Yoo~
Author PHP kembali menyapa ( '.')/ *kemudian dikebiri* #heh.
Apa kabar? *ceritanya basa-basi* #kemudiandigaplokin.
Udah ah gausah berlama-lama, males ngetiknya ( -_-)/
Chapter sebelumnya: The Young Adult - Chapter 4
Okelah tanpa berbelit belit, here we go~!
!!WARNING!! !!LEMON INSIDE!!
>>> The Young Adult - Chapter 5 <<<
TOK TOK TOK
“Sell.. Buka pintunya dong, aku mau ngomong.” Suara malaikat milik Kakak memanggilku lagi.
“Hn.” Sahutku parau pura-pura sudah tidur.
“Ayo dong, Sayang. Kakak tau kamu belum tidur.” Kakak memang selalu tau mood hatiku. Dobel sial. Dengan malas aku bangkit dari ‘tidur’ku lalu membukakan pintu kamarku untuk Kakak. Wajahnya yang cantik tersenyum saat pintu kamarku terbuka.
“Kamu lagi ada masalah lagi? Cerita sama aku dong. Jangan diem aja.” Ujar Kakak dengan suara lembutnya. Aku hanya menggeleng. Pasti Aldi yang menyuruhnya kesini, “kata Evan kamu lagi ada masalah sama pacar kamu.” Lanjutnya. Apa? Evan yang nyuruh Kakak kesini?
“Kak Evan? Sok tau banget dia.” sahutku asal. Namun tetap aku tidak bisa menyembunyikan pipiku yang merona, “masuk deh, Kak.” Ajakku seraya duduk di pinggir tempat tidur.
“Masalah pacar kamu lagi? Atau pangeran kamu?” tanya Kakak. Aku hanya menggeleng.
“Ngga dua-duanya. Aku cuma lagi ngga enak badan.” Dustaku.
“Bener?” tanyanya seraya tersenyum menggoda.
Aku mengangguk, “mm-hm..” lalu tersenyum tipis. Kakak mengangguk seraya duduk di sebelahku.
“Aku besok udah harus pulang, Sell. Tadi temenku sms, besok UTS katanya.”
“Oh. Terus?” tanyaku malas. Kakak tersenyum menatapku.
“Kamu marah sama aku ya?” ia balik bertanya. Aku menoleh melihatnya.
“Engga kok! Aku ngga marah. Lagian ngapain aku marah.” Elakku. Kakak mengelus kepalaku.
“Yaudah deh. Kayaknya kamu emang lagi butuh sendiri, aku tinggal ya!”
Aku mengangguk. Kakak meninggalkan kamarku. Kututup pintu kamar lalu kuhempaskan badanku ke kasur. Tidur adalah penyelesaian terbaik untuk masalahku.
***
Sudah seminggu sejak perkara Aldi dkk memukuli Arya, seperti yang sudah kuduga pula kasus itu menjadi kasus besar. Arya yang notabene anak komite sekolah, sepertinya mengadu kepada orangtuanya tentang hal ini. Tentu saja aku tidak menyalahkannya, siapapun pasti akan mengadu jika dijahati. Perkaranya adalah, Arya tidak menceritakan perilaku buruknya pada orangtuanya. Tentu pihak sekolah lebih mempercayai keterangan anak yang orangtuanya terpandang, dibanding sekumpulan anak yang membentuk genk dan sering keluyuran sampai malam.
Ya, Aldi dkk kalah debat. Mereka diskors selama seminggu. Mereka tidak kecewa, mereka malah senang diberi skors seperti itu. Yah, memang mereka itu unik. Selama seminggu mereka malah asik bertandang ke rumahku, kadang sekedar bermain, namun lebih sering mereka belajar bersama. Bisa ditebak pula, tiap pulang sekolah Aira selalu mampir ke rumahku. Karena ada Riga tentunya.
Sebenarnya aku heran dengan sikap Riga yang seolah tak menyadari perasaan Aira, padahal sikapnya selalu gampang ditebak. Dugaan sementara, Riga tahu perasaan Aira namun lebih fokus memikirkan UN. Kali ini pun Aldi dkk sedang membahas soal-soal UN bersama. Mereka sangat loyal dalam segala hal, bahkan kepintaran pun mereka loyal membaginya.
Ah, begini maksudku. Masing-masing dari mereka tidak ada yang benar-benar expert dalam semua mata pelajaran. Satu orang hanya menguasai 1 mata pelajaran, sementara untuk pelajaran lain ia sangat biasa. Ku dengar ini adalah komitmen mereka sejak tingkat 1 dulu, dan sampai sekarang melekat di otak mereka. Aldi, sejauh yang ku tahu, hanya jago menghapal. Ia menjadi 'museum Sejarah' bagi kawan-kawannya. Evan, yang pernah tinggal di Inggris, menguasai 'English conversation'.
Riga yang ingin jadi akuntan, menguasai Matematika sementara Dimas menguasai Ekonomi. Untuk Sosiologi, mereka semua bergantung pada Toni yang ayahnya adalah guru Sosiologi, semantara Geografi mereka menyerahkan diri sepenuhnya pada Irwan. Begitu seterusnya, mereka bergantung satu sama lain.
"Hoy, bengong aja!" seru Aira sambil menyenggol bahuku. Aku tersentak dari lamunan, keramaian kantin langsung menyeruak di pengelihatanku. Kutatap Aira yang sedang menatapku dengan wajah meminta jawaban. Aku hanya menyengir polos, ia mendengus.
"Pasti lo gak dengerin gue ngomong kan daritadi?" sungutnya. Aku tertawa kecil.
"Sori deh, sori.. Gue lagi blank banget tadi," ucapku sambil mencubit pipinya. "Apaan tadi?"
"Makanya jangan suka ngelamun," gerutunya sambil menyeruput jus sirsaknya. "Tadi gue nanya, kenapa lo kemaren dua hari gak masuk?"
"Oh.." aku ber-oh panjang. Aira terlihat gemas lalu mencubit pipiku.
"Jangan 'oh' doang, Sella.. Jawab dong!" aku hanya tertawa melihat wajah penasarannya itu.
TEET.. TEET.. TEET..
Bel sekolah menyelamatkanku dari pertanyaan Aira. Aku buru-buru meninggalkannya yang mengumpat kesal. Kalau boleh jujur, aku tidak ingin membicarakan apa penyebab absenku dua hari kemarin.
>>Flashback<<
Aku menggerutu dalam hati, "mau apa sih anak ini?" sudah seharian ini Arya terus meneleponku, padahal sudah kubilang aku tidak mau bicara apapun padanya. Ya, sejak Aldi dkk diskors, aku memang bilang pada Arya untuk tidak bertemu ataupun berbicara dengannya.
Disekolah pun ia malah menunjukkan sikap permusuhan, aku hanya santai menghadapinya. Ini hari kedua aku memutuskan untuk tidak berhubungan dengannya, namun sudah seharian ini ia meneleponku tanpa henti. Mengganggu saja, batinku.
Aku keluar kamar, bermaksud ingin ke studio pribadi di halaman belakang rumah. Tempat Aldi dan teman-temannya sedang ngeband. Kakiku baru dua langkah dari pintu kamar ketika sebuah tangan memeluk pinggangku dari belakang.
"Aaah!" aku menjerit tertahan melihat pelakunya. "Arya!?"
"Hai, Sell.. Aku kangen banget sama kamu," bisiknya ditelingaku sambil tetap memeluk pinggangku. Bau alkohol menyeruak indera penciumanku.
"Apa-apaan, sih!?" aku mencoba memberontak, namun tenaganya lebih kuat. Lalu kurasakan sentuhan bibirnya di leherku yang terbuka karena rambutku dikuncir keatas.
"Kamu cantik banget, yang.." bisiknya lagi, kali ini ia menyapukan lidahnya ke leherku. Aku merasa terhina dan jijik atas tindakannya itu, namun memberontak pun aku tak bisa. Berteriak? Mudah saja bagiku, kalau saja saat itu aku tidak melihat belati kecil ditangannya.
"Kamu mau apa, hah!?" jeritku saat ia menelusupkan tangannya ke dalam kaus yang kukenakan. Tangannya yang dingin menyentuh kulitku, yang langsung menimbulkan sensasi 'kesetrum'.
"Santai aja..." ucapnya dengan nada mengalun. Ia menarikku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Ia masih merengkuh tubuhku dalam pelukannya, sungguh menggelikan. Kusikut perutnya, namun ia tidak merespon kesakitan. Ia malah semakin kuat memelukku, diusap-usapnya perutku sambil menutup jendela dengan bahunya. Rupanya bajingan ini masuk lewat jendela.
Arya menghempaskan tubuhku ke kasur, ia menatapku -masih dengan belati ditangannya- dengan tatapan penuh nafsu. Aku memutar otak, bagaimana cara untuk meminta bantuan tanpa membahayakan nyawa. Arya membuka bajunya tanpa segan dihadapanku, aku membuang muka. Ia tertawa licik sambil membuka celananya, kali ini ia menarik tanganku untuk membuka celananya.
"Arya!! Jangan macem-macem kamu! Aku gak suka!!" bentakku. Ia menyentakkan tanganku lalu mencengkram wajahku dengan sebelah tangannya, memaksa mataku bertemu dengan matanya.
"Aku gak peduli kamu suka atau enggak. Sekarang diem atau aku gak segan-segan make belati ini buat ngelukain kamu. Ngerti?" tatapannya begitu bengis, tak terasa airmataku tumpah. Aku takut, sangat takut. Ia mencampakkanku kembali ke kasur, diletakkannya belati kecil itu diatas meja. Aku memperhitungkan masak-masak bagaimana teriakanku bisa sampai pada Aldi dkk di studio dengan ruang kedap suara, tanpa membuat Arya menggunakan belatinya untuk menutup mulutku. Tidak ada harapan.
Aku meringkuk disudut kasur, melihat ia -yang sudah tak berpakaian- mendekat sambil berwajah licik. Aku tahu benar apa yang akan ia lakukan, sebisa mungkin aku merapatkan diri agar tidak ada bagian tubuhku yang terbuka. Namun ternyata ia lebih cerdik. Ia mematikan lampu kamarku, seketika aku tak bisa melihat keadaan disekitarku. Terlebih..aku phobia tempat gelap dan sempit.
Aku tidak merasakan gerakan sedikitpun, hanya bunyi nafasnya yang berat yang terdengar. Kemudian dengan tiba-tiba sebuah tangan merengkuhku, menarik kaosku keatas dan membuka paksa kancing celanaku.
"JANGAAA ..." jeritku terputus oleh himpitan bibirnya dibibirku. Bau alkohol yang menyengat itu membuatku pusing sampai-sampai aku tidak sadar ia telah berhasil merobek kaus yang kukenakan. Aku memukul-mukul, menendang-nendang dalam kegelapan. Ia menghimpit tubuhku ke dinding, tangannya mambuka kaitan bra dipunggungku tanpa halangan. Ia melepaskan ciumannya namun membekap mulutku dengan telapak tangannya. Bibirnya menyapu leher, pundak, terus turun sampai ke dadaku yang kini tidak tertutup apapun. Semuanya begitu cepat terjadi, phobiaku membuat ia melakukannya dengan mudah.
Ia menciumi, menjilati dan meraba-raba seluruh kulitku. Sebagai wanita, aku merasa tidak berharga lagi. Ia kembali menciumku dan memaksaku menelan sebuah pil. Semenit..dua menit.. Aku kehilangan kontrol atas tubuhku. Aku sadar, namun tidak bisa bergerak. Ia dengan bebas menjilat dan menghisap dadaku sambil meremasnya kuat-kuat. Rasanya sangat sakit, dan terhina. Belum hilang rasa sakit itu, jemarinya telah menjelajah tubuh bagian bawahku. Aku menangis, aku hanya bisa menangis. Terlebih saat ia memaksakan 'senjata'nya masuk ke mulutku, dan mendorongnya dalam-dalam hingga menyentuh kerongkongan. Rasanya ingin muntah saat aku merasakan cairan hangat mengalir masuk ke dalam kerongkonganku.
Aku sudah tidak pantas lagi hidup. Tubuhku telah ternodai. Tuhan, aku ingin kau ambil nyawaku sekarang saja.
Ia merenggangkan kedua kakiku, lalu menempelkan senjatanya di daerah pribadiku.
"Sebentar lagi kamu akan jadi milikku selamanya, Sella sayang.." bisiknya ditelingaku. Brengsek.
Ia mendorong tubuh bagian bawahnya kearahku sambil memelukku erat.
BRRAAAKKKK!!
"ANJING NGAPAIN LO!?" suara bariton milik Evan terdengar begitu marah. Arya ditarik menjauh, atau begitu yang kurasakan. Aku mendengar suara baku hantam didekatku, kepalaku pusing sekali. Aku masih mendengar suara Aldi berteriak dengan berang, lalu kurasakan seseorang menyelimutiku. Suara-suara keramaian itu menjauh, kesadaranku makin menghilang.
***
Aku membuka mata, menatap langit-langit yang sudah kuhapal betul. Aroma dingin besi dan bau obat menyeruak indera penciumanku.
"Sell?" panggil seseorang dari sebelah kiriku. Aku menoleh, mendapati Aldi sedang menatapku dengan cemas. Seketika aku mengingat kejadian yang sudah menghancurkan harga diriku, tanpa permisi pun airmataku mengalir. Aldi mengusap-usap kepalaku, memelukku dengan sayang. Aku menangis tanpa henti.
"Gue udah gak berharga lagi, Di.. G-gue...gue malu..." isakku sambil menumpahkan seluruh kekesalan, penyesalan, dan kesedihanku. Aldi hanya terdiam sambil terus mengusap kepalaku.
Hampir setengah jam aku menangis, dan Aldi tetap terdiam.
"Di, kok dari tadi diem aja?" panggilku sambil menggenggam tangannya. Ia menggeleng lalu tersenyum, senyum yang begitu sendu.
"Maaf, Sell.. Sebagai kakak, gue merasa gagal. Gue gak bisa berbuat banyak sama orang yang udah...yang udah ngerendahin harga diri lo. Maaf," ucapnya dengan suara bergetar menahan amarah. Aku menggeleng cepat.
"Apaan, sih? Lo itu kakak gue yang paling baik," tukasku sambil meninju lengannya. Ia tertawa kecil, tangannya kembali mengusap kepalaku.
"Nanti gue mintain surat ijin ke dokter, supaya besok lo gak usah sekolah." ujarnya lembut. Aku mengangguk.
"Aldi..." panggilku pelan.
"Iya?" jawabnya. Aku menarik nafas panjang sebelum melontarkan pertanyaan itu padanya.
"Gue udah gak pantes dicintai, ya? Gue udah kotor, gak mungkin cowok mau sama cewek yang udah gak....virgin lagi, kan? Iya, kan?" Aldi membisu.
>>End of flashback<<
Aku dan Aira telah masuk ke dalam kelas, ia mendahuluiku duduk di bangku pojok kelas.
"Ah, gantian dong! Gue juga mau disitu, Ra.." rengekku. Aira menggeleng.
"Siapa cepat, dia dapat!" serunya riang. Aku mendengus kesal, anak itu memang masih seperti anak kecil. Aku baru akan duduk disamping Aira ketika sebuah tangan menarik tanganku. Mataku terbelalak menatapnya, menatap bajingan yang telah merenggut keperawananku.
"Hai, Sell.." panggilnya sambil tersenyum, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Wajahnya penuh memar dan lebam. Ia mendekatkan wajahnya ke telingaku lalu membisikkan sesuatu, diakhiri dengan senyum diwajahnya. Aku membeku, kakiku mendadak lemas. Apa benar? Apa yang ia katakan itu benar?
Tuhan, tolong selamatkan Aldi...
(to be continued...)
>>>
Nah.. Sebagai penyandang title 'author PHP', kali ini gue menepati janji dengan memberikan sentuhan mesum dewasa dichapter ini. Agak frontal ya bahasanya? Harap dimaafkan, ya!
Lanjutannya? Sebulan lagi. Itu juga kalo mood ( '-')/
Salam PHP!
aku baru baca yang ini (‾▿‾")
ReplyDeleteBANG*SAT(e) BANGET COWOKNYA!! BUNUH SAJA! BAKAR! GILES! MUTILASI! UWOHHH.. #ininyante
lanjut dong abang~ ( '-')/