Thursday, December 13, 2012

Journey (Part 02): Familiar Voices

Yo~!
Ini part kedua dari entah berapa part yang bakal dilanjut nanti. Ide bikin cerita ini.. Awalnya pas gue langi bengong, terus tiba-tiba ngayal. Nah, jadi deh part 1 kemaren. /dzigh/

Anyway, lanjut aja deh dibaca.

>>>
Ia mendengar suara orang bercakap-cakap. Suara-suara yang begitu familiar, namun juga asing. Mereka berbicara dengan bahasa Jepang, ia tidak terlalu paham apa yang mereka bicarakan. Rasanya ingin saat itu juga ia menyentak membuka matanya, namun rasanya sangat berat. Bagian tubuhnya yang lain pun tak bisa ia gerakkan, entah pengaruh obat atau efek jatuh yang ia alami. Jatuh? Ah, ia ingat sekarang. Ia terjatuh dari sebuah lubang dibawah gorong-gorong.

Nanti dulu!

Kalau benar begitu, berarti ia sekarang berada dibawah tanah? Tidak, tidak mungkin. Ia masih bisa bernafas, lagipula ia mendengar suara orang bercakap-cakap. Serta suara keramaian dikejauhan. Ah, sudah pasti ia sedang bermimpi. Mana mungkin ada sebuah lubang dibawah gorong-gorong? Ia tertawa walaupun tidak bisa mengeluarkan suaranya.

Ia merasakan seluruh tubuhnya kebas, ia tidak merasakan apa-apa namun tubuhnya seperti terangkat. Punggungnya terkena angin dingin, namun ia tidak bisa menggerakkan satu pun bagian tubuhnya. Bahkan matanya pun tetap terpejam.

"Siapa dia?" sebuah suara berat terdengar menggelegar menggema. Ah, berarti tempat ini luas. Mustahil ini berada di dalam tanah, begitu pikirnya. Seketika keadaan menjadi hening, telinganya hanya bisa mendengar bunyi mesin sayup-sayup. Keadaan hening itu berlangsung cukup lama, kemudian ada sebuah suara seorang gadis kecil yang menjawab.

"Sepertinya ia manusia," suara yang seperti lonceng, seperti suara gadis kecil yang belum puber. Suara nyaring namun merdu, sepertinya ia mengenali suara itu. Bukan 'sepertinya', tapi aku memang manusia! teriaknya dalam batin. Sungguh saat itu ia ingin bangun dan berteriak, namun seluruh tubuhnya masih kebas.

"Bagaimana mungkin manusia bisa berada disini?" suara berat berwibawa itu lagi yang bertanya.

"Ah, kalau itu anda bisa tanyakan pada dia. Dia yang membuka portal," celetuk sebuah suara wanita yang terdengar anggun.

"Hey, jangan langsung tunjuk begitu!" bantah suara jernih bernada tajam milik seorang wanita. Dari suaranya, sepertinya wanita itu bersifat keras.

"DIAM!" bentak suara berat berwibawa itu lagi. Suasana langsung hening seperti semula, suara mesin kembali menemani kesepiannya yang tidak bisa melakukan apa-apa kecuali mendengarkan sekitarnya.

"Kau," si berwibawa itu kembali buka suara. "Apa benar, kau yang membuka portal?"

Keheningan masih terjaga, namun terdengar bisik-bisik. Hening cukup lama, sebelum akhirnya orang yang tertuduh itu menjawab.

"Ya," jawabnya singkat dengan suara khas seorang lelaki yang bersahabat.

"Lihat, kan? Aku benar." si anggun kembali mencecar. Terdengar geraman tertahan, sepertinya milik si wanita keras tadi. Dalam diamnya, sang pengelana mendengarkan suara-suara itu dengan seksama. Ia mulai mencari tahu kejelasan keberadaannya, juga siapa pemilik suara-suara itu.

>>Pengelana POV<<
Aku menunggu mereka membuka suara. Cepatlah, hanya suara kalian yang bisa kudengar. Mungkin saja dengan mendengar percakapan kalian, aku mendapatkan kepastian dimana aku sekarang.

"Mengapa kau membuka portalnya?" si wibawa bertanya lagi, si anggun dan si keras tidak terdengar lagi suaranya. Kurasa hubungan mereka tidak baik, saingan cinta mungkin? Ah, persetan.

"Saya ingin lihat dunia luar," jawab si ceria, pelaku utama terdamparnya aku disini. Sial, kalau aku bisa bangun, sudah ku cekik bocah itu.

"Kau masih belum cukup pengalaman," si wibawa yang berkata. "Kau belum siap untuk ke dunia luar," ujar si wibawa. Apa-apaan ini? Dunia luar apanya? Memangnya ini dimana? Kepalaku mendadak pusing.

"Maaf. Kupikir aku sudah siap," si ceria terdengar menyesali perbuatannya. Memang sudah seharusnya, ia menyebabkanku menjadi mayat hidup begini. Terdengar suara-suara lain yang berbisik. Aku menebak-nebak ada berapa total orang di ruangan ini, 10? Tidak, 20? Tidak, kurasa lebih. Tempat ini ramai, namun juga sepi. Ah, entah aku tak tahu. Yang kurasakan hanya dingin yang menusuk. Oi, aku butuh selimut. Ingin rasanya berteriak seperti itu, tapi bibirku tak bergetar sedikitpun. Sial.

"Hukum saja dia!" teriak si anggun tiba-tiba. Terdengar sahutan suara-suara lain yang menyetujui ucapan si anggun.

"Oi! Kalian itu berisik seperti lalat. Diam atau kupatahkan leher kalian satu persatu," gertak suara galak yang rendah. Berani taruhan, pemiliknya pasti lelaki menyeramkan bermata merah menyala.

"Jangan lindungi kakakmu, baka! Dia itu bersalah!" jerit suara nyaring gadis lonceng tadi. "Kemari, ikut denganku!" ah, ku pikir gadis tadi, ternyata bukan. Suaranya mirip, namun ini pasti anak lelaki. Aku mulai mengenali suara-suara mereka, dan masing-masing ku namai.

Si wibawa, yang sepertinya merupakan ketua genk. Si ceria yang merupakan tertuduh kasus kali ini. Si anggun yang terlihat membenci si ceria, juga si keras yang membela si ceria. Si galak yang merupakan adik dari si ceria. Juga si gadis dan pemuda bersuara nyaring tadi.

"DIAM!" sekali lagi si wibawa membentak. Suasana langsung hening total.

"Aku lelah menghadapi kalian. Kau! Karena kau yang membuka portal, kuserahkan manusia ini padamu. Rawat dia sampai benar-benar pulih. Ya, ia kini dalam fase adaptasi dari dunia luar. Tubuhnya lumpuh total dalam beberapa jam ke depan. Kau rawat dia baik-baik, kalau ia sudah sadar sepenuhnya dan bisa bicara, bawa ia padaku." jelas si wibawa panjang lebar. Seenaknya orang tua itu, ia pikir aku seonggok mainan yang bisa dirawat siapa saja. Aku butuh dokter, pak tua sialan!

Perlahan ku dengar suara pintu besi membuka, lalu derap kaki menjauh. Ruangan itu menjadi semakin dingin dan dingin. Orang yang tadi memenuhi tempat ini telah berkurang, atau mungkin aku sendirian.

"Dirawat?" tanya si ceria entah kepada siapa. Suaranya dekat sekali, seperti pas ditelinga kiriku. Setelah gangguan suara-suara lain hilang, suaranya terdengar begitu jelas. "Dirawat dengan diapakan? Dia kan manusia, aku mana tahu." gerutunya sambil menyibak rambut yang menutupi wajahku.

"Baca buku panduan perawatan saja, siapa tahu ada kesamaannya." terdengar suara si galak di sebelah kananku.

"Atau kau minta tolong pada yang mengerti saja," terdengar sebuah suara yang bernada lebih tinggi dibanding si ceria, namun secara tipikal sama. Ia berbicara seperti menggumam, entah ia tidak niat berbicara atau ia berbicara sambil mengunyah. Mana ku tahu, dan mana ku peduli.

"Oi, dia ini kotor sekali. Bersihkan saja dulu!" perintah si galak.

"Ah, benar juga." sahut si ceria lalu kurasakan ada jemari yang menarik hoodieku. Suhu dingin menusuk langsung menyentuh kulit perutku yang kini terbuka, hoodieku terangkat sampai dada.

"O-oi," suara si ceria terdengar gugup. Seseorang terdengar tersedak, mungkin si penggumam. Sementara si galak membuka suara.

"Dia wanita, eh?" ujarnya datar. Ingin ku tinju wajah mereka saat itu juga, saat sebuah tangan mengusap perutku. Dingin. Keparat, seenaknya menyentuhku. Ku dengar si penggumam berdehem lalu hoodieku kembali menutupi tubuhku yang hampir mati beku.

"Lalu bagaimana?" tanya si ceria masih dengan nada gugup.

"Bersihkan saja dulu tubuhnya. Sini, biar aku yang membersihkan kalau kalian tidak mau." ujar si galak masih dengan nada datar.

PLAK!


Bunyi majalah dipukulkan kepada sesuatu diiringi suara mengaduh si galak membuatku sadar, seseorang memukul kepalanya dengan majalah.


"Jangan mesum, baka!" ah, rupanya si pemuda bersuara nyaring tadi. "Mau apa kau dengan wanita itu, heh!?" selanjutnya terdengar suara pukulan-pukulan diiringi tawa si galak yang menjauh. Hee, bisa tertawa juga dia.

"Lalu bagaimana cara membersihkan dia?" tanya si ceria entah pada siapa, mungkin pada si penggumam.

"Biar aku yang melakukannya," celetuk suara dingin seorang wanita yang terkesan kejam. Terdengar desah lega si ceria.

"Ah, terima kasih." ucapnya tulus.

"Ya. Tapi bantu adikmu mengangkat gadis ini ke kamar mandi, ia takkan kuat sendirian dengan badan lemah seperti itu." perintah si dingin dengan tegas. Kukira aku mendengar si penggumam mendengus dan menggerutu, tapi aku tak begitu mengerti apa yang digerutukannya. Ah, rupanya si penggumam ini juga adik dari si ceria. Kurasakan tubuhku dibopong oleh mereka, tangan yang membopong kakiku terasa lemah. Berkali-kali ia hampir menjatuhkan kakiku, kurasa ini yang dimaksud si dingin tadi.

Aku ditidurkan di tempat datar yang dingin, sepertinya meja besi. Kemudian perlahan aliran air hangat membasahi bajuku, tangan lembut membuka bajuku dengan hati-hati. Tangan si dingin ini begitu hangat terasa, ia tanpa segan membersihkan tubuhku yang sudah 3 minggu ini tidak terkena air. Kulitku kemerahan saat masuk gorong-gorong tadi, pasti sekarang sudah berubah menjadi semula.

Ia mengeramasi rambutku, semua ia lakukan dengan lembut. Mungkin si dingin ini perawat atau semacamnya, ia sangat berhati-hati memperlakukan tubuhku. Seolah tubuhku terbuat dari porselen bertahtakan berlian. Setelah mandi, badanku terasa agak segar. Namun tetap saja aku tidak bisa menggerakkan badanku, tidak satupun.

Si dingin memakaikanku baju yang cukup tebal, rasanya nyaman sekali. Mungkin karena merasa nyaman, atau karena sudah 2 minggu tidak tidur dengan teratur. Aku pun tertidur pulas.
>>end of Pengelana POV<<


(to be continued...)

>>>

Gimana? Seru? Mendebarkan? Menegangkan sesuatu? #hush.
Yah, namanya juga author PHP jadi gue sengaja bikin yang ngegantung gitu part-partnya. #digiles.
Nggak kok, sebenernya emang lagi buntu mau lanjutin gimana. Tungguin aja deh ya~!

Salam PHP.

Jaa~

No comments:

Post a Comment

I dare you to write comment down there.