreng kentang yang sudah dipotong-potong.

“Semangat ya, Ra!” seruku. Aira mendengus.

“Gausah ngeledek lo!”

***

"Ini kentang goreng?" tanya Aldi sambil mengacungkan kentang goreng berwarna coklat gelap itu. Aku menahan tawa, sementara Aira menunduk malu.

"Ini patut dicoba! Siapa tau ini kentang goreng spesial," celetuk Riga disusul tawa yang lain. Kulihat wajah Aira semakin merah.

"Jangan gitu, udah mending ada yang masakin buat lu-lu pada." tegur Evan sambil mencomot ikan yang ku goreng renyah tadi.

"Tau, tuh! Tampilannya doang kok yang gosong, rasanya kentang juga." ujar Riga sambil mengunyah kentang ketiga. Aira tersenyum tipis saat aku mencolek pinggangnya untuk memastikan ia mendengar kata-kata Riga.

"Lo mah apa aja diembat, Ga. Jangankan kentang gosong, anak bebek kepeleset dipanci aja lo embat!" semprot Dimas. Riga cuma nyengir.

Sementara itu Aldi menghampiri Evan dan mereka berbincang dengan wajah serius. Namun berubah menjadi ceria -yang sangat terlihat palsu- ketika Mama menghampiri mereka. Sepertinya mereka membicarakan aku ... atau Arya. Kupalingkan wajahku ke arah lain, tak mau memikirkan hal buruk di malam terakhir Aldi di Indonesia.

“Gue ke kamar mandi dulu, Ra.” Pamitku pada Aira.

“Jangan lama-lama!” serunya. Aku mengangguk lalu berlalu. Sekembalinya dari kamar mandi, mataku menatap pemandangan unik malam itu, Aira sedang mengobrol dengan Riga. Dan sepertinya seru sekali.

Aku turut senang dengan perkembangan ini. Mudah-mudahan hubungan mereka bisa terus berlanjut, karna Aira memang sangat menyukai Riga. Aku baru menghampiri Aira ketika kulihat Riga sudah kembali mengobrol dengan Irwan.

“Seneng nih ye..” godaku sambil kembali duduk disebelahnya. Aira tersenyum sambil tersipu-sipu, “ngobrolin apaan?” tanyaku.

“Hehehe ...” ia hanya memberikan cengiran. Tanganku bersiap-siap menggelitik pinggangnya.

“Guys, gue mau ngomong!” seruan Aldi membuat semua yang ada disitu menoleh kearahnya.

“Kenapa lo? Mau minjem duit buat modal di Aussie?” celetuk Irwan. Spontan saja Dimas menjitak kepalanya. Riga dan Toni tertawa, sementara Evan hanya tersenyum tipis.

“Kali ini gue lagi gak bercanda nih..” ucap Aldi dengan wajah serius. Ia pun duduk disampingku, kami semua duduk melingkar di lantai yang dilapisi karpet tebal. “Lo pada tau kan, besok pagi gue udah berangkat ke Aussie ...”

Semua terdiam dan hanya mengangguk mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulut Aldi.

“Gue mau minta tolong sama kalian. Tolong jagain adek gue. Gue titip dia ke kalian. Dia emang agak manja, ceroboh, cengeng pula ... aw!” Aldi meringis kesakitan memegangi pinggangnya yang ku cubit habis-habisan.

“Ya ... pokoknya gue titip Sella ke kalian.” Aldi memalingkan wajahnya ke Aira, “ke lo juga, Ra. Gue titip Sella, ya..” Aira mengangguk. Aku menundukkan wajah, airmataku mengalir perlahan.

“Oh, iya. Terutama elo, Van. Lo harus jagain Sella.” Aldi menyambung kalimatnya. Aku terkejut, namun menunggu jawaban apa yang akan diberikan oleh Evan.

“Pasti, Di. Lo bisa serahin Sella ke gue,” sahut Evan.

“EEEEEEEHH!???” semua yang ada disitu terkejut mendengar kalimat Evan, yang memang agak ambigu. Dia juga sepertinya menyadari itu, ia menggaruk bagian belakang kepalanya.

“Maksud gue buat dijagain ...” lanjutnya.

“Inget pacar, Pan. Gile lo, adek orang mau diembat juga,” canda Riga. Walaupun aku tahu bukan itu yang dimaksud Evan, aku tetap tersenyum sambil menghapus airmata.

“Evan pacarnya Sella, ya?” tiba-tiba Mama yang kukira sudah ke kamarnya, menghampiri dan duduk disebelahku. “Gak nyangka, anak mama yang manja punya pacar ganteng begini..” goda Mama.

“Gak gitu, Ma. Kak Evan punya pacar tau,” gerutuku pada Mama yang hanya tersenyum sambil membelai kepalaku.

“Evan sih pengen tuh tante, jadi pacarnya Sella. Tapi Sella yang gak mau,” sahut Evan bercanda. Sedikit. Walaupun sedikit, aku berharap apa yang dia katakan itu benar.

“Bukan, Ma. Evan itu temenku dari SMP. Dia paling sering numpang tidur disini soalnya, jadi aku titip-titip Sella ke dia. Dia nge-kost deket sekolah,” jelas Aldi. Mama mengangguk.

“Tante juga titip Sella ke kamu ya, Van. Sella emang manja, cengeng lagi ...”

“Udah ah, Mamaaaa.. Tadi Aldi udah ngomong gitu juga soalnya. Aku gak cengeng!” seruku kesal sambil membekap bantal sofa. Aira tertawa sebelum kupelototi.

“Udah, udah ...” Aldi menuang minuman ke gelasnya. “Bersulang buat kepergian gue ke Aussie besok!” serunya sambil mengangkat gelas. Evan, Riga dan yang lain mengikuti.

Malam itu pun benar-benar jadi malam terakhir Aldi di Jakarta.

(to be continued...)

No comments:

Post a Comment

I dare you to write comment down there.