Saturday, April 13, 2013

The Young Adult - Chapter 6

Moshi-moshi~!
Long awaited for a new chapter of this series(?), finally we moving forward! ^^
It has been a hard times, when I realize that many fans readers want to see this series continue moving forward, as an author with a tittle 'PHP', of course I have to make readers suffering waiting for this time. #digiles

Gak perlu basa-basi celoteh terlalu lama, lanjut aja yak~!
Please enjoyed~

Previous chapter: The Young Adult - Chapter 5.


>>> The Young Adult - Chapter 6 <<<
"ITU BOHONG, KAN, DI!?" aku menjerit sejadinya begitu tiba di rumah. Aldi yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi menatapku bingung.

"Kenapa, Sell?"

Kutarik nafas panjang lalu menghembusnya perlahan, "soal Arya." kulihat air muka Aldi berubah suram. "Dia bilang, dia nuntut lo karena udah bikin dia babak belur. Dia bohong, kan?"

Aldi tidak menjawab.

"Di, jawab gue! Itu bohong, kan?" pekikku agak keras. Namun ia masih bergeming. "Kenapa lo gak jawab, sih!?"

Aldi tersenyum tipis sambil menatapku dengan tatapan sendu. Jantungku bagai berhenti berdetak, "itu gak bener, kan?" suaraku tercekat. 
Aldi menggerakkan kepalanya setengah hati, mengangguk. Lututku lemas, dengan susah payah kulangkahkan kaki menuju sofa. Aldi memegang tanganku, membantuku duduk disampingnya.

"Maaf, Sell.." ia merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Tangisku meledak, Aldi memelukku makin erat. "Maaf.." ia mengusap kepalaku. Aku merasa sangat tidak berguna. Bukannya membantu meringankan bebannya, aku malah membuat Aldi terlibat masalah yang cukup serius.

"Harusnya gue yang minta maaf.." isakku pelan. Aldi kembali mengusap kepalaku dengan lembut.

"Lo gak perlu minta maaf, Sell. Tugas gue sebagai seorang kakak kan emang buat ngelindungin lo." Ujarnya tulus. "Sell," sekali lagi ia mengusap kepalaku.

"Hm?" sahutku disela isak tangis.

"Gue laper, nih." Kutinju perutnya pelan.

"Ngerusak suasana aja, sih." Gerutuku. Ia tertawa sambil melepaskan pelukannya.

"Jangan nangis, dong. Kan kita masih bisa ngelawan," Aldi tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih.

"Maksudnya?" aku mengusap pipiku yang basah dengan punggung tangan.

"Liat nanti aja.." sahutnya diiringi senyuman khasnya.

***

"Lo serius, Sell?" pekik Aira hampir menumpahkan es teh digelas yang ia pegang. Aku mengangguk lemah. Ia terlihat begitu antusias, sangat bertolak belakang denganku yang sangat khawatir dengan apa yang akan terjadi pada Aldi.

"Santai aja, Aldi punya rencana. Gue yakin," sambar Riga yang duduk disebelah Aira. Evan mengangguk menyetujui pernyataan Riga. Kami berempat memang sedang berada di kantin, kebetulan tempat duduk yang kosong hanya disebelah mereka.

"Mudah-mudahan gak ribet deh prosesnya.." gumamku gusar. Beberapa hari belakangan, Aldi selalu keluar rumah, dan baru pulang saat aku hampir tidur. Aku sendiri tidak tahu apa yang direncanakannya, mudah-mudahan Riga benar.

Waktu istirahat telah habis, dan kami berpisah. Aira memintaku untuk beristirahat saja di UKS karena wajahku terlihat pucat, aku setuju. Aira kemudian kembali ke kelas setelah 'menitipkanku' pada petugas UKS hari itu – Nadia.

"Kepalamu pusing?" tanyanya dengan suara yang enak didengar. Aku mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Ia mempersilahkan aku berbaring dikasur UKS, sementara ia keluar sebentar karena ada urusan.

Aku kembali menatap langit-langit UKS yang putih. Suasana ini, aroma ini, ku ingat terakhir kali aku kesini adalah saat aku mengingat tentang hubunganku dan Arya. Sungguh ironis, bagaimana ia yang dulu terlihat begitu tulus menyatakan perasaannya bisa berbuat sebejat itu terhadapku.

Mungkin ini semua memang salahku. Andai saja aku bisa mencintainya dengan tulus, mungkin ia tidak akan nekat melakukan hal tercela seperti itu. Ah, siapa yang tahu. Mungkin saja ia memang bersifat seperti itu, sementara sifat baiknya itu hanya topeng semata.

Otakku lelah dipakai berpikir seharian, mengingat masa lalu hanya membuat kepalaku pusing. Kuputuskan untuk mencoba tidur, karena kudengar pintu UKS terbuka yang berarti Nadia sudah kembali.

Tuing! Satu domba melewati pagar.

Tuing! Dua domba melewati pagar.

Tuing! Tiga ...

***

Hari ini Aldi melarangku keluar rumah, padahal ini hari Sabtu dan aku sudah berencana untuk pergi ke toko buku bersama Aira. Ia melarang keras kepergianku serta menyuruh Aira datang ke rumah. Tidak biasanya Aldi seperti ini, wajahnya juga terlihat begitu kelelahan. Apa yang dilakukannya beberapa hari belakangan ini?

"Di," panggilku. Ia langsung menoleh.

"Apa?" sahutnya dingin. Ini benar-benar tidak biasa, ia tidak pernah dingin terhadapku.

"Kenapa, sih? Ada apa? Kasih tau gue dong," rengekku sambil menarik lengan kemejanya. Ia hanya mendesah, mulutnya tetap terkunci.

"Nanti juga lo tau," kata-kata itu keluar lagi dari mulutnya. Hanya itu yang belakangan ini ia ucapkan, aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya. Kenapa harus nanti? Kenapa ia tidak mau memberitahuku? 

TING TONG TING TONG

Aldi langsung bangkit dari sofa dan terburu-buru membuka pintu. Mataku kembali menatap layar televisi, aku sama sekali tidak tertarik dengan tamu untuk saat ini. Paling juga itu Aira, batinku.

"Marsella," panggil suara yang sudah hampir setahun tidak kudengar. Aku menoleh mendapati Mama sedang menatap kearahku.

“Mama...” panggilku dengan suara tercekat. Mama menghampiriku, tetap dengan tidak berkata apa-apa lagi beliau memelukku. Tanpa permisi, airmataku tumpah detik itu juga. Aku merasa bersalah pada Mama, pada orangtuaku. Mereka tidak tahu masalah ini, aku yang meminta Aldi untuk tidak memberitahu mereka. Tapi sekarang, keegoisanku membuat Aldi terlibat masalah.

“Kamu gak salah, Sell..” bisik Mama lembut. Aku menangis semakin keras.

“Aku udah gak suci lagi, Ma...” isakku menjadi-jadi. Dihadapan Mama, aku merasa kembali menjadi anak kecil lagi. Kehangatan Mama membuatku merasa nyaman sampai ingin mengungkapkan seluruh isi hatinya.

“Ini bukan salah kamu, sayang..” Mama mengusap punggungku dengan lembut. “Mama minta maaf karna gak ada disini ... bikin kamu menghadapi ini sendirian. Maafin Mama, ya?” Aku menggeleng keras.

“Mama gak perlu minta maaf!” erangku masih memeluk Mama erat.

“Begitu juga kamu, sayang.. Kamu juga gak perlu minta maaf,” ujar Mama bijak. Aku mengangguk dan kembali menenggelamkan diri dalam kasih sayang Mama.

***

“Jadi sebenernya Mama pulang ke Indonesia ada urusan apa?” tanyaku lalu menyeruput teh yang dibuat Mama.

“Mama ada sedikit urusan,” terdengar sekali Mama memberikan penekanan diakhir kalimatnya.

“Maksud Mama? Urusan apa, Ma?” rengekku ingin tahu. Mama menggeleng, bersikeras tidak mau memberitahuku. Aldi yang duduk disofa seberang hanya mengatupkan kedua tangannya didepan mulut, sesekali ia melirik kearahku.

“Kasih tahu aja, Ma.. Toh sebentar lagi juga dia bakal tahu,” Aldi membuka suara. Kulihat Mama mendelik menatapnya. “Lagipula ini juga ada hubungannya sama dia,” lanjutnya. Aku menatap Mama, meminta penjelasan. Mama balas menatapku.

“Ma?” tanyaku meminta penjelasan. Akhirnya keluar juga kejelasan dari sikap Aldi yang aneh belakangan ini, juga alasan kepulangan Mama ke Indonesia. Aku membisu, tak percaya dengan semua yang telah aku lewatkan. Kutatap Aldi dengan beribu perasaan, Aldi balas menatapku lalu memberikan seulas senyuman.

***

Aira terlihat terkejut saat aku menariknya masuk kamar begitu ia datang sore ini.

“Kenapa, sih? Lo aneh banget,” tukasnya sambil merebahkan tubuhnya ke kasurku. Aku duduk disampingnya, mulutku ingin sekali menceritakan segala hal ini padanya. Ia seperti tahu apa yang sedang kurasakan, karna ia mengubah posisi tidurnya jadi menyamping menatapku. “Mau cerita apa?”

“Raaaaa ... Lo musti tau, gue hampir mati karna gak sanggup nafas waktu gue tau tentang hal ini!” ujarku menggebu-gebu.

“Kenapa, sih?” tanyanya terlihat penasaran.

“Gue pernah cerita ke elo, kan? Arya bakal ngelaporin Aldi ke polisi, karna masalah pengeroyokkan itu.”

“Iya, terus? Aldi bebas!?”

“Bentar dulu, dong!” aku merengut. “Lo kan denger sendiri dari Riga kalo Aldi punya rencana bagus,” lanjutku sambil mengambil nafas. “Ternyata Aldi bales nuntut Arya karna masalah pemerkosaan dia terhadap gue.”

“Hah!?? Terus, terus??”

“Ya.. Lo kan tau orangtua Arya itu banyak duit. Mereka nyogok hakim buat bebasin Arya.”

“WHAT!?? Mana bisa gitu!!??” Aira meninju bantal dengan kesal.

“Nyatanya mereka bisa, Ra.. Tapi Aldi gak kehabisan akal. Dia hubungin Mama, terus cerita semuanya.”

“Semuanya?”

“Iya.”

“Masalah elo sama Arya juga?”

“Ya iyalah.. Mama mutusin buat dateng ke Indonesia, ngurusin masalah ini. Terus, ya lo bisa tebak lah gimana..”

“Nyokap lo nyogok hakim juga?” tebak Aira tepat. Aku mengangguk.

“Iya. Tapi Mama gak serendah orangtua Arya. Mama minta saran hakim, hukuman apa yang pantes buat Aldi.” Jelasku. Aira melongo tak percaya.

“Seriusan?”

“Buat apaan sih gue bohong, Ra..” sahutku kesal. Ia memberikan cengiran tak berdosanya.

“Oke, oke. Lanjut,” pintanya sambil berubah posisi lagi. Kali ini dia duduk bersila sambil memeluk bantal.

“Hm ... terus Mama mutusin buat pindahin Aldi ke Aussie.”

“Aussie!? Australia??”

“Emang ada Aussie mana lagi??” tanyaku sewot. “Jadi ... Aldi bakal pindah ke Aussie.” Ujarku menuntaskan cerita. Aira mengangguk-angguk sambil berpikir, kurasa ia sedang mencoba mengerti inti dari ceritaku.

Sambil menunggu komentar darinya, aku mengambil sebuah novel dari rak buku. Novel ini berjudul ‘Humandroid’, sebuah novel fantasi tentang kehidupan dimasa mendatang dimana robot dan manusia bisa hidup berdampingan. Aku sangat suka novel ini, dimana si tokoh utama tenggelam dalam kenangan masa lalu.

“Berarti elo nanti tinggal sendirian, dong?” Aira membuka suara. Aku menoleh sekilas kearahnya lalu mengangguk. “Aldi di Aussie tinggal sendiri juga?”

“Enggak. Tinggal sama Om Harry, adek Papa gue.” Aku mendesah panjang, “orangnya strict banget. Aldi mungkin sama tersiksanya kaya gue disini sendirian nanti,” jelasku. Aira mengangguk paham.

“Lo berani tinggal sendirian, Sell?” tanyanya membuatku kembali menyadari keadaan saat ini.

“Gatau deh ...”

***

“Lo merhatiin gak sih, belakangan ini Arya gak masuk terus.” Celetuk Aira sesaat sebelum memasukkan siomay kedalam mulutnya. Aku menyeruput es teh manisku lalu mengangkat bahu.

“Gak peduli,” gumamku sambil menusukkan garpu ke potongan siomay berlumur bumbu kacang.

“Hm.. Gosipnya sih tu anak dikeluarin, Sell.”

“Gak peduli,” sahutku sekali lagi. Kali ini agak keras.

“Doooh, sewot amat.” Gerutu Aira sambil menyantap siomay favoritnya lagi.

“Buruan deh, Ra. Udah mau bel tau!” seruku sewot. Aira ini makannya lama sekali, aku sendiri sudah menghabiskan siomayku.

“Sabar dong!”

TEET.. TEET.. TEET..

“Tuhkan keburu bel!” sungutku sambil bergegas bangun. Aira melahap habis siomaynya lalu menyeruput es teh manisnya setelah hampir tersedak. Aku berjalan cepat menuju kelasku, Aira menyusul dibelakangku.

“Sell! Toilet dulu, plis..” pintanya memelas. Aku mengangguk memahami kebiasaannya buang air kecil sebelum pelajaran yang ia benci, Fisika.

“Serius lo, Arya dikeluarin dari sekolah?”

“Beneran! Gue denger sendiri dari temennya.

“Kok bisa, ya? Perasaan dia baik-baik aja.”

“Kasus kali dia.. Bisa aja keliatannya baik padahal bejad.”

Kasak-kusuk di toilet lantai 3 mau tak mau menyita indera pendengaranku. Benarkah ia dikeluarkan? Bagaimana bisa? Aira masuk ke salah satu toilet, aku menunggunya diluar. Obrolan cewek-cewek didepanku ini sungguh sangat menarik untuk didengar.

“Dia udah putus sama Sonia kan, ya?”

“Ah, udah lama tau!”

“Dia pernah nembak gue, tapi gue tolak. Gak sreg aja..”

“Lo sih pengalaman, jadi tau mana yang serius, mana yang enggak.”

Aku sedikit terusik. Pertanyaan ini mendadak muncul dibenakku. Selama ini aku tidak pernah memikirkannya. Cewek-cewek kelas sebelah itu pun pergi meninggalkan tanda tanya besar dibenakku. Apakah Arya benar-benar mencintaiku?

“Leganya ...” desah Aira setelah keluar dari toilet. Aku kembali melangkah menuju kelas, ia menatap keningku yang berkerut dengan bingung.

“Kenapa, Sell?” tanyanya sambil memiringkan kepala menatapku.

“Katanya Arya dikeluarin dari sekolah,” gumamku. Aira mendengus.

“Kan tadi gue udah ngomong gitu!” serunya sewot.

“Gue pikir lo asal ngomong,” sahutku sambil mengubah arah langkah kakiku. Aira mengikutiku dengan ragu-ragu, namun ia tidak bertanya. Aku dan Aira sampai didepan pintu ruang Bimbingan dan Konseling atau biasa disingkat BK.

“Mau ngapain lagi, Sell? Pelajaran udah mulai, lho.”

“Lo malah seneng, kan? Bolos pelajaran Fisika,” ejekku. Aira hanya tersenyum lebar. Aku mengetuk pintu ruang BK tiga kali, dua kali, lalu satu kali.

“Masuk!” perintah suara dari dalam.

(to be continued...)
>>>

Segitu dulu ya~ kira-kira mereka mau nemuin siapa, ya? Penasaran? Fufufu~ tunggu di chapter selanjutnya!

Fyi, buat ngepost ini, gue kudu minta wifi adek gue. Koneksinya lemot banget, udah gitu selalu failed publish. So, kalo ini ke-publish berarti hanya keajaiban dari Tuhan YME.

Jaa ne~! -AuthorPHP-

No comments:

Post a Comment

I dare you to write comment down there.