Sunday, January 6, 2013

That Vampire, Her Past.

Malam itu aku kembali merasakan haus, ku ingat kembali kapan terakhir kali aku berburu. Ah, lebih dari sebulan yang lalu. Tak heran kerongkonganku terasa kering.

"Faaan!" ku dengar teriakan Anggi, kakakku. Berdasarkan getaran suaranya yang menyentuh gendang telingaku, ia berada 200 meter disebelah barat dari tempatku berdiri.

"Ah, merepotkan," keluhku. Namun kakiku tetap melangkah menuju ke arahnya. Ku lihat Anggi sedang menyantap makan malamnya. Seorang pemuda bertubuh tinggi, sepertinya baru berusia 19 tahun.

Tubuh pemuda itu memucat, seiring dengan rona wajah Anggi yang kian bersinar. Taring mungil namun kuat milik Anggi telah berhasil mengantarkan pemuda tak dikenal itu menuju kematian. Anggi tersenyum puas dengan bibir masih basah oleh darah segar. Pemuda malang itu telah 'kosong', tak ada lagi darah tersisa ditubuhnya.
"Kau tak mau berburu, Fan?" tanya Anggi begitu melihatku. Matanya seperti menyusup mencari keliaran yang terkurung di dalam mataku. "Kau sudah tak pernah ikut berburu, apa kau yakin bisa bertahan hidup?" desaknya.

Aku tersenyum, "bagaimanapun juga aku tetap menolak berburu manusia lagi." tegasku. Ku lihat Anggi hanya tersenyum mengejek.

Namun, harus ku akui. Staminaku menurun drastis sejak aku berhenti meminum darah manusia. Ya, kami bangsa vampir terkutuk ribuan tahun dengan 'hidup' hanya dengan minum darah manusia. Entah hukum macam apa yang berlaku bagi kami di akhir zaman nanti.

"Anggi! Fani!" terdengar seruan bernada riang dari arah utara, aku dan Anggi bertatapan. Tak lama sesosok vampir kecil muncul, mengenakan gaun berwarna biru cerah, Annisa berlari kecil menghampiri kami.

"Eh? Siapa pemuda itu?" tanya Annisa sambil menunjuk seonggok tubuh pucat di dekat kaki Anggi.

"Makan malamku," jawab Anggi santai. Aku bergidik mendengar nada sinis yang terucap olehnya. Entah sejak kapan, aku mulai membenci kenyataan bahwa aku juga salah satu dari mereka.

"Ah.. Sungguh malang, padahal wajahnya lumayan tampan." gumam Annisa. Lalu ia mengambil sebuah buku kecil bersampul beludru dari tasnya. "Kau tau identitasnya?" tanya Annisa sambil membuka buku halaman demi halaman. Anggi menggeleng.

"Coba cek kantong celananya, siapa tahu ada tanda pengenal atau semacamnya," kata Annisa ditujukan pada Anggi. Anggi mendesis, ia pun merogoh kantong celana pemuda itu. Ia menemukan sebuah dompet, diperiksanya dompet itu dengan seksama.

Aku berjongkok didekatnya untuk ikut melihat, ada sebuah foto terpajang disana.

"Ah, rupanya benar kata Annisa. Pemuda ini cukup tampan, gadis disebelahnya juga cantik." ucap Anggi sambil melihat foto. Tanganku menarik sebuah kartu dari selipan, mataku membaca tulisan yang tertera disana.

"Weaef University. Sophomore student. Khairul Ridwan." bacaku dengan jelas. Ku lihat tangan Annisa dengan sigap menulis apa yang kubaca di buku kecilnya.

SRIII~~~ING!

Gelombang suara ultrasonik tingkat tinggi mengagetkan kami. Tanda ancaman. Dengan tergesa, aku dan Anggi berlari cepat menuju asrama. Annisa bertransfigurasi menjadi kelelawar, lalu hilang dibalik rimbunnya pepohonan. Anggi telah melewati gerbang asrama, bersamaan dengan belasan anak lain. Sementara aku yang sedang dalam kondisi tidak fit, tertinggal di belakang.

"Fani! Cepat!!" jerit Salsa, teman sekamarku. Aku melemparkan senyum menenangkannya, namun sial kakiku terantuk batu.

BRAAAKKK!!

Aku jatuh seketika, derap langkah kaki dan teriakan marah terdengar makin mendekat. Manusia. Tidak, gerombolan manusia yang marah. Pemburu vampir.

Mungkin karena asupan darah yang kurang, atau karena aku memang terlalu ceroboh. Kakiku terkilir menyebabkan susahnya tubuhku untuk bangun dan berlari ke dalam gerbang asrama.

Derap kaki itu makin mendekat, 20, tidak. Lebih dari 30 penduduk sekitar serta 10 pemburu vampir. Jeritan teman-temanku dari dalam gerbang menyadarkanku, aku mencoba melawan rasa sakit dari kaki yang terkilir. Tiba-tiba...

KRAKKK!

Tulang kakiku remuk karena tekanan tubuhku sendiri.

"Sial," rutukku. Ku seret kaki kiriku tergesa-gesa, derap kaki itu semakin dekat. Anggi, Salsa, dan teman-teman yang lain sudah dipaksa masuk kamar oleh penjaga. Tidak ada yang berani keluar lagi setelah masuk gerbang, apalagi saat ada ancaman.

Sesaat aku berpikir ini cara yang konyol untukku menuju kemusnahan. Namun kakiku tidak bisa diajak kompromi lagi, tubuhku kembali ambruk karena kelelahan. Mataku terkejap melihat sinar keunguan ditengah rimbunnya pepohonan.

Saat aku memejamkan mata dan bersiap menerima hari musnahnya diriku, tubuhku dibopong dan diangkut dengan cepat ke dalam gerbang. Kekuatan ini, kecepatan ini. Ya, tidak salah lagi.

"Tutup gerbangnya!" perintah sebuah suara dengan nada tegas. Gerbang asrama perlahan tertutup, lalu tertutup sepenuhnya tepat saat cahaya keunguan itu menyeruak dari dalam hutan.

"Hei. Kau oke?" tanya sang penyelamatku sambil berjongkok di dekatku.

"Hng. Yeah, kurasa begitu," sahutku sekenanya. Ia tertawa renyah, lalu mengusap kepalaku.

"Sudah kubilang, kau pasti gagal kalau tidak berburu. Makanan manusia tidak cocok untukmu." ketusnya.

"Hng," aku mengangguk malas. Kubenarkan letak tulang yang remuk, kurasakan kepingan kecil tulang itu mulai menyatu kembali.

"Harusnya kau berterimakasih pada Rizky!" seru Salsa dari belakangku. "Ia sudah berlari menyelamatkanmu, kalau tidak mungkin sekarang kau sudah jadi abu." umpat Salsa.

"Ahaha.. Tidak apa-apa. Kau, masuk sana." perintah Rizky pada Salsa yang langsung menurut. Lalu ia menatapku, "mau ku berikan tumpangan ke kamarmu?" tanyanya sambil berpose ala pangeran menggendong putri.

"Tidak perlu," sahutku seraya bangun dan berjalan cepat menuju kamarku, dengan tulang kaki yang telah utuh kembali.

Beberapa pasang mata menatapku tajam. Aku mengacuhkannya dan terus jalan menuju kamarku di lantai 3. Ku buka pintu kamar, tiga pasang mata menatap ke arahku.

"Apa kubilang! Harusnya kau berburu, jangan cuma makan butiran putih menjijikkan itu!" tukas Salsa.

"Namanya nasi, Sal.. Butiran itu kesannya kaya grenjel-grenjel gituan auamat," koreksi gadis berkacamata yang sedang asik menatap gambar seorang shota berambut kuning.

"Iya deh pokoknya itu!" seru Salsa sambil menghempaskan tubuh di kasur.

"Tch. Jangan bergerak-gerak mulu kenapa, sih!?" omel Naomi dari kasur tingkat atas tempat Salsa berbaring.

"Ya, ya.." sahut Salsa malas. Aku tersenyum tipis, melihat kehangatan teman-teman sekamarnya beda dengan tatapan menusuk orang-orang di luar tadi.

"Maaf. Aku memang merepotkan," ucapku pelan lalu menghela nafas panjang. Ku buka sweater hitamku, lalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Kita gak repot, sih. Cuma yang lain jadi mandang kita aneh juga sejak kamu mutusin buat berhenti minum darah," ucap Naomi panjang lebar.

"Uh-huh," angguk Nabila membenarkan. "Ivan berkali-kali nanya ke aku, kenapa kamu milih buat berhenti minum darah."

"Heheh.. Terus kamu jawab apa, Nab?" sahutku dari dalam kamar mandi.

"A-apa ya? Entah, aku gak gitu fokus," jawab Nabila. Suaranya bergetar, pasti wajahnya memerah.

Salsa tertawa mengejek, "iyalah, ditanyain gebetan tentang temennya. Jealous ya, Nab?"

"Apa sih, Sal? Gak usah ikut campur urusan orang," gerutu Naomi sambil asik menggambar.

"Heh! Perasaan aku gak ngomong sama kamu. Kenapa sih, nyamber mulu?" sembur Salsa sewot.

"Udah, udah.." ucapku sembari keluar dari kamar mandi, "kalian ribut mulu. Malu sama kamar sebelah."

Salsa mendengus, "kamar sebelah isinya kamseupay semua. Mana bisa berisik, mending kita dong. Udah kece, keren-"

"Iyadah auamat, Sal." potong Nabila. Aku terkekeh mendengar candaan mereka.

"Seneng deh sekamar sama kalian," gumamku. Wajahku merona sesaat, "tapi aku tetap sama pendirianku. Aku gak mau minum darah manusia lagi." tuntasku.

KRIIIIIING~!

Lonceng waktu tidur telah berbunyi. Kami itu tergopoh-gopoh masuk ke dalam selimut masing-masing.

"Good night, girls.." bisik Nabila.

"Good night.." balasku.

Aku memejamkan mata, memikirkan kejadian hari ini yang hampir memusnahkan diriku.


Hng.. Haruskah aku menyerah pada tekadku untuk berhenti memangsa manusia? Batinku.

Tak lama kemudian, aku tertidur.


"Kyaah~ Jean Sensei!" jerit gerombolan murid perempuan tahun pertama di Weaef High. Telingaku mendadak tuli, mendengar mereka menjerit serempak seperti itu.

"Merepotkan.." gumamku pelan. Namaku Fani, aku murid tahun kedua Weaef High. Aku punya sebuah rahasia, yang pasti tidak ada yang tahu rahasiaku. Atau begitu yang ku kira.

SYUDUDUDUDU~

Bel sekolah berbunyi, murid-murid berebutan masuk kelas. Aku sudah duduk dengan tenang di kursiku. Sesaat kemudian, suasana ramai serentak hening. Ya, begitulah aturan sekolah ini. Begitu masuk kelas, kalian dilarang berbicara kecuali bertanya atau ditanya oleh guru.

Hal itu sedikit menguntungkan bagiku, bisa menjadi kamuflase dari rahasiaku.

"Good morning, class!" seru Jean Sensei. Ia adalah guru biologi, banyak murid yang jatuh hati pada sikap dingin dan cueknya. Hanya satu yang tak mereka tahu, sensei juga mempunyai rahasia yang sama denganku.

"Good morning, Sensei!" sahut seisi kelas serempak. Sensei meletakkan buku absen dihadapannya lalu mulai mengabsen.

Aku memandang keluar jendela, matahari terhalang oleh pohon yang tinggi menjulang. Entah mengapa sekolah ini seperti di desain khusus untuk aku dan rahasiaku. Mungkin, bukan cuma aku dan Sensei yang memiliki rahasia yang sama. Entahlah..

"Fani." absen Sensei. Aku hanya mengangkat tangan kananku. Absen terus berlanjut.

Aku kembali mengingat penyebabku 'terdampar' di sekolah ini. Yura-san, kepala asramaku di sekolah lama, yang memaksaku untuk mengikuti sekolah 'normal'. Sebenarnya ini hukuman, karena aku dan ketiga teman sekamarku membuat keributan di tengah malam saat merayakan ulang tahunku.

Kami diberikan hukuman bermacam-macam. Salsa, disuruh berkelana selama sebulan penuh. Naomi, disuruh membersihkan asrama selama sebulan penuh. Nabila, disuruh membantu juru masak asrama selama sebulan penuh. Dan aku, diasingkan di sekolah manusia selama sebulan penuh.

Menurutku, hukumanku yang paling berat. Dengan rahasiaku, hidup bersanding dengan manusia adalah hal terberat. Setiap hari aku harus menahan diri untuk tidak langsung menerkam teman sekelasku dan berseru, "itadakima~su!".

Baru beberapa jam yang lalu, aku menyantap seorang pemabuk yang berkeliaran di sekitar sekolah. Namun sekarang, rasa haus itu semakin menjadi.

"Hari ini kita akan membedah hewan. Mari kita ke laboratorium. Jangan lupa pakai jas kalian!" seru Sensei menyadarkanku dari lamunan.

Dengan malas aku bangkit dari tempat dudukku dan mengambil jas yang tersampir di belakang kelas, lalu mengenakannya. Kelasku berjalan rapi di koridor menuju lab. Begitu masuk lab, perutku seperti diaduk. Mual.

Toples kaca berisi marmut yang telah dikuliti dan diawetkan terletak di meja depan pintu. Jujur, aku tidak terbiasa melihat hewan mati.

"S-sensei," panggilku pelan.

"Ya?" sahut Sensei seraya mendekatiku, "ada apa, Fani?" tanyanya. Aku memberitahu keadaanku, lalu Sensei memberikan keringanan untuk tidak mengikuti pelajaran kali itu.

"Arigatou, Sensei," ucapku lalu berjalan keluar lab. Aku memutuskan untuk berbaring di UKS saja.

*clatter*

Terdengar suara dari dalam UKS, aku pun membuka pintu UKS tanpa bersuara. Dari 4 kasur, hanya satu kasur yang ditutupi tirai. Tidak ada dokter atau perawat yang menjaga. UKS ini kosong.

*clatter*

Kembali terdengar suara, berasal dari arah kasur yang tertutup tirai. Apa itu? Pikirku bingung. Ku putuskan untuk menyibak tirai tersebut.

SRAAKKK!

Tirai tersibak, apa yang ku lihat selanjutnya sangat mengejutkan. Seorang murid laki-laki sedang terbaring kesakitan. Wajahnya pucat, seperti tidak ada darah mengalir di tubuhnya. Dan yang lebih mengejutkan, di lehernya ada luka bekas gigitan.

Kudengar langkah kaki menuju UKS, kututup kembali tirai tersebut. Kali ini aku berada di dalamnya, ku bersihkan luka di lehernya dengan sapu tangan. Gigitan vampir? Tapi..siapa?

Wajahnya mulai menghangat, sepertinya vampir yang menyantapnya tidak begitu kehausan. Aku meneguk ludah, sepertinya dia cukup enak.

"Tertarik, eh?" tegur sebuah suara. Aku terkejut melihat sebuah wajah cantik dibalik jendela. Gadis itu menyeringai, memperlihatkan deretan giginya yang putih, serta dua taring manis yang terlihat sangat tajam.

"Kau..?"

"Santap saja dia, toh tidak ada yang menangisi jika dia mati." lanjutnya dengan suara sinis.

"Mungkin kau benar. Tapi tidak, terima kasih. Aku tidak suka bekas orang." sahutku cepat. Gadis itu mengulurkan tangannya.

"Namaku Nissa. Ku pikir tidak ada yang memanfaatkan sekolah sebagai tempat berburu, ternyata ada juga." sindirnya diiringi tawa kecil.

"Aku tidak berburu disini, jangan samakan aku denganmu." balasku. Ia hanya tersenyum menyebalkan.

"Baiklah, asal kau tidak ganggu aku saat berburu," ucapnya sambil menjauh. Aku mengernyitkan dahi. Siapa juga yang mau mengganggu dia? Besar kepala. Umpatku dalam hati.

"Ng..." erangan pelan terdengar dari arah anak lelaki tadi, "Nissa..?" panggilnya lembut.

Hah!? Dia kenal perempuan tadi?

Aku memperhatikannya, kubaca nama yang tertera di badgenya. Ridwan.

Tangannya bergerak menggapai, "Nissa?" panggilnya sekali lagi. Kali ini suaranya melemah.

"Nissa tidak ada," sahutku pelan. Tiba-tiba matanya terbelalak, ia tersentak bangun.

"Kemana Nissa?" tanyanya sambil menatapku curiga. Aku mengangkat bahu.

"Mana ku tahu," jawabku seraya mengantongi kembali saputanganku. Ia masih menatapku penuh curiga, lalu seperti tersadar, ia menyentuh bekas gigitan di lehernya.

Dahinya mengernyit, wajahnya kelihatan bingung. Sesaat kemudian ia tersenyum, senyum yang menunjukkan kelegaan.

"Syukurlah," gumamnya lirih. Kali ini aku yang menatapnya curiga.

"Kau siapa?" tanyaku tanpa basa-basi. Ia mengangkat sebelah alisnya.

"Ridwan, kelas tiga," jawabnya seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman. Aku menjabat tangannya sekilas.

"Kau temannya Nissa?" ia bertanya penuh antusias. Baru kuperhatikan, matanya berkilat jenaka. Sepertinya ia gampang dibodohi.

Aku menggeleng, "bukan." sahutku singkat. Dengan gerakan cepat, ia memegang tanganku. Lalu menarikku mendekat.

"Kau lihat apa yang Nissa lakukan padaku?" ia kembali bertanya, kali ini dengan suara dingin menusuk. Aku melepaskan tangannya, apa-apaan orang ini?

"Kau gila atau apa, hah!?" sentakku. "Buat apa juga aku mengintip pasangan mesum!?" tukasku cepat. Kemudian ia tergelak. Tawanya membahana, ia memegangi perutnya yang sakit karena tertawa begitu keras.

Kurasa orang ini benar-benar tidak waras..

"Ahahaha..Cukup..cukup," gumamnya pada diri sendiri. Aku bergedik, lalu segera ku tinggalkan 'kudapan' itu. Tadinya aku berniat menghabisinya, ternyata dia aneh. Aku tidak mau mengambil resiko ketularan aneh. Batinku.

Aku berjalan menyusuri lorong sekolah yang kosong, satu-dua kali aku melewati guru dan harus memberikan alasan yang sama kenapa aku tidak ikut pelajaran. Ku lihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku, masih ada 2 jam sebelum waktu isturahat.

Sial. Sejak melihat 'kudapan' tadi, aku jadi haus dan lapar.

Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan untuk mencari kudapan siang itu. Ku langkahkan kaki menuju kebun belakang sekolah, menunggu tidak ada yang melihat. Lalu ku panjat pohon besar yang dahannya kokoh, ku titi dahan demi dahan, sampai menemukan dahan yang mengarah ke luar tembok sekolah.

"Yup," ucapku saat melihat dahan yang ku maksud. Aku melompat turun dari dahan itu.

JLEGGG.

Kakiku menapak aspal dengan sempurna. Aku menyeringai puas, rekorku kabur dari sekolah memang tidak ada yang menandingi.

JLEGGG.

Dentuman sepatu dengan aspal terdengar di belakangku, aku menoleh cepat.

"Berniat kabur, nona?" tegurnya. Aku menghiraukannya, ku langkahkan kakiku cepat-cepat menuju hutan dibelakang sekolah. Ia mengikutiku, sambil bersiul dengan wajah menyebalkan.

Aku menghentikan langkahku, "mau apa kau mengikutiku?" tanyaku sambil melipat tangan di dada. Ia terkekeh.

"Aku ingin tahu kemana siswi berprestasi sepertimu membolos," jawabnya santai lalu kembali bersiul. Ia mengimbangi langkah kakiku, itu sangat menyebalkan.

Lalu muncul niat untuk menyantapnya, aku tersenyum licik. Itadakima~su! Aku menjatuhkan diri, memucatkan wajah dan memperlambat nafas.

"Hey!" ia dengan sigap menangkap tubuhku, "hey, kau kenapa?" dari suaranya, sepertinya dia panik. Aku tersenyum geli dalam hati. Ku panaskan suhu tubuhku, sehingga keringat keluar melalui pori-pori kulit. Nafasku megap-megap, tangannya yang menahan tubuhku kini gemetar.

"Sial," gumamnya. Lalu ku rasakan tubuhku dibopong menuju tempat teduh, disandarkan di pohon. Kemudian ia berlari menjauh.

"Wha-?" dengusku kesal. "Kok malah kabur!?"

Aku menghela nafas panjang, "susah juga berpura-pura sakit. Ah.. Lapar." aku memejamkan mata, menikmati semilir angin yang membawa aroma kayu pinus dari dalam hutan. Bunyi daun kering terinjak hewan-hewan penghuni hutan bagaikan alunan musik penghantar tidurku.

*plok*

Dahiku terasa dingin, sebuah tangan mengusap rambutku lembut. Lalu si pemilik tangan duduk disebelahku, membiarkan kepalaku bersender di bahunya.

Rupanya dia kembali.

Aku menikmati peran 'orang sakit' kali itu. Rasanya nyaman juga bersandar pada orang, aku terkekeh dalam hati. Aku mengintip sekejap, ternyata benar Ridwan yang kembali datang. Ku pikir dia lari ketakutan, ternyata hanya mengambil kompres.

Tangannya memegang tanganku, dimainkannya jemariku yang kata orang cukup lentik. Dia bersenandung pelan, aku menikmatinya. Menikmati aroma darahnya yang menggiurkan.

Aku memutar otak, bagaimana cara untuk menyantapnya tanpa menimbulkan keributan. Kemudian ia mengucapkan sesuatu, yang membuatku hampir melompat bangun dari 'pingsan'ku.

"Ternyata kau memang vampir yang lemah.." bisiknya ke telingaku. Aku tersentak, darimana dia tahu kalau aku vampir? Dia kembali mengusap kepalaku, "kalau kau haus, bilang saja." lanjutnya diakhiri usapan lembut di pipiku. Aku tersentak membuka mata lalu menjauh darinya, ia menatapku bingung.

"Kau siapa?" tanyaku geram. Sudah ku duga, orang ini mencurigakan. Ia hanya tersenyum.

"Aku? Aku Ridwan, bukankah tadi sudah ku bilang," ucapnya diiringi tawa kecil. Ia mendekat ke arahku, aku kembali menghindarinya. Wajahnya nampak sedih saat aku menepis uluran tangannya. "Aku hanya ingin berteman," lanjutnya.

"Ah begitu, kau tidak keberatan kalau aku menyantapmu?" tanyaku memancingnya. Ia menggeleng, sungguh suatu hal yang mengherankan. Belum ada manusia yang rela dijadikan santapan. "Kalau begitu, tadi Nissa juga menyantapmu atas keinginanmu sendiri?" tanyaku lagi. Ia mengangguk.

"Ia terlihat pucat saat aku bertemu dengannya di uks, saat ku tanya pun ia tak menjawab. Lalu," sejenak ia terlihat ragu melanjutkan kalimatnya.

"Lalu apa?" tanyaku cepat.

"Lalu aku sadar bahwa ia adalah vampir,"

"Tunggu! Kau...apa?" aku yakin wajahku saat ini terlihat bodoh.

"Aku sadar. Ya, aku tahu dia vampir. Aku juga tahu kalau kau vampir, begitu juga beberapa vampir lain di sekolah ini." jelasnya. Ia kembali duduk, menundukkan wajahnya. "Aku bisa melihat apa yang orang lain tak bisa lihat," katanya dengan suara sedikit gemetar.

"Maksudmu?" desakku sambil tetap waspada. Ia mengangkat wajahnya, menatapku sendu.

"Orangtuaku.. Mereka pemburu vampir," jelasnya tanpa ragu. Tubuhku mendadak kaku, seperti ada ratusan pasang mata sedang menatapku. Matanya yang tajam dan jernih itu seperti melihat ke dalam jiwaku. Aku belum ingin mati, pikirku.

"K-kau pemburu vampir?" suaraku terdengar bergetar. Ia bangun dan menghampiriku, "JANGAN BUNUH AKU!" jeritku. Ia menghentikan langkahnya, tertawa kecil.

"Sudah ku bilang, yang pemburu vampir itu orang tuaku." ucapnya diselingi tawa renyah. Entah kenapa kelegaan menyeruak dihatiku, mengusir pergi rasa takut sebelumnya. Tawanya begitu tulus, baru kali ini aku mendengar suara tawa yang tulus. Perlahan, aku mendekatinya.

"Jadi..kau bukan pemburu vampir?" tanyaku waspada. Ia terdiam lalu menarikku mendekat sambil memperlihatkan seringainya.

"Tertangkap!" ia mencubit pipiku.

"Aw! K-kenapa sih?" tanyaku sewot sambil mengusap pipiku. Ia menggedikkan bahu, tangannya mengayun tanganku.

"Ternyata kau berniat menyantapku tadi, ya?" ia balik bertanya. Aku terkisap lalu menundukkan wajah. Kurasakan tatapan matanya menusukku.

"Umm..." gumamku. Ia mengangkat wajahku, menatap kedua mataku dengan mata jernihnya.

"Sekarang sudah tidak mau, eh?" ucapnya sambil tersenyum mengejek. Aku membuang muka, kesal. Ia mengusap-usap kepalaku, genggaman tangannya yang sedari tadi menghangatkanku pun dilepasnya.

Sejenak aku ingin tangan itu menggenggam tanganku lebih lama. Seperti mengetaui keinginanku, ia kembali menggenggam tanganku. Aku kaget karena tindakannya begitu tiba-tiba.

"E-eh??" kurasakan wajahku memanas. Aku menatapnya, ia terlihat berusaha menyembunyikan wajahnya. Namun aku yakin aku melihat telinganya yang memerah. Lalu suasana menjadi hening, sangat hening.

"Kau," ia berkata pelan hampir tak terdengar. "Mau jadi temanku?"

Aku tersenyum lalu berkata, "ya!"


KRIIIIIING~!

Aku tersentak bangun dari tidur. Mimpi itu.. Setelah 4 tahun, kenapa baru sekarang?

"Fan? Lo oke?" tanya Nabila yang baru saja terbangun karna kasurnya terguncang. Ya, ia tidur di tingkat atas kasurku.

"Hng? Oke, kok. Sorry, Nab." gumamku sambil bangkit menuju kamar mandi. Aku mencoba mengingat mimpiku tadi, tentang pertemuanku dengan...ah, pantas saja aku memimpikan hal itu setelah 4 tahun tidak bertemu dengannya. Ridwan... Sekelebat tubuh kosongnya dan wajah puas Anggi terlintas dipikiranku.

Tanpa permisi, airmataku turun membasahi kedua pipiku. Tadi aku tidak menyadarinya, wajahnya tidak mirip Ridwan yang ku kenal 4 tahun yang lalu. Airmataku menderas, menyadari bahwa manusia yang telah jadi santapan kakakku sendiri adalah Ridwan. Orang yang sempat kucintai.

***

2 comments:

  1. aih.. background blognya bilang 'I love You' ke aku ya? (ʃ⌣ƪ) #salahfokus
    DARAH RIDWAN TERSEDOT! ANGGI RAKUS!
    MANA LANJUTANNYA ABANG??
    betewe kenapa tentang darah juga ya? (‾▿‾")

    ReplyDelete
  2. ah, aku nya cuma muncul bentar.
    atau gaada ya
    aku udah baca ini, tapi reread lagi biar greget.
    udah komen ya, bye

    ReplyDelete

I dare you to write comment down there.