Malam yang dingin di Jepang. Saat itu sudah memasuki musim gugur, banyak orang yang sudah mengenakan syal walaupun suhu masih belum terlalu dingin. Banyak juga orang yang sudah malas keluar rumah diatas jam 10 malam, karena hawa yang terlalu dingin menusuk hingga ke tulang.
Tidak ada jalanan yang sesepi jalan setapak dibawah jembatan, atau yang satu ini lebih tepat disebut ‘gorong-gorong’. Tiap malam, tempat ini hanya dihuni puluhan kelelawar. Gorong-gorong ini memanjang hingga ke pusat kota, namun tidak ada yang pernah menelusuri isinya. Konon katanya, kappa telah pindah tempat tinggal disini.
Seseorang berpakaian asal-asalan terlihat diambang gorong-gorong, tubuhnya terlihat lelah karena suatu hal. Rambutnya yang dipotong sebahu kini sudah tidak terlihat bentuk potongan awalnya karena sudah tak pernah diurus. Jemarinya yang kurus dan panjang terlihat memegang senter kecil bercahaya redup. Matanya yang hitam waspada pada tiap gerakan kecil yang ia lihat.
Jika ia mengenakan jas atau pakaian yang lebih rapi, mungkin saja wajahnya terlihat tampan. Tulang pipinya membentuk garis tegas, sementara rahangnya terlihat kuat. Tingginya hanya sekitar 168 cm, namun tubuhnya yang sangat kurus membuat ia terlihat lebih tinggi. Ia merapatkan hoodie hitamnya yang sudah kumal karena tidak pernah dicuci. Dilihat darimana pun juga, orang ini sangat melarat hidupnya. Wajahnya kusam tertutup debu, mungkin dia juga beberapa hari tidak mandi.
“Gorong-gorong berhantu, eh?” gumamnya pada diri sendiri. Lalu dengan gesit ia menghilang ke dalam gorong-gorong gelap dengan hanya berbekal senter kecil. Bau lembab lumut serta sebersit bau tak sedap hinggap di indera penciumannya, namun ia tak peduli. Ia sendiri sudah 3 minggu terakhir ini tidak mandi, terakhir ia makan pun sudah 2 minggu yang lalu. Bibirnya pun kering pecah-pecah karena dehidrasi.
Ia bukan pengemis, bukan pula anak jalanan. Ia hanya perantau yang kehabisan bekal. Ia baru tiba di Jepang sekitar 2 bulan yang lalu, dengan hanya bermodalkan uang untuk membeli tiket pesawat. Sesampainya di Jepang, ia yang saat itu masih mempunyai beberapa puluh ribu yen ditipu dan sebagian uangnya lenyap tak berbekas. Hanya sebulan ia bisa menikmati wisata di Jepang, visa berkunjungnya telah habis. Tak ada uang untuk kembali ke negara asalnya, Indonesia, ia pun memutuskan untuk menjadi ‘pengelana’ di negeri sakura.
Namun ternyata menjadi seorang pengelana tidak semudah yang ia lihat di film-film kolosal. Uangnya pun habis, dan ia tidak bisa mencari kerja. Mengamen? Mudah saja, ia suka lagu-lagu Vocaloid. Namun suaranya tidak enak didengar, pengucapannya dalam bahasa Jepang pun masih banyak yang salah. Akhirnya ia memutuskan untuk hidup di jalanan. Terakhir ia mandi di kamar mandi umum di sebuah taman, ia pun tidur di bangku taman tersebut. Namun sial, ia diusir pergi oleh penjaga keamanan.
Kali ini ia mencoba keuntungan dengan memasuki gorong-gorong yang katanya berhantu tersebut, yang ia percayai adalah jika suatu tempat digosipkan berhantu, pasti ada yang tidak beres dengan tempat tersebut dan ia ingin melihatnya dengan mata kepala sendiri. Ia mematikan senternya yang sudah kedap-kedip, sejenak ia merutuk dirinya sendiri karena tidak punya uang untuk membeli baterai. Senter ini pun ia temukan di tempat sampah, dengan tidak sengaja.
WHOOOSSS
Angin dingin menyerbu masuk ke dalam gorong-gorong, tubuhnya gemetar kedinginan. Ia membuka dan meraba-raba isi tasnya, mencari sesuatu untuk dikenakan agar bisa melindunginya dari angin malam. Nihil. Ia telah menjual seluruh barang-barang yang dibawanya dari Indonesia ke tukang loak demi sesuap nasi.
“Sial,” rutuknya. Ia kembali berjalan menelusuri lorong gelap selebar 3 meter dengan atap lengkung, dan panjang yang tidak ia ketahui. Seingatnya, ia sudah berjalan sejauh 1 km. Ia tak banyak bersuara, langkah kakinya pun hampir tak berbunyi. Ia percaya ada yang tidak beres dengan gorong-gorong ini, namun yang ia yakin tempat ini tak berhantu. Ya, bukan hantu yang bisa menciptakan gosip, bukan?
Sebagai pecinta cerita detektif, ia dengan teliti dan waspada menelusuri lorong gelap tersebut dengan meraba-raba dinding lorong. Mau tidak mau, ia harus menghemat baterai senternya untuk perjalanan keluar dari gorong-gorong ini nanti. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, kecipak air menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Ia mematung, sesaat tadi pengengarannya menangkap bunyi orang bercakap-cakap. Ia menunggu, semenit, dua menit, masih belum ada suara lain yang terdengar.
Ia melanjutkan langkahnya yang tertahan. Manusia. Ya, ia yakin akan menemui manusia di gorong-gorong tak berujung ini. Suara yang ia dengar sekilas tadi seperti suara manusia dikejauhan. Batinnya yang tadi ragu kini telah mantap, ia akan menemukan sumber suara tadi.
KLANG!
Bunyi besi beradu terdengar jelas menggema disekelilingnya. Ia mematung sepersekian detik sebelum tanah dibawahnya runtuh, dan seperti ada medan magnet menarik tubuhnya ke bawah. Tubuhnya tertarik bersamaan dengan udara disekelilingnya, ia terus jatuh tertarik masuk ke lubang tak terhingga itu. Kepalanya pusing, tubuhnya seperti diblender dengan kekuatan dahsyat. Detik berikutnya, ia tidak sadarkan diri dan masih terjatuh.
(to be continued…)
No comments:
Post a Comment
I dare you to write comment down there.