Monday, December 17, 2012

Journey (Part 03): Impossible is Nothing

Oooy~
Hari ini ada burung rajawali putih lewat diatas rumah gue, makanya gue lancar ngetik cerita absurd begini. Jangan galau, jangan risau. Jangan juga main pisau. Cekidot aja deh lanjutannya!



>>>

Gadis pengelana itu terbaring di kasur besar yang empuk disebuah kamar berdinding kaca yang terkunci. Lelaki dan wanita mengerubungi kamar kaca yang berada ditengah ruangan itu, mereka semua ingin melihat wajah si gadis yang tadi terlihat kumal.

"Ah, ternyata dia cantik!" puji para pria.

"Ku pikir ia laki-laki," gerutu para gadis.

Gadis berambut merah panjang mendengus kesal sambil menghentakkan kakinya.

"Lihat kalian ini! Ia bukan pajangan atau semacamnya! Pergi!" usirnya dengan suara dingin mencekam yang terkesan kejam. Kerumunan itu langsung bubar dengan tertib.

"Jangan terlalu galak, nanti tidak ada yang mau menjadi pacarmu." tegur lelaki dengan kepala dan tangan diperban, suaranya tidak jelas seperti menggumam. Si dingin mendelik kesal, dipukulnya lengan lelaki itu setengah hati. Mereka memasuki kamar kaca tersebut, si dingin mengganti kompres di kening gadis pengelana. Lalu ia mengecek suhu tubuh gadis itu dengan termometer.

"Siapa sangka, anak kumal tadi ternyata gadis yang begitu cantik seperti ini." ujar lelaki berambut merah sambil memasuki kamar kaca bersama lelaki berwajah ramah yang terkesan ceria.

"Oi, jangan macam-macam. Nanti pacarmu ngamuk," tegur si dingin sambil merapikan kembali kotak p3k-nya. Si galak tertawa, mata merahnya berbinar jenaka.

"Aku senang melihatnya mengamuk," celetuknya dilanjut ketawa geli. Si ceria duduk di samping gadis pengelana.

"Hey, kau. Cepat bangun, aku ingin tahu namamu.." ucapnya pada gadis yang tertidur itu. Tangannya menyentuh pipi gadis itu yang tirus, tatapannya sangat lembut diliputi rasa penyesalan.

"Jangan jatuh cinta padanya, ia manusia." tegur si penggumam sambil memainkan perbannya yang tak terikat sempurna. Si ceria langsung terkisap lalu menepis perkataan si penggumam.

"Aku tidak jatuh cinta, baka. Aku hanya merasa bersalah padanya," sergahnya dengan terburu-buru. Si dingin berpandangan dengan si penggumam. Mereka menangkap kesan bahwa si ceria telah jatuh cinta pada gadis pengelana itu.

"Ah, aku lupa! Aku harus mengerjakan sesuatu. Kalian juga, ayo ikut!" seru si galak sambil menarik tangan si dingin dan di penggumam. "Jaga gadis itu baik-baik ya, niichan!" ia berkata sambil berlalu bersama kedua temannya. Si ceria mendesah lega. Sekali lagi ia menatap si gadis pengelana, tangannya mengacak-acak rambutnya sendiri. Mencari kesibukan, ia membuka kotak p3k milik si dingin tadi.

"Hm?" ia melihat termometer dan membaca suhu yang tertera disana. "40 derajat?! Oi, ini bercanda kan?" ia mengecek suhu tubuh gadis itu sekali lagi dengan termometer lain, hasilnya tetap sama. Suhu tubuh gadis itu sangat panas, ia menatap gadis itu penuh penyesalan.

"Maaf ya," ujarnya lembut sambil mengusap kepala gadis itu. "Karena aku, kau jadi begini." ia merasa kesal pada dirinya sendiri, mengapa tadi ia begitu bodoh membuka portal hanya untuk menghilangkan rasa penasarannya. Kini ia sadar, tindakannya itu bisa menyebabkan kerugian bagi orang lain. Untuk hal ini, ada seorang manusia yang terjatuh masuk. Dan sekarang kondisinya masih belum sadarkan diri.

Belum sadar? Ah, gadis itu bahkan tidak pernah pingsan. Ia mendengar semua pembicaraan orang, ia pun merasakan setiap sentuhan. Hanya saja ia tidak bisa membuka mata atau menggerakkan tubuhnya. Gadis itu hanya menjerit-jerit dalam hati, kondisi ini sangat menyebalkan baginya. Bagaikan hidup didalam tubuh boneka yang tidak bisa bergerak.

***

"Bagaimana keadaannya?" tanya si galak pada si dingin yang sedang mengganti kompres. Ini sudah hari ketiga sejak gadis pengelana ini 'jatuh'. Si dingin menggeleng.

"Aku gak tahu," jawabnya singkat sambil memalingkan wajah. Si galak menatap dengan kesal.

"Oi, aku tahu kau kemarin berbicara dengan lelaki tua itu. Apa katanya tentang keadaan gadis ini?" cecar si galak. Si dingin kembali menggelengkan kepalanya. Ia duduk tak jauh dari kasur tempat gadis malang itu terbaring.

"Jangan bercanda kau!" seru si ceria sambil mendekati si dingin. Ia mencengkram bahu gadis berambut merah itu kuat-kuat, "bagaimana keadaannya!?" tanyanya setengah memaksa.

"Oi!" seru si penggumam sambil menatap si ceria dengan tatapan sinis. Ia melepaskan cengkraman si ceria pada bahu si dingin, "jangan kasar pada seorang gadis."

Si ceria mendengus kesal, ia berjalan mondar-mandir sekeliling ruangan. Sekali lihat saja semua tahu, ia sedang gelisah.

"Kau benar-benar peduli pada gadis itu, jangan bilang kau telah jatuh cinta padanya?" seru suara nyaring seorang gadis berambut kuncir dua yang baru saja memasuki kamar kaca diikuti oleh kedua anak kembar berambut kuning.

"Tak perlu ikut campur," desis si dingin sambil memandang si nyaring dengan sinis.

"Aku tak berbicara denganmu," cibir si nyaring diiringi dua tawa si kembar. Si galak mendesah malas, lalu dengan setengah memaksa membawa tiga pengacau itu keluar kamar. Si ceria duduk dengan putus asa, menatap si gadis yang masih terbaring dengan mata terpejam.

"Tidak bisakah aku menolongnya?" gumamnya sedih. Si dingin melemparkan pandangan ke arah si penggumam yang juga sedang menatapnya.

"Beritahulah padanya," kata si penggumam sambil menggenggam tangannya, menguatkan. Si dingin mengangguk.

"Beritahu padaku tentang apa?" kata si ceria, matanya berbinar seperti menemukan secercah harapan. Si dingin menunduk dalam-dalam, lalu dengan suara parau ia menjelaskannya.

"Gadis itu.. Sebenarnya tidak pingsan, ia tidak pernah pingsan sejak awal. Hanya saja," si dingin terlihat ragu melanjutkan ucapannya.

"Hanya saja apa? Cepat, jangan buat aku penasaran!" serbu si ceria. Si dingin pun melanjutkan ucapannya. Sejenak wajah si ceria terlihat kaget, lalu berikutnya amarah yang memenuhi air mukanya. Ia murka, ia sangat murka.

"Aku akan menemui lelaki tua itu," desisnya sambil keluar kamar. Ia menepis tangan si galak yang baru kembali.

"Sudah kuduga ia akan begitu," si penggumam mengelus kepala si dingin. "Jangan khawatir, semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk." ujarnya mencoba menenangkan si dingin.

"Aku akan menyusulnya," ucap si dingin cepat sambil berlari menyusul si ceria. Si galak menatap si penggumam minta penjelasan, yang ditatap hanya mengangkat bahu dengan tidak peduli.

"Ada baiknya kau menyusul mereka," gumamnya sambil lalu. Si galak berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk menyusul si dingin dan si ceria. Kini si penggumam hanya tinggal berduaan dengan gadis pengelana itu.

"Oi, aku tahu kau mendengarku sekarang ini." katanya pada gadis itu. Gadis itu tak bergeming, si penggumam tak peduli. Ia melanjutkan ucapannya, "kalau sesuatu terjadi padamu nanti, jangan salahkan siapapun."

>>Pengelana POV<<
Aku telah lelah mencoba berteriak ataupun menggerakkan tubuh, percuma saja. Aku biasa kelaparan, atau kebas kedinginan. Namun kali ini sungguh tidak mengenakkan. Ah, kalau begini rasanya ingin mati saja.

Setelah si penggumam itu berbicara padaku, tidak ada suara lagi yang terdengar. Lagipula apa maksud perkataannya tadi, aku pun tidak mengerti. Ku hitung sudah lebih dari 2 hari aku berada di tempat laknat ini, sempat aku berpikir ini adalah neraka dan aku sudah mati. Namun rasanya mustahil di neraka seramai ini, dengan penghuni yang bermacam-macam tabiatnya.

Ah-- mengenai kasus terdamparnya aku disini, aku sudah melupakannya. Entah karena setiap hari aku mendengar ucapan permintaan maafnya yang begitu tulus, atau keinginanku untuk cepat-cepat 'sadar' lebih besar dari hasrat menghukum tindakan cerobohnya.

Semakin hari aku semakin bingung, siapa yang sebenarnya baik dan siapa yang jahat. Si anggun pernah mengunjungiku dan mengajakku berbicara dengan ramah, begitu juga dengan si nyaring tadi. Sebaliknya, aku sering mendengar si dingin menggerutu dan berbicara dengan nada marah saat mengurusku. Entahlah.

Yang paling aneh adalah si wibawa. Ia sering datang melihatku, namun ia tidak pernah berbicara, aku hanya mendengar suara batuknya atau deheman pelan. Seolah-olah ia hanya menatapku berjam-jam tanpa berbicara dengan siapapun. Mengerikan.

Aku juga penasaran dengan si lelaki tua yang mereka sebut-sebut sedari tadi. Sepanjang pendengaranku, aku tidak pernah mendengar suara seorang lansia. Dugaanku, yang mereka maksud adalah si wibawa. Entahlah, bukan urusanku.

Tapi ada satu hal yang membuatku bingung. Setiap kali aku habis mandi, tubuhku lebih lemas dari biasanya. Dan sudah beberapa kali, sebelum mandi aku merasa seolah bisa menggerakkan jari-jariku. Entah sungguhan, atau cuma halusinasiku saja.

Eh, nanti dulu!

Barusan aku menggerakkan telunjukku! Sungguh! Aku bisa merasakannya, aku berhasil menggerakkan telunjukku! Heeey, kalian! Lihat cepat!
>>end of Pengelana POV<<


Si penggumam mengerjapkan matanya, ia menatap lagi tangan gadis yang sempat ia lihat bergerak tadi. Jari kurus yang panjang itu bergerak sekali lagi, si penggumam tersentak. Ia dengan tergesa keluar kamar kaca untuk menyusul teman-temannya, dan memberitahukan hal ini.


***

"Tolong beritahu saya, apa yang sebenarnya anda rencanakan?" geram si ceria pada lelaki bertubuh tinggi dihadapannya. Lelaki itu tertawa sinis.

"Bukan urusanmu, bocah!" jawabnya sambil kembali tekun pada layar komputer dihadapannya. Si ceria semakin geram, namun tatapan menusuk dari si galak disampingnya segera mengingatkannya untuk menahan diri.

"Saya tahu anda merencanakan sesuatu pada gadis itu," desis si ceria sambil menatap lurus lawan bicaranya. Lelaki itu menatap si ceria, wajah yang tampan namun terkesan misterius itu tersenyum.

"Nanti kau akan tahu," balasnya singkat. Si ceria baru akan membuka mulut lagi ketika si penggumam datang sambil berlari.

"Jarinya bergerak," katanya seperti ditujukan pada lelaki tampan itu. Si ceria menghambur keluar dari ruang itu lalu berlari menuju kamar kaca.

>>si Ceria POV<<
Gadis itu menggerakkan tangannya? Ku harap ia baik-baik saja. Lagipula apa maksud perkataan lelaki tua brengsek itu tadi, aku akan tahu? Tahu apa!?

Tadi sepertinya ia sedang mengerjakan sesuatu yang ganjil, tapi apa? Ah, sial! Kenapa tadi aku tidak bisa fokus melihat apa yang sedang ia kerjakan? Bodoh.

Ah! Itu kamarnya, biar ku percepat lariku.

Benar! Gadis itu bergerak sekarang! Yokatta ne..

Jari-jarinya bergerak kaku, apa yang terjadi jika ku pegang tangannya? Hey! Dia merespon!
>>end of si Ceria POV<<


>>Pengelana POV<<

Demi Tuhan, seseorang memegang tanganku! Siapa dia? Mengapa tidak bersuara?

"Hey, kau dengar aku?" suara itu! Tidak salah lagi, dia si ceria. Ku eratkan genggamanku pada tangannya, ia balas mengenggam.

"Syukurlah kau bisa meresponku," terdengar kelegaan luar biasa dari suaranya. Aku berusaha membuka mataku, dan menggerakkan kedua kakiku. Hey! Sepertinya tubuhku bisa menjawab keinginanku sekarang.

Dengan perlahan aku membuka mataku, sinar terang langsung menusuk mataku. Kupejamkan lagi mataku, ku kerjap-kerjapkan agar sinar yang kulihat itu tak lagi menyilaukan. Aku memalingkan wajah, mencoba melihat si ceria disebelah kananku.

Aku melihat wajahnya untuk pertama kalinya, wajah yang begitu familiar. Atau setidaknya, aku sering melihat penampilannya. Matanya yang biru begitu sendu menatapku.

"Daijoubu ka?" tanyanya dengan suara yang biasa kudengar. Melihatnya untuk pertama kali, mendengar suaranya dan akhirnya aku menyadari sesuatu. Ku rasa aku mengenalnya.
>>end of Pengelana POV<<


Gadis pengelana itu menatap si ceria dengan tatapan setengah tak percaya, bibirnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu. Wajah si ceia berubah menjadi bingung sekaligus tak percaya saat gadis itu akhirnya bisa bersuara, dan berkata.


"Kaito?"

(to be continued...)
>>>

No comments:

Post a Comment

I dare you to write comment down there.