Friday, October 4, 2013

Just a Day - Just a Friends (Part 1)

"Ivan!" panggil Nabila sedikit berteriak. Ivan menoleh, wajahnya terlihat kusut.

"Apa?" jawabnya malas. Nabila memiringkan kepalanya.

"Lo kenape? Suara lo serak gitu," tanyanya. Ivan menggedikkan bahu.

"Gatau, dari pagi gini." sahutnya sambil melanjutkan langkah. Tenggorokannya sejak pagi memang terasa sakit, namun ia tidak menghiraukannya saat meminum habis jus jeruk yang disiapkan diatas meja saat sarapan tadi. Nabila melihat temannya itu dengan tatapan menyelidik.

"Van," panggilnya. Ivan kembali menghentikan langkahnya lalu menatap Nabila sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Apa lagi?"

"Sms lo semalem," Nabila melihat perubahan air muka pada wajah Ivan. "Lo serius?" tanyanya setengah tak percaya.

"Iyalah! Ngapain bohong soal gituan," Ivan membuang muka.

"Percuma lo sembunyiin, gue liat kok muka lo merah!" seru Nabila sambil tertawa kecil.

"Diem deh.." Ivan menyahut malas.

"Kok bisa?" tanya Nabila yang masih penasaran. Ivan mengangkat bahu.

"Gatau deh. Gue cuma ngerasa gitu aja.." sahutnya sambil menendang kerikil yang menghalangi jalannya. Nabila mengangguk paham. Ia memutuskan untuk tidak bertanya lagi sebelum Ivan yang bercerita lebih dulu.

***

"Ciyeeee!! Datengnya barengan lagi nih yee~!!" koor anak-anak kelas 9C begitu Ivan dan Nabila memasuki kelas.

"Pengantin baru, lain deh yaa.." seru Rania diiringi cekikikan kuntilanak teman-temannya. Ivan mendengus lalu bergegas ke mejanya sementara Nabila hanya memamerkan cengiran kinclongnya pada seisi kelas.

"Makasih, makasih!" sahut Nabila sambil nyengir lebar. Ivan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Itu anak bukannya nepis gosip, malah nambah-nambahin. Ivan memperhatikan tingkah sahabatnya itu, sejak dulu Nabila tidak pernah berubah. Selalu menjadi diri sendiri, percaya akan kemampuannya. Gadis itu juga mudah berteman dengan siapa saja, tidak seperti dirinya yang susah punya teman.

SYALALA SYUBIDAMBIDAM~

Bel sekolah berbunyi, membubarkan kerumunan didepan pintu kelas-kelas di SMP Weaef. Nabila kembali ke mejanya, disebelah Ivan. Anak-anak sekelas kembali berbisik-bisik menebak hubungan Ivan dengan Nabila. Sementara itu Nabila memamerkan deretan giginya -yang putih kinclong bagai piring melamin yang baru dicuci- pada Ivan yang menatapnya malas.

"Lo demen banget nambahin gosip," gerutunya.

"Heheheh...biarin aja. Yang tau aslinya kan cuma kita berdua," sahutnya santai. Ivan geleng-geleng kepala.

"Selamat pagi!" seruan riang Bu Mei membangkitkan semangat di pagi itu.

"Pagi, Bu!" koor murid kelas 9C dengan penuh semangat. Bu Mei tersenyum lalu mengabsen kelas. Ivan memandang lurus ke arah Bu Mei, menunggu namanya dipanggil. Nabila melirik teman sebangkunya itu sambil mengingat isi sms semalam.

Nab, kayaknya gue suka Bu Meivita. -Ivan-

Nabila menopang dagu, menatap langit-langit kelasnya yang sudah lapuk. Kalo rubuh seru, tuh! Ia membatin dan tanpa sadar melupakan apa yang sejak semalam ada dibenaknya. Sementara Ivan masih memperhatikan guru kesenian yang sedang mengabsen itu.

Matanya yang membaca daftar absen, bibirnya yang menyuarakan apa yang ia baca, jemarinya yang menorehkan setiap tanda pada murid yang hadir. Semua gerakan sampai yang paling kecil pun terekam lekat dalam ingatan Ivan. Kok gue bisa suka sama dia, ya?

"Ivan Pandita!" ia mendengar suara itu memanggil namanya. Ah, anjir. Sampe kebayang dia manggil nama gue.. Ivan masih tenggelam dalam renungannya.

"Ivan?" suara itu kembali memanggilnya. Ia semakin tenggelam dalam khayalannya.

"IVAN!" panggil Bu Mei sedikit keras. Ivan tersentak kaget, kesadaran akan sekelilingnya baru muncul saat ia mendengar suara Bu Mei memanggilnya dengan setengah membentak.

"Eh? I-Ibu manggil saya?" ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bu Mei mendengus kesal.

"Lain kali perhatikan kalau sedang diabsen!" gerutu guru magang itu sambil lanjut mengabsen. Aku selalu merhatiin Ibu kok, Bu.. Ivan menjawab dalam hati. Nabila menyenggol lengannya.

"Heh! Elu ngelamun jorok ya barusan?" tanyanya sambil berbisik.Secepat kilat, jitakan Ivan mampir di kepalanya. Nabila meringis sambil mengusap-usap kepalanya.

***

Ia kembali duduk di mejanya. Menyesap teh hijau yang sudah mulai dingin. Tumben sekali anak itu memperhatikan pelajaran, pikirnya.

"Bu Mei!" panggil seorang anak berambut sebahu.

"Ya? Ada apa, Naomi?" Naomi menghampiri mejanya di ruang guru itu.

"Anu.. Saya mau tanya tentang lirik lagunya. Itu harus ada nadanya, Bu?" tanyanya. Mei memang memberikan tugas pada kelas 9C tadi, untuk membuat lirik lagu.

"Berupa sajak juga nggak apa-apa, asal nanti bisa dinyanyikan dengan nada apapun." jawab Mei sambil tersenyum. Naomi mengangguk lalu pergi setelah mengucapkan terima kasih.

"Lirik lagu?" gumam seseorang yang duduk disebelahnya. "Apa gak terlalu susah buat anak kelas 9, Bu?"

"Engga. Anak kelas 9 itu sudah bisa merangkai kata, kan? Jadi tidak susah," jelas Mei.

"Oh, begitu.."

"Mau tanya apa lagi, Raf?" tembak Mei sambil melirik Raffa disebelahnya. Raffa tersenyum lebar.

"Seneng aja liat kamu ngomong berwibawa gitu, hihihi.." Mei mendengus kesal. Ia dan Raffa memang teman nongkrong di kampus. "Eh iya, Mei.."

"Hm?"

"Nanti malem temenin aku, ya!"

"Kemana?"

"Ngeceng!" sahut Raffa asal. Mei mengernyitkan dahinya.

"Hah?"

***

Malam itu Ivan sendirian di rumahnya. Orangtuanya terlalu sibuk bekerja, sampai tidak mempedulikan anaknya. Ia sudah terbiasa, diabaikan seperti ini. Ia bahkan berkeinginan untuk hidup sendiri saat SMA nanti. Ia memainkan handphone ditangannya, teringat tugas yang diberikan Bu Mei tadi di sekolah.

"Lirik lagu? Kayak gimana sih itu?" gumamnya sambil mendial nomer Nabila. Nada sambung baru terdengar dua kali saat Nabila mengangkat teleponnya.

"Halo, Nabilah JKT48 (baca:jiketifortieigh) disini. Siapa disana?"

"Nab....." Ivan menghela nafas panjang sambil menepuk jidat.

"Siapa disana?" Nabila mengulang pertanyaannya. Ivan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Lo kan tau ini gu---"

"Apa? Tawaran manggung? Maaf, jadwalku padat. Tahun depan aja ya!"

"Nab, gue serius nih.." sahut Ivan datar.

"Hehehehe ... Kenapa, Van?"

"Gue mau nanya tentang tugas dari Bu Mei tadi nih! Lo ngerti gak sih maksudnya?"

"Tugas bikin lirik lagu?"

"He'eh.. Gimana sih itu? Sama kayak bikin sajak?"

"Beda, o'on! Lirik lagu kan biasanya ngejleb, kalo sajak kan belibet bahasanya. Beda tuh!"

"Ngejleb...belibet.... Lo barusan ngomong bahasa manusia?" dengus Ivan mendengar kosakata aneh keluar dari mulut Nabila lagi.

"Itu bahasa orang, oden! Gini nih maksud gue, kalo lirik lagu itu kan biasanya bahasanya santai gak terlalu banyak kiasan, banyak sih, ya tapi palingan kiasan yang santai gitu. Gak ada yang ribet-ribet kayak sajak yang sampe sekarang gue kagak ngerti ... woi! Lo dengerin gak, sih?"

"Denger.." sahut Ivan singkat, siap mendengarkan monolog Nabila.

"Nah! Iya, jadi kalo lirik lagu itu bahasanya santai, tapi punya arti. Dan yang paling penting, lo kudu siapin nada buat lirik lagunya!"

"Hah? Kan gak disuruh..."

"Bisa aja Bu Mei mau ngetes otak refleks muridnya dalam bermusik! Pokoknya siap-siap aja deh, percaya aja sama gue!"

"Hn.. Iya deh percaya, percaya.. Yaudah jadi intinya lirik lagu itu sajak yang santai?"

".... lo ungkapin perasaan lo aja deh, tulis dalem bentuk lirik lagu."

"Maksudnya?"

"Lo kan lagi polinlop nih sama Bu Mei ... mending lo bikin lirik lagu sekalian kode-kode aja ke dia. Siapa tau dia nangkep kode lo, lumayan kan?"

"Kode....nangkep..... Kita gak lagi ngomongin pramuka kan?"

"Ih, oden! Kayak nulis surat cinta gitu. Tapi bahasanya kayak lagu-lagu gitu. Lo gak pernah dengerin lagu, ya?"

"Pernah.."

"Nah, yaudah! Gitu aja."

"Lo sendiri bikinnya tentang apa, Nab?"

"Gue? Paling translate opening song anime aja. Bu Mei gak bakal tau, kan? Hehehe ..."

"Oh.. Oke. Thanks, Nab."

"Yoo.." telepon diputus Nabila.

"Surat cinta?" Ivan menghempaskan badannya ke kasur. Ia kembali teringat tatapan Bu Mei saat beranjak keluar kelasnya. Walaupun hanya sekilas, ia yakin Bu Mei melihat kearahnya. Apa iya, gue bikin lagu cinta aja?

Selagi ia berpikir, handphonenya berbunyi. Agak malas ia mengangkat telepon.

"Ya?"

"Bro, apa kabar bro?"

"Siapa ini?"

"Parah ente gak inget gue! Nuka nih, Nuka!"

"Oh.. Elu, Nuk. Kenapa?"

"Futsal yuk! Kurang satu orang nih, gak asik banget kalo batal."

"Males ah," tolak Ivan cepat. Ia memang sedang tidak ingin kemana-mana malam ini.

"Ayolah! Gak ikut patungan juga gapapa deh!"

"Bukan gitu. Gue males aja, rumah lagi kosong juga."

"Nah justru lagi kosong kan, tinggalin aja. Biar bokap nyokap ente bingung pas pulang!"

"Kampret," tukasnya disusul tawa pelan. Dia dan Nuka memang sudah kenal sejak ia baru masuk SMP, saat itu Nuka adalah seniornya.

"Mau gak?"

"Hng..." ia berpikir sejenak kemudian sebuah ide muncul dibenaknya. "Oke."

"Yes! Gue bilang ke anak-anak dulu!"

"Woy! Bentar dulu! Ada syaratnya tapi, Nuk."

"Ah ilah, syarat apaan?"

"Bantuin gue bikin tugas kesenian, ya?" seketika Ivan harus menjauhkan telinganya dari handphone.

"Apaan?? Ahahahah... Tampang gue ada tampang seni? Gue gak bisa gambar woy! Ahahaha.."

"Bukan gambar, bikin lirik lagu kok. Bisa kan? Elu kan jago ngerayu cewek, masa lirik lagu aja gak bisa."

"Nyindir nih? Hahaha.. Iya deh, anggep aja kompensasi. Tapi ntar kudu menang ye! Gue tarohan sama Harjono soalnya, males banget kalo duit gue melayang ke kantongnya."

"Bisa diatur.." sahutnya optimis. "Tempat biasa, kan? 15 menit." ia menutup teleponnya lalu bergegas mandi.

***

"Langsung balik, Pan?" tanya Nuka yang sedang membuka sepatunya. Ivan mengangguk.

"Udah jam segini, gak enak diliat tetangga kalo pulang tengah malem."

"Santai atuh, Pan. Ente kan cowok, wajar pulang malem." sambar Izul. Nuka mencibir dari belakangnya. Ivan tersenyum tipis.

"Yaudah gue balik duluan ya!" Ivan pun meninggalkan kawanan kerumunan mantan seniornya dulu. Ia melangkahkan kaki ke cafe karna perutnya keroncongan. Matanya yang sibuk melihat menu, tiba-tiba terpaku pada satu sosok yang ia kenal betul.

***

"Udah lama nunggu. Mei?" tanya Daffa sambil tersenyum semanis mungkin. Mei menggedikkan bahu.

"Menurut kamu?" tanyanya cuek.

"Hehehe.. Sori, sori.. Suka khilaf waktu kalo udah ngefutsal."

"Yaudah yuk ah, pulang." gerutu Mei. Sebenarnya ia kesini bersama Raffa tadi, lalu tiba-tiba Raffa pamit pulang dengan alasan terabsurd yang pernah Mei dengar. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi.

"Iya deeh.." Daffa tersenyum simpul sambil mengulurkan tangan kearah Mei.

"Ngapain!?" tanya Mei sewot. Tanpa berkata-kata, Daffa menggenggam tangan Mei mengajaknya keluar cafe. Ditarik seperti itu mau tak mau Mei mengikuti langkah Daffa dengan setengah hati. Sementara itu kilat mata penuh amarah mengiringi kepergian mereka.

(to be continued...)

3 comments:

  1. *giggle* *laugh* *giggle* *scream* #slapped
    (baca: ditunggu lanjutannya #gundulmu #dikiragampangnuliscerita)

    btw, pertamax!! #udahwoy

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmm... minta dimasukin ke cerpen banget ini pak heri (--,)

      ditunggu yaaa~ setengah tahun lagi! #tertendang

      Delete

I dare you to write comment down there.